Part 11

1738 Words
Nadira menuntun ayahnya dengan langkah susah karena sang ayah terlihat semakin sulit berjalan. Ia memasuki pagar rumah sakit dan saat itulah Arif mengalami batuk dan tampak limbung. Nadira mencoba membawa ayahnya agar tidak terjatuh, namun tetap saja Arif tidak bisa menahan sakitnya ia jatuh dan seketika mulutnya mengeluarkan darah membuat Nadira membelalakkan matanya terkejut. "Ayah!" teriaknya lalu terduduk merangkul sang ayah. Mereka duduk di pinggir pintu gerbang masuk rumah sakit. Arif terbatuk-batuk dan terus mengeluarkan darah membuat Nadira tidak berhenti menangis dan panik. "Ayah, Ayah bertahanlah, Ayah." ucap Nadira sambil membersihkan darah yang keluar dari mulut ayahnya. Nadira merebahkan kepala Arif di pundaknya memejamkan matanya takut. Di saat itulah Arif jatuh pingsang dan membuat Nadira panik, ia melihat wajah sang ayah lalu menepuk pelan pipinya dengan tangan bergetar. Ia menatap ke kanan dan kiri mencari bantuan seseorang agar bisa menolongnya dengan air mata mengalir tanpa bersuara. "Ayah jangan tinggalkan, Nadira!" isak tangis Nadira sembari mengusap rambut Arif dan menariknya untuk di peluk. Nadira menatap ke pintu masuk rumah sakit dan berniat untuk memanggil beberapa perawat di sana. Saat Nadira berniat meninggalkan ayahnya di sana sebuah mobil masuk melalui gerbang rumah sakit membuat Nadira langsung menghentikan mobil tersebut tanpa berpikir panjang. Gadis itu berlari mengetuk pintu kaca mobil membuat supir yang mengendarainya membuka kaca mobil tersebut. Wajah lusuh Nadira dengan seragam sekolah yang sudah tidak rapi lagi membuat pemandangan yang ada di dalam mobil tersebut menjadi terkejut. "Pak, tolong Ayah saya, Ayah saya pingsan, Pak!" Nadira terisak sambil memohon pada supir tersebut. Ia menunjuk Arif yang tergeletak tidak berdaya di pinggir jalan membuat seseorang yang berada di belakang supir menatap penasaran. "Ada apa, Pak?" tanya Raline, saat melihat ada seorang gadis menghentikan perjalanan mereka. "Ini, Non, ada anak perempuan yang minta tolong." Raline menurunkan kaca mobilnya membuatnya bisa melihat Nadira dengan pakaian seragam sekolah dengan tampilan lusuh dan beberapa bercak darah di seragamnya. Raline mengerutkan dahinya lalu keluar dari mobil tersebut di ikuti sang supir. "Ada apa ini? Kamu kenapa?" tanya Raline dengan tatapan khawatir menatap Nadira di hadapannya. "Mbak, tolong Ayah saya." Nadira menangkupkan kedua tangannya dengan gugup lalu menatap ke arah sang ayah. Raline langsung terkejut dan menyuruh sang supir untuk membantu pria yang tergeletak di jalanan tersebut. "Pak, cepat bantu." ucap Raline dengan wajah tenangnya. Supir Raline langsung memapah Arif di bantu Nadira untuk masuk ke dalam mobil Raline. Nadira ikut serta masuk ke dalam mobil dan melaju memasuki area rumah sakit. Mobil tersebut berhenti di depan pintu masuk dan Raline langsung memanggil perawat yang berjaga untuk membawa pasien yang bersamanya. Nadira terus mengikuti sang Ayah yang sudah di naikkan ke atas ranjang rawat dan masuk ke dalam ruang UGD. Raline terus masuk ke dalam ruang UGD melihat apa yang terjadi dengan pria tersebut. Seorang perawat mendekati Raline yang terlihat serius memeriksa pasien di hadapannya. "Dok, pasien dokter sudah menunggu." ucap salah satu perawat pribadi Raline membuatnya teringat akan tugasnya. Raline menatap perawat di sampingnya lalu mengangguk mengerti. "Siapa yang berjaga di UGD?" tanya Raline kepada perawat yang sibuk memasang alat-alat kesehatan pada tubuh Arif. "Dokter Andi, Dok." Raline mengangguk mengerti lalu tersenyum berjalan menjauhi Arif. "Tolong beritahu Dokter Andi untuk segera menangani pasien, sepertinya ini penyakit serius." ucap Raline membuat para perawat mengangguk mengerti. "Iya dok, Dokter Andi sudah mengetahuinya dan segera tiba." Raline mengangguk lalu berjalan keluar dari ruang UGD tersebut. Ia adalah dokter spesialis penyakit dalam, dan bukan dokter umum yang biasa berjaga di ruang UGD. Raline menatap Nadira sekilas yang terlihat duduk menunggu di luar ruangan