Beberapa bulan kemudian...
"Sha, aku mau bicara sesuatu yang serius ke kamu..." Glen meraih tangan Marsha, wanita yang dia kencani beberapa bulan belakangan, yang menjadi pekerja magang di perusahaan orang tuanya.
"Kenapa, Glen? Kamu mau bahas perjodohan kamu?" Pertanyaan Marsha, membuat detak jantung Glen seolah berhenti berputar, pria itu menatap ke arah sang kekasih dengan lekat. Matanya menyorot tak percaya, bagaimana mungkin sang kekasih memahami kalimat apa yang akan dia lontarkan. Sedangkan dia tahu, jika sang kekasih bukanlah ahli nujum.
"Kok kamu ngomong gitu?" Senyum manis terumbar di wajah yang seharusnya sudah memutih, bak tak teraliri darah, karena rasa terkejutnya.
"Ya, nebak aja, Glen. Apalagi coba yang bisa kamu bahas serius ke aku, kalau bukan kamu dijodohin, Glen..." Marsha berusaha untuk terus tersenyum, tapi itu bukan senyum yang seharusnya, lebih seperti seringai. Tapi, sepertinya Marsha berusaha dengan sekuat tenaga menahan harga dirinya, agar dirinya tidak terlihat rapuh, sehingga bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita.
"Bukan gitu juga, Sayang..." Glen terpaksa menggaruk kepalanya yang diketahui tidak gatal. Hanya sebuah gerakan acak saja, ketika orang salah tingkah.
"Hmm...Glen. Aku sudah tahu kamu dijodohkan." Seketika Glen menoleh ke arah Marsha sang kekasih. Matanya membulat sempurna, bagaimana mungkin sang kekasih yang dia kenal polos ini mengetahui jika dirinya akan dijodohkan. Gak mungkin dia bisa membaca pikiran. Dan ini semakin membuat Glen salah tingkah. Berkali-kali Glen justru menyedot minuman di gelasnya yang udah kosong, hingga terdengar suara tarikan pipet yang membuat Marsha harus terawa.
"Minum kamu udah habis, Glen." Marsha menahan nafas sejenak, dan melirik ke arah sang kekasih yang terlihat semakin salah tingkah karena rangkaian kalimat yang baru dia lontarkan. "Nih, kalau emang haus, atau butuh kegiatan..." Marsha menyodorkan segelas Mango Float Ice Premium yang dia pesan untuk mereka nikmati malam minggu ini di sebuah cafe terkenal di Jakarta.
"Sayang..." Glen menggeser duduknya dan menatap lekat ke arah Marsha. Tak lupa dia meraih jemari tangan Marsha dan mengecupnya perlahan. Membuat Marsha yang sejak tadi menahan mendung hampir tak sanggup menahannya.
"Glen, bentar. Aku ke toilet dulu, ya? Sesek banget..." Marsha memerkan gigi kelinci yang berbaris rapi dan semakin menambah kecantikannya. Marsha bahkan tak sempat mendengar jawaban sang kekasih, karena dia langsung beranjak dengan cepat meninggalkan sang kekasih yang masih menegang.
Dia terus berjalan dengan menundukkan kepalanya menuju toilet di bagian paling belakang setelah melewati lorong. Dia hafal tempat ini, karena hampir setiap habis gajian, dia dan Glen selalu menghabiskan malam minggu di tempat ini setelah selesai bekerja. Meskipun Glen adalah putera dari pemilik perusahaan, bukan berarti Glen langsung mendapat jabatan yang mentereng dari ayahnya. Dia harus di uji dari bawah. Dan begitulah akhirnya bisa bertemu dengan Marsha yang merupakan pekerja kontrak di perusahaan itu.
“Ahh! Kenapa air mataku deres banget. Ayolaahhh…ini tempat umum. Aku gak mau dia melihat mataku sembab…” Marsha berusaha menahan air matanya, yang ternyata tak kunjung reda.
Dia semakin mempercepat langkahnya, karena dia menyadari jika orang-orang memperhatikannya, terlebih pelayan cafe yang sudah cukup akrab dengannya, karena cafe ini juga merupakan salah satu cafe milik paman Glen.
BRUGHH!
"Sial!!" Sebuah suara dingin dari seorang pria yang langsung menunduk dan meraih ponselnya yang terjatuh, karena bersenggolan dengan Marsha yang memang berjalan dengan pikiran kacau.
