Kerumunan meramaikan halaman sekolah. Beberapa siswa-siswi terlihat memadati papan pengumuman. Sepasang mata terlihat sibuk mencari hasil pengumuman hari ini. Banyak ekspresi yang terlihat senang, sedih, biasa-biasa saja, bahkan ada yang hampir menangis.
Seorang gadis berpakaian seragam, alisnya tebal, mata indah bercahaya, hidung setengah mancung, bibir kecil tipis, rambut lurus sebahu menghentikan langkahnya saat melihat kerumunan di depannya.
"Diandra." Terdengar teriakan dari belakang yang kemudian menghampirinya.
Diandra memutar tubuhnya saat melihat orang yang berteriak kepadanya. Perlahan bibir kecil tipisnya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman yang indah.
"Dhena, bisakah kita menerobos mereka ....?" tanya Diandra.
Tanpa menjawab Dhena menarik tangan Diandra dan menerobos masuk. Setelah berdiri di depan papan pengumuman, Dhena dan Diandra membelalakkan mata mencari nama mereka.
"Wow, kamu yang terbaik." Dhena memeluk Diandra, "dan aku berada di peringkat delapan." Dhena menekuk wajahnya ke bawah dan keluar dari kerumunan bersama Diandra.
"Bagaimana aku akan masuk universitas terbaik kalau nilaiku masih di urutan ke delapan?" Terlihat kekecewaan di wajah Dhena.
"Itu bukan nilai yang buruk." Diandra tersenyum mencoba menghibur Dhena.
Dari kejauhan Dhena melihat sosok yang selalu membuat hati para wanita bergetar saat memandangnya. Sosok itu berjalan keluar kerumunan. Dhena perlahan bangkit dari tempat duduk.
"Aliando." Wajahnya berubah penuh kekaguman.
Aliando Delfin memiliki ketampanan yang tidak biasa, wajah tirus, bibir tipis, mata bulat, hidung panjang dan rambut yang selalu tertata rapi mengikuti keindahan wajahnya. Sangat tampan.
Waktu seolah berhenti. Semua mata memperhatikan cara dia berjalan bagaikan supermodel cuek yang hanya melihat dirinya sendiri. Gadis yang melihat tanpa sadar akan mengikuti langkahnya yang indah dan elegan. Keindahannya seperti syair lagu mengikuti irama, seperti burung yang berkicau di pagi hari.
Mendengar ucapan Dhena, Diandra mencari. Saat melihat Aliando dari jauh, matanya hampir tidak berkedip. Dia selalu mengagumi sosok itu, tapi tak berani mendekat.
Mendekati Aliando akan membuat hidupmu dipermalukan. Mereka adalah para pewaris yang tidak berperasaan, yang akan menendang seketika tanpa ampun.
Aliando yang berjalan dengan kepala tegak bersama teman-temannya, tiba-tiba berhenti saat sepasang matanya bertemu dengan sepasang mata Diandra yang memperhatikan dirinya. Salah satu dari mereka bahkan menabraknya dan memandang Aliando. Tanpa melepas pandanganya, Aliando menghampiri Diandra. Dhena seperti terkena serangan jantung saat melihat Aliando berjalan ke arah mereka.
Matanya terus memandang Aliando.
"Apakah aku sedang bermimpi Aliando berjalan ke sini?"
Diandra mencubit Dhena dan mengalihkan perhatiannya.
"Hei, lady. Itu sakit!" bisik Dhena.
"Selamat." Aliando mengulurkan tangan, Sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman yang membuat jantung Diandra hampir melompat keluar.
Ini pertama kali Aliando menyapa seorang gadis di sekolah. Jangankan menyapa, melihat mereka pun tidak pernah.
Kerumunan yang tadinya riuh di depan papan pengumuman menjadi hening setelah semua orang berbalik melihat pemandangan langka di belakang mereka. Beberapa siswi mengambil gambar dan mengshare ke grup WA sekolah. Yang lain memandang Diandra dengan perasaan iri dan sebagian membencinya.
"Kenapa Aliando menyapa gadis yang sombong ini? Dia bahkan tidak secantik itu!"
"Aku iri dengannya."
Diandra murid pintar dengan gaya culun setiap hari.
Diandra terdiam.
"Hai, Aliando." Tersadar, Dhena melambaikan tangan kepada Aliando.
"Hai." Sapa salah seorang teman Aliando, Evan.
Setelah memberi ucapan selamat Aliando berbalik dan pergi. Diandra memperhatikan tubuh Aliando dari belakang tanpa berkedip. Dia tidak mendengar apa-apa yang dikatakan oleh Dhena. Jantungnya berdetak secara tidak normal, seketika bibirnya membentuk sebuah senyuman.
Dhena memperhatikan Diandra yang tidak seperti biasanya, kemudian menggoda dan mengajukan beberapa pertanyaan konyol.
"Apakah Aliando sangat tampan?"
"Iya."
"Apakah kau menyukainya?"
"Iya."
Diandra tersadar kalau Dhena sedang menggodanya. "Apakah kamu gila?" Spontan ia salah tingkah, pipinya terlihat memerah karena malu.
Dhena tidak bisa menahan tawa melihat temannya bertingkah aneh dengan wajah merah merona. Menurutnya itu sebuah pemandangan langka.
*****
Di sisi lain, Evan, teman Aliando, memperdebatkan sikap Aliando yang tiba-tiba memberikan ucapan selamat pada Diandra.
"Aliando, apa kamu mengenal gadis itu?" tanya Evan.
"Tidak."
"Lalu, kenapa kamu memberinya ucapan?" Evan semakin penasaran.
"Aku hanya tahu kalau dia yang terbaik di kelasnya." Aliando kemudian berhenti di lorong kelas lantai dua.
Pandangannya terlihat jauh ke arah Diandra yang mengobrol dengan Dhena sedang berjalan menuju pintu gerbang sekolah.
Evan terkejut. "Kamu bahkan tahu kalau dia yang terbaik. Sulit dipercaya." Sembari tertawa.
Aliando tidak menjawab. Tatapan dinginnya sulit untuk ditebak. Seakan menyiratkan begitu banyak makna yang ia simpan untuk dirinya sendiri.
*****
Diandra pulang ke rumah dengan membawa brosur di tangannya. Terlihat jelas kebahagiaan menyelimuti dirinya. Dia bahkan berjalan sambil melompat sedikit demi sedikit. Di rumah ada ibunya, Kartika dan adiknya, Saras.
"Bu, bisakah aku mendaftar di sini?" Tangannya menyodorkan brosur kepada ibunya.
Dengan prestasi yang dimilikinya, dia bisa masuk universitas bergengsi dan mendapat beasiswa. Diandra sudah memutuskan untuk masuk fakultas kedokteran. Itu adalah cita-cita yang sudah lama ia impikan. Menurutnya, dokter adalah pahlawan yang setiap hari akan menolong begitu banyak nyawa.
"Andra, ibu mau bicara. Julian, bisakah kau meninggalkan ibu dan kakakmu, bermainlah di luar!" Kartika meminta dengan lembut kepada Julian. Ia selalu memperlakukan anak-anaknya dengan lembut.
"Baik, Bu." Dengan patuh Julian keluar. Dia baru berumur empat belas tahun. Ketika ibunya memintanya pergi, dia dengan patuh akan pergi, karena tidak baik menguping pembicaraan orang dewasa.
"Andra, maafkan ibu, nak." Mata Kartika berkaca-kaca.
"Ibu, ada apa? Kenapa ibu meminta maaf padaku? Aku mohon, jangan membuatku takut." Diandra terkejut.
Selama ini, Kartika akan meminta maaf kepada dirinya dan Julian, bahkan jika ia melakukan kesalahan kecil. Menurut Kartika, dengan meminta maaf tidak akan menjauhkan mereka, tapi membuat mereka saling mengenal satu sama lain.
Kartika memegang tangan Diandra dengan ragu-ragu. "Kemarin Ibu bertemu dengan Ayahmu."
Sebelum Kartika melanjutkan, Diandra memotong perkataanya. "Kenapa ibu tiba-tiba bertemu dengan Ayah? Bukankah ibu tidak menyukainya? Ibu, hari ini aku lulus dan aku mendapat nilai yang terbaik di kelasku." Diandra berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sudah lama Ayahmu ingin kamu tinggal bersamanya. Dia sudah sering minta ini pada Ibu, tapi ...."
"Tapi apa, Bu? Jangan bilang, Ibu setuju dengannya!"
"Ibu sudah memutuskan!"
Setelah mendengar apa yang dikatakan Kartika, Diandra tertunduk lemas. Air matanya jatuh seketika, tubuhnya menjadi tak bertenaga, perlahan ia jatuh ke lantai.
Dia sama sekali tidak mengira ibunya akan mengirimnya untuk tinggal bersama ayahnya. Menyebut namanya saja tidak pernah, apalagi untuk tinggal bersamanya. Dunianya perlahan runtuh seketika.
"Ayahmu sangat menyayangimu di antara saudara-saudaramu. Ibu yakin, dia tidak akan menyusahkanmu selama kamu bersamanya. Di sana hidupmu akan lebih baik. Ibu sudah mengemas barangmu, ayahmu akan menjemput nanti malam. Jadi, bersiaplah!" Kartika mencoba menyembunyikan kesedihannya, meskipun suaranya terdengar serak.
Kartika adalah seorang ibu tunggal yang menghidupi tiga orang anak. Dia hanya mempunyai sebuah warung kecil untuk menyambung hidup mereka. Dan sesekali jika banyak keperluan mendesak, dia akan mengambil beberapa pekerjaan dari tetangga untuk menutupi pengeluaran mereka.
Perjuangan yang dia lewati untuk membesarkan anak-anaknya tidaklah mudah. Dan sekarang dia harus merelakan salah satu dari anaknya untuk tinggal bersama mantan suami yang sangat dia benci.
Diandra, anak yang pintar. Tinggal bersamanya hanya akan menyia-nyiakan hidupnya. Sebaliknya, jika dia tinggal bersama ayah kandungnya, dia akan mendapatkan pendidikan yang baik.
"Kenapa ibu tega melakukan ini kepadaku? Ibu tidak harus mengirimku ke tempat Ayah. Ibu tahu kan, bagaimana sikap istri Ayah kepada kita, dia sangat membenciku. Aku tidak bisa tinggal bersama mereka!" Diandra berusaha meyakinkan Kartika seraya memegang tangannya.
"Semuanya sudah diputuskan, jadi bersiaplah!" Kartika masuk ke kamarnya. Dia sudah tidak bisa membendung air matanya. Dia tidak ingin Diandra melihatnya menangis.
"Ibu .... Aku tidak ---" Seberapa keras dia menolak, itu tidak akan mengubah keputusan Kartika.
Terdiam seperti patung dengan tubuh gemetaran, pikirannya kosong. Ini pertama kali dia harus berpisah dengan ibu dan saudara-saudaranya. Tapi, Diandra tidak bisa berbuat apa-apa, karena ini adalah keputusan ibunya. Bahkan jika dia memohon beribu kali pun tidak ada yang bisa mengubah keputusan ibunya. Kakaknya bahkan tidak bisa melawan keputusan Kartika.
**Bersambung**