dengan tatapan menunduk lesu. "Ada berapa pasien untuk hari ini?" tanya Raline membuat suster tersebut melihat daftar di tangannya. "Totalnya hanya 3 orang, Dok," jawab perawat itu membuat Raline mengangguk, ia masuk ke dalam ruangannya dan bersiap menggunakan snellinya dan membawa stetoskop miliknya. Hampir satu jam Raline menghabiskan waktu untuk memeriksa pasien hari ini. Gadis itu duduk di ruangannya sambil menikmati teh melati hangat sebagai bentuk relaks selesai bekerja. Perawat pendampingnya masuk dan memberikan beberapa data kesehatan pasien miliknya. "Sus, bagaimana kondisi pasien di ruang UGD tadi?" tanya Raline membuat suster tersebut menghentikan gerakannya. "Tidak tahu, Dok, kalau Dokter ingin tahu biar saya tanyakan pada pihak UGD." Raline menggeleng cepat lalu bangkit dari duduknya. "Sudah, kamu kerjakan saja pekerjaan kamu, biar saya cek kesana sendiri." perawat tersebut mengangguk menatap kepergian Raline. Raline berjalan menyusuri lorong dan tiba di pintu UGD, tidak melihat gadis yang menunggu ayahnya tadi. Raline masuk ke dalam ruang UGD melihat pasien pria yang datang bersamanya. Satu perawat jaga di sana membuat Raline bertanya pada perawat tersebut. "Bagaimana keadaannya?" tanya Raline membuat suster tersebut menatapnya tersenyum. "Dokter Raline, sudah lebih baik, Dok." jawab perawat tersebut. "Sepertinya penyakitnya serius, ya?" perawat itu mengangguk. "Dokter Andi mengatakan pasien mengidap kanker paru-paru, Dok." Raline mengerutkan dahinya mendengar ucapan perawat tersebut. "Dimana Dokter Andi?" tanya Raline membuat perawat tersebut mengatakan jika dokter Andi sedang berada di ruangannya. Raline langsung menuju ruangan pria tersebut untuk bertanya lebih lanjut keadaan pasien. Raline mengetuk pintu ruangan Andi lalu membuka pelan pintu ruangan tersebut. "Sibuk, gak?" tanya Raline saat kepalanya mengintip ke dalam membuat dokter Andi tersenyum lalu menggeleng. "Tidak, ada apa Dok? Tumben main ke ruangan saya?" tanya Andi lalu mempersilahkan Raline duduk di bangku. "Tentang pasien di ruangan UGD itu, bagaimana keadaannya?" Andi mengerutkan dahinya lalu tersenyum tipis. "Sepertinya harus di rawat di rumah sakit." jawab dokter Andi dengan wajah serius. "Kamu sudah bicara pada walinya?" tanya Raline membuat Andi menggeleng. "Belum, maka dari itu pasien masih di ruang UGD, belum kami pindahkan ke kamar rawat. Saya bingung Dok, walinya siapa ya?" tanya Andi menatap Raline dengan dahi berkerut. Raline tersenyum tipis lalu memikirkan gadis berseragam sekolah tadi. "Saya juga tidak tahu, Dok, tadi ada anak gadis yang datang bersama saya, Dokter sudah bicara dengannya?" Andi hanya menggelengkan kepalanya. "Saya keluar dari ruangan tidak ada orang, jadi saya kembali ke ruangan saya, saya berniat bertanya dengan Dokter Raline, tapi Dokter sudah kesini lebih dulu." ucap Andi membuat Raline mengerti. "Bagaimana keadaan pria itu, aku akan bicara pada putrinya." Andi terdiam lalu berdiri mengambil kertas berisi keterangan kesehatan Arif. "Ini, kamu bisa lihat sendiri, kondisinya sudah parah, Dok, harus segera di rawat. Apa gadis itu datang sendiri kesini membawa Ayahnya?" tanya Andi dengan wajah penasaran. Raline memperhatikan dengan serius hasil tes kesehatan ayah Nadira. Ia menatap Andi kembali sambil memegang kertas di tangannya. "Saya juga tidak tahu, Dok. Semoga ada wali yang bisa bertanggung jawab pada pasien tersebut, selain putrinya, biarkan saya bicara kepada putrinya dulu." Andi mengangguk setuju. Raline kembali memberikan kertas berisi informasi kesehatan Arif lalu pamit keluar untuk menemui Nadira. Raline berjalan mencari Nadira sambil bertanya sesekali kepada para perawat dan pasien yang tampak berada di luar karena hari mulai sore. Raline melihat gadis itu duduk di tengah taman di bawah pohon dengan tatapan kosong. Raline membawa sebotol air mineral untuk Nadira, mendekati gadis itu dan memegang pundak Nadira yang terlihat melamun. Nadira tersentak merasakan pundaknya di pegang seseorang. Raline bisa melihat wajah lelah, lesu dan sedih