Selembar surat berada di tangan Leandra. Itu adalah apa yang Xaviera tinggalkan di dalam kotak hitam bersama dengan beberapa barang yang pernah ia berikan pada Xaviera sebagai hadiah ulang tahun sahabatnya itu.
Leandra menyiapkan hatinya, ia membuka lipatan kertas putih itu lalu kemudian mulai membacanya dari bagian teratas. Leandra jelas mengenali tulisan tangan Xaviera, sahabatnya itu sering mengerjakan tugas untuknya, jadi sebagian banyak buku tugasnya diisi oleh tulisan Xaviera.
Aku tidak pernah berharap kau sampai membuka surat ini, Lea. Karena itu artinya aku telah sangat mengecewakanmu.
Lea, maafkan aku. Pada akhirnya aku menjadi salah satu orang yang menyakitimu. Sungguh, Lea, aku tidak ingin pergi dengan cara seperti ini. Namun, aku tidak bisa mengatasi rasa sakitku sendiri, Lea. Aku berpikir mati adalah cara mengakhiri semuanya.
Maafkan aku, Lea. Maafkan aku pergi dengan cara yang sangat kau benci. Lea, aku berharap kau bisa hidup bahagia.
Terima kasih telah menjadi salah satu lilin yang menerangiku. Terima kasih telah menjadi seseorang yang begitu berarti untukku. Dan terima kasih telah menyayangiku.
Lea, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu, tapi aku tidak mampu melakukannya. Maafkan aku, Lea.
Hiduplah dengan baik, Lea. Aku tahu kau bisa melalui semuanya dengan baik. Genggamlah dunia di tanganmu, bersinarlah tanpa meredupkan cahaya orang lain. Tetaplah menjadi Lea yang aku kenal. Gadis manis dengan sejuta kebaikan di dalam dirinya.
Aku sangat mencintaimu, Lea. Bertemu denganmu adalah keberuntungan bagiku. Sekali lagi maafkan aku, Lea. Tolong jangan membenciku.
Xaviera, sahabatmu.
Mata Leandra telah sampai ke baris terbawah dari surat itu. Tidak ada ekspresi yang terlihat di mata Leandra selain sorot dingin yang membekukan.
Hati Leandra begitu terluka, tapi tidak ada air mata yang keluar dari netra coklatnya. Ia seperti seorang manusia berdarah dingin.
Leandra kembali melipat selembar kertas di tangannya. Ia ingin memaki, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia tahu, meski ia berteriak kencang sekalipun Xaviera tidak akan pernah kembali padanya.
Leandra benar-benar tidak mengerti bagaimana cara orang lain menyayanginya, kenapa mereka semua pergi dengan cara yang sama? Apakah meninggalkannya seperti ini merupakan bentuk kasih sayang mereka?
Apa yang begitu sulit untuk Xaviera ceritakan padanya? Apa yang telah mendorong Xaviera hingga wanita itu mengakhiri hidupnya? Apa yang telah membuat Xaviera yang ia kenal kuat menjadi tidak berdaya? Apa yang membuat Xaviera yang ia kenal cerdas menjadi tidak memiliki akal?
Berbagai pertanyaan muncul di benak Leandra, semakin ia pikirkan kepalanya semakin sakit.
Satu tangan Leandra terangkat, wanita itu memegangi kepalanya yang seperti ingin pecah. Kepergian Xaviera terlalu mengejutkan baginya.
Terakhir ia bertemu dengan Xaviera, sahabatnya itu tampak sangat bahagia. Ia bercerita tentang pekerjaannya yang menyenangkan. Tentang kesehariannya yang berjalan dengan baik. Xaviera tidak terlihat seperti seseorang yang memiliki masalah.
Atau mungkin ia yang tidak benar-benar bisa melihat ada sesuatu yang Xaviera sembunyikan darinya? Atau mungkin dirinya yang terlalu sibuk sehingga tidak tahu bahwa sesuatu terjadi pada Xaviera? Atau mungkin dirinya yang tidak memiliki waktu luang sehingga Xaviera sulit untuk bercerita padanya?
Leandra menyalahkan dirinya. Andai saja ia lebih peka, andai saja ia bisa meluangkan waktunya lebih banyak untuk Xaviera mungkin ceritanya akan berbeda. Mungkin saja Xaviera bisa berbagi rasa sakit padanya. Mungkin saja Xaviera tidak akan mengakhiri hidupnya.
Perasaan bersalah menyerang Leandra. Seharusnya ia berada di sisi Xaviera ketika Xaviera kesakitan. Bagaimana ia bisa mengaku pada dunia bahwa ia sahabat Xaviera saat ia sendiri tidak ada di sebelah Xaviera untuk membantu wanita itu mengatasi masalahnya?
Sebuah pisau tak kasat mata membelah jantung Leandra, rasa sakit yang tak tertahankan dirasakan olehnya.
Namun, sekali lagi tidak ada air mata yang keluar dari mata Leandra. Bahkan benda mati pun tidak boleh melihat kelemahannya.
Suara ketukan pintu dari luar bersamaan dengan nama Leandra yang disebutkan terdengar di telinga Leandra.
"Lean! Buka pintunya! Jangan membuatku cemas. Atau aku akan mendobrak pintu ini!" Suara manajer Leandra terdengar cemas.
Leandra bangkit dari sofa, ia melangkah menuju ke pintu kamarnya dan membuka pintu itu.
Saat pintu terbuka, manajer Leandra menerjang Leandra dengan pelukan. "Kenapa kau lama sekali membuka pintu? Kau membuatku merasa sangat takut, Lean." Wanita itu bersuara cemas.
Manajer Leandra mungkin tidak begitu lama mengenal Leandra dibandingkan dengan Xaviera, tapi wanita itu juga sangat menyayangi Leandra.
"Kau tidak melakukan sesuatu yang bodoh, kan?" Alice melepaskan pelukannya dari tubuh Leandra kemudian memeriksa tubuh Leandra.
"Kenapa kau kembali?" tanya Leandra.
"Aku akan tinggal di sini untuk beberapa hari." Manajer Leandra merasa terlalu riskan meninggalkan Leandra sendirian di saat seperti ini.
Seseorang bisa melakukan hal buruk ketika mengalami rasa kehilangan yang menyakitkan. Alice juga tahu ini yang kedua kalinya kisah seperti ini dialami oleh Leandra.
Kasus bunuh diri ayah Leandra pernah menjadi berita yang sangat hangat di Meksiko. Bahkan saat ini beberapa orang mungkin masih memperbincangkannya. Ayah Leandra pergi di usia yang masih cukup muda, saat kejayaan berada tepat dalam genggamannya.
"Aku baik-baik saja, Alice." Leandra tidak ingin merepotkan manajernya. Ia juga tidak akan melakukan hal bodoh. Cukup orang-orang yang ia cintai pergi dengan cara yang salah. Ia tidak akan mencatat sejarah yang sama.
"Aku tahu kau tidak baik-baik saja, Leandra. Kau bisa membohongi dunia, tapi tidak denganku. Meski kau mengusirku aku tidak akan pergi," tegas Alice.
"Kalau begitu terserah kau saja." Leandra kemudian melangkah kembali menuju ke sofa.
Alice mengikuti Leandra, ia melihat ke kotak hitam yang sudah terbuka. "Aku akan membuatkanmu makanan. Sejak pagi kau belum makan. Kesehatanmu akan menurun jika kau tidak mengkonsumsi apapun."
"Lakukan apapun yang ingin kau lakukan, Alice." Leandra berkata acuh tak acuh.
Alice melihat Leandra sekali lagi sebelum akhirnya ia meninggalkan Leandra dan pergi ke dapur.
Leandra kembali melanjutkan kegiatannya, melihat barang-barang yang ada di kotak. Perhiasan yang ia berikan pada Xaviera tahun lalu ada di dalam sana. Serta beberapa foto-foto Xaviera dan Leandra juga ada di sana.
Selain itu ada juga buku catatan di sana, tampaknya itu adalah catatan harian Xaviera.
Leandra meraih buku itu, ia membukanya. Tidak ada banyak hal yang tertulis di dalam sana selain beberapa kata-kata di setiap lembarnya.
Aku mencintainya, sangat mencintainya. Lembar pertama diisi dengan kata-kata itu. Lalu Leandra beralih pada lembar berikutnya.
Semua yang tertulis di sana tentang perasaan Xaviera untuk seorang pria. Tentang kebahagiaan Xaviera yang hanya digambarkan dengan beberapa kata.
Namun, pada halaman-halaman terakhir catatan itu tidak ada lagi kebahagiaan yang tertulis di sana.
Aku mencintai pria yang seharusnya tidak aku cintai. Pria yang tidak akan pernah bisa aku miliki. Semua salahku.
Leandra kini mulai mengetahui apa yang tidak bisa Xaviera ceritakan padanya. Tentang rasa sakit yang tak tertahankan yang dirasakan oleh Xaviera. Dan lagi-lagi itu kisah yang sama dengan ayahnya, tentang cara mencintai yang salah.
Leandra mengerti kenapa Xaviera tidak mampu bercerita padanya tentang hal ini karena Xaviera tahu benar bahwa ia sangat membenci hal-hal semacam ini.
Aku kehilangannya, kehilangan milikku yang berharga.
Maafkan aku yang telah menjadi noda dalam hidupmu. Maafkan aku yang dengan tidak tahu malu berani mencintaimu. Maafkan aku.
Aku pergi... Kau sudah tidak menginginkanku lagi... Aku akan segera bertemu dengan malaikat kecil yang juga tidak kau inginkan. Terima kasih untuk cerita yang begitu indah. Aku akan mengenangnya selamanya. Aku mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu.
Lembar berikutnya tidak ada lagi tulisan tangan Xaviera. Cerita cinta Xaviera berakhir di sana.
Cinta, ia kehilangan orang yang ia sayangi karena cinta itu lagi. Betapa mengerikannya cinta, entah sudah berapa nyawa yang ia renggut.
Leandra semakin membenci cinta. Perasaan yang harusnya memberikan kebahagiaan itu malah memberikannya lebih banyak duka.
Ponsel Leandra berdering. Leandra segera meraih ponselnya. "Ada apa, Jasmine?"
"Leandra, ada sesuatu yang ingin aku beritahukan padamu. Aku merasa kau perlu mengetahui ini."
"Katakan padaku."
"Satu minggu lalu Xaviera mengalami keguguran."
Leandra diam. Jadi, ternyata ada banyak hal yang tidak ia ketahui tentang Xaviera. Apakah mungkin maksud Xaviera mengenai ia telah kehilangan miliknya yang berharga adalah janin yang ia kandung?
"Xaviera memintaku untuk tidak memberitahumu karena dia tidak ingin membebanimu." Jasmine menambahkan.
"Apakah kau tahu dengan siapa Xaviera berhubungan?" tanya Leandra. Sebelum ini Leandra tidak pernah mengetahui Xaviera memiliki hubungan dengan pria. Yang ia tahu Xaviera hanya ingin mengejar cita-citanya terlebih dahulu.
Xaviera sama sepertinya berambisi, tidak memikirkan cinta sebelum keinginan mereka tercapai. Namun, sepertinya hanya ia yang berjalan sesuai dengan rencananya. Di persimpangan Xaviera berubah pikiran.
"Aku hanya tahu Xaviera pernah menjalin hubungan dengan Adelard Maxwell."
"Adelard Maxwell, maksudmu penerus keluarga Maxwell?"
"Benar."
"Apakah kau memiliki sesuatu yang lain yang ingin kau bicarakan?" tanya Leandra.
"Hanya itu yang ingin aku katakan, Leandra."
"Kalau begitu aku akan menutup panggilan ini."
"Ya."
Setelah itu Leandra memutuskan panggilan dari Jasmine. Ia melihat kembali ke buku catatan Xaviera yang ada di meja. Mungkinkah pria yang tidak menginginkan Xaviera lagi adalah Adelard Maxwell?
Kepala Leandra kini dipenuhi oleh teka-teki. Jika memang Xaviera memutuskan mengakhiri hidupnya karena dicampakan oleh Adelard, maka ia pasti akan membalas untuk Xaviera. Secara tidak langsung Adelard telah membunuh Xaviera.
tbc