"Ma-maaf...saya terburu-buru..." suara serak Marsha tergagap, dia buru-buru bangkit dan refleks meraih lengan pria itu.
"Mau mati kamu?! Bisa-bisanya kamu menyentuh saya?!" Hardik pria itu sembari menepuk-nepuk bahunya dengan satu tangan lalu meludah ke samping.
"Cuihh! Haram jaddah!" Imbuhnya, sontak Marsha yang tadi sedang melo terkejut,
Dia menatap pria itu dengan dahi bertaut, seolah pernah melihat pria ini.
“Jaga matamu, atau aku robek matamu agar tidak bisa melihat lagi?!” Hardiknya ulang, Marsha terpancing, dan merasa harga dirinya terluka dengan kalimat pria itu.
“HEH! Bapak Tua. Siapa juga yang ngelihat mahluk jadi-jadian seperti kamu. Ge-er banget kalau di liatin. Kebiasaan nih bapak-bapak suka pede kelebihan.” Ketusan Marsha dengan kesal, dan menatap aneh pada pria kasar di hadapannya. Biasanya pria akan bersikap lembut jika berpapasan atau bertabrakan dengan wanita. Tapi, pria ini terlihat jijik bersentuhan dengannya. Tentu saja dia tidak terima.
"Aneh!" Imbuhnya dengan tangan menepuk-nepuk bagian bawah yang kotor.
"Apa kamu bilang?! Kamu berani mengatakan saya kepedean dan aneh?!" Tatapnya dengan sorot mata seribu pedang. Seolah hendak langsung menghunus tepat di jantung Marsha.
Lagi-lagi Marsha dibuat terkejut oleh tingkah pria itu yang menurutnya adalah pria terunik yang pernah dia temui. Meskipun pria itu memiliki ketampanan yang nyaris sempurna, dengan rahang kokoh dan hidung mancungnya, serta mata elangnya yang langsung menusuk ke hati. Tapi, melihat tingkah pria itu, membuatnya bergidik.
“Hah?! Apa? Kepedean, aneh? Siapa yang ngomong gitu, Om? Perasaan aku, enggak deh. Aku gak pernah bersikap gak sopan ama orang tua gini…” Marsha memamerkan senyum mengejeknya, dan berpura-pura melihat ke kanan kiri seolah mencari orang yang di katakan pria ini, tadi mengumpat dengan kata kepedean.
“Kau!” Geramnya mengepalkan tangan.
“Aduh! Om, sorry, aku ini kan orang sibuk, dan pacar aku lagi nunggu di depan, jadi, boleh gak, kalau kita sama-sama lupakan kejadian ini?” Tatap Marsha dengan menahan senyum puas, dan memilih menghentikan perdebatan, karena teringat dirinya sedang bersama Glen.
Padahal Marsha biasanya lumayan jago buat beradu mulut. Hmm...kayaknya gak kalah deh, sama emak-emak komplek yang lagi rebutin minyak goreng murah.
"Whats?!! O...omm?" Pria itu membuka mulutnya lebar-lebar dan menatap ke arah Marsha tak percaya. Jika dirinya di panggil om oleh seorang wanita. Dia benar-benar nyaris tak bisa berkata-kata karena tingkah Marsha yang baru saja dia lakukan.
"Tuan. Apakah sudah selesai?" Suara seorang pria yang benar-benar menyelamatkan Marsha dari pria tampan psikopat malam ini. "Maaf, Nona. Silahkan lanjutkan perjalanannya..." ucap pria itu membuat Marsha tersenyum ramah ke arahnya.
"Oke. Aku maafin kali ini. Tapi, awas lain kali. Kalian gak akan lolos dari aku!" Marsha menunjuk kearah mereka berdua, sembari membusungkan dadanya dan memasang wajah angkuh.
“Baik, Nona. Mohon lupakan kejadian malam ini.” Pria bertubuh tinggi yang baru datang mendamaikan suasana itu, mengalihkan pandangan ke arah pria psikopat di sampingnya.
“Mari, Tuan.”
“Mana bisa gitu, Dan. Dia ini yang memulai terlebih dahulu!”
Pria tampan itu maju selangkah dengan mengepalkan tangannya. Tapi, langsung di tahan oleh pria yang baru saja datang.