di wajah gadis remaja tersebut. Entah apa yang sudah ia lalui dengan seragam sekolahnya saat ini, tapi Raline yakin jika ia memiliki masalahnya sendiri. "Kenapa duduk di sini?" tanya Raline sambil menyodorkan sebotol air mineral kepada Nadira. Nadira menerimanya bergumam terima kasih lalu menenggaknya hingga setengah bagian. Raline terus memperhatikan wajah cantik Nadira, dengan rambut yang berantakan dan keringat yang membasahi wajahnya membuat wajah lesu itu tampak tetap cantik. Rambut yang di kucir kuda dengan bentuk yang sudah tidak beraturan tidak mengurangi kecantikan gadis remaja di samping Raline tersebut. Raline menarik sudut bibirnya tersenyum seketika teringat dengan adik bungsunya Rangga. "Kenapa kamu datang sendiri kemari? Ibu kamu kemana?" Nadira menatap Raline cukup lama lalu menunduk menggenggam erat botol air di tangannya. "Ibu sedang bekerja, Mbak." jawab Nadira lirih. "Ibu kamu tahu, kamu disini?" tanya Raline lagi. Tatapan Nadira seketika berkaca-kaca menunduk diam cukup lama. Raline dengan sabar menunggu gadis itu menjawab pertanyaannya. "Mbak, Dokter ya?" tanya Nadira dengan suara pelan. "Iya, saya seorang Dokter, kamu bisa memanggil Ibu kamu kesini, kan? Soalnya kami ingin bicara serius tentang keadaan Ayah kamu." ucap Raline dengan nada pelan dan lembut membuat Nadira mengangkat kepalanya menatap Raline dengan tatapan berkaca-kaca. Gadis itu mengusap ujung matanya yang berair lalu menatap Raline lebih jelas lagi. "Bagaimana keadaan Ayah, Dok? Apa dia baik-baik saja? Katakan saja padaku?" ucap Nadira dengan wajah menangis sambil memegang tangan Raline di sampingnya. Raline tersenyum kecut melihat kesedihan di mata gadis remaja ini. Bagaimana perasaannya jika ia mengetahui ayahnya mengidap kanker paru-paru. "Ayah kamu baik, kamu bisa panggil Ibu kamu dulu, nanti kamu akan tahu keadaan Ayah kamu bagaimana." Nadira terdiam mengusap air matanya. Ia memikirkan Desi, apa mungkin ibu tirinya mau datang menemui mereka disini, Nadira terdiam cukup lama membuat Raline memegang tangan Nadira. "Ada apa? Jika Ibu tidak bisa, kamu bisa menghubungi orang lain yang bisa datang kesini." Nadira menggeleng lemah, ia menatap Raline dengan tatapan memelas. "Ibu sepertinya tidak akan datang kesini, katakan saja padaku, Dokter, tidak apa-apa." Raline tersenyum bingung lalu menggenggam erat tangan Nadira. "Ada apa? Kenapa Ibu kamu tidak bisa datang kesini?" Nadira terdiam tidak menjawab, Raline merasa pertanyaannya terlalu jauh dan lancang bertanya seperti itu. "Ibu sibuk bekerja." hanya itu yang keluar dari mulut Nadira membuat Raline mengerti dan tidak bertanya lagi. Raline tersenyum menatap kasihan Nadira di hadapannya. Apa yang sedang gadis ini hadapi, mengapa seperti ada beban berat yang ia pikul, Raline ingin bertanya namun ia merasa kurang ajar jika bertanya terlalu jauh. "Baiklah, saya hanya bisa mengatakan jika Ayah kamu tidak bisa pulang hari ini, ia harus di rawat di rumah sakit, keadaannya tidak memungkinkan untuk pulang ke rumah." Nadira mengangkat wajahnya cepat menatap Raline di dekatnya. Raline memperhatikan reaksi gadis remaja tersebut yang tampak gugup menggenggam erat botol air di tangannya. "Berapa banyak biayanya, Dok? Saat ini aku tidak membawa uang sedikitpun, apa Ayah bisa tetap di rawat disini?" tanya Nadira dengan wajah gugup dan takut menatap ke arah Raline. Raline hanya tersenyum menenangkan dan mengusap kepala Nadira merasa sedih. "Bisa, kamu ganti baju dulu, nanti saya beritahu dimana Ayah kamu di rawat." Nadira terdiam menatap Raline bingung. "Tapi saya tidak bawa ganti, Dok." ucap Nadira membuat Raline tersenyum. "Saya ada baju di mobil, kamu bisa pakai." ucap Raline membuat Nadira mengangguk tersenyum. "Saya janji akan bayar biaya rumah sakitnya, Dok." Raline hanya mengangguk sambil mengusap kepala Nadira, Raline mengajak Nadira ke ruangannya agar berganti pakaian lebih dulu. Karena Nadira terlihat tidak nyaman menggunakan pakaian seragam dengan darah yang mengotori pakaiannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD