08. Luna dan Angga

1499 Words
Langit nampak mencerah saat anak-anak berkumpul dikantin saling berdesakan. Bangku yang sama warnanya berjejer rapi, membentuk persegi panjang kearah luar. Hal yang sama dilakukan Luna, ia duduk dibangku itu tanpa tahu harus berbuat apa. Tapi, cowok dengan dandanan rapi menariknya setelah keluar kelas tadi. Baru kenal beberapa hari, cowok itu sudah mengakrabinya. Seperti sudah kenal begitu lama, bahkan saat ditarik cowok itu Luna nggak menolak sedikitpun. Meski Vigo sudah melarangnya untuk tidak dekat dengan cowok itu, tapi dia nggak mau terlalu mengikuti. Lagi pula alasan Vigo untuk menjauhi cowok itu nggak masuk akal. “Nih, aku bawakan makan.” Angga menaruk dua mangkok bakso dimeja tepat didepan Luna. Luna menatap mangkok itu sambil mengernyitkan dahinya. Dia nggakk pernah seklaipun melihat makanan seaneh itu. “Jangan dilihatin gitu dong. Ayo makan.” Lanjut Vigo menyuruh Luna. “Kamu nyuruh aku makan gundukan tanah? Tidak, terima kasih.” Mendengar hal itu Angga tertawa geli. Ternyata masih ada manusia yang nggak tahu yang namanya bakso. Benar-benar seperti alien. “Lun, ini bukan gundukan tanah. Tapi, ini namanya bakso. Makanan juga.” “Oh bakso. Gimana makannya?” “Mudah, tinggal loe colok pakai garpu atau paling gak pakai sendok. Lagian loe ini dari mana sih, sampai gak tahu bakso? Atau jangan-jangan loe aliean ya?” “Alien?” “Iya, makhluk luar angkasa yang bentuknya gak karuan.” “Maksudnya gak karuan apa?” Luna mendelikkan matanya pada Angga, yang membuat Angga menggidik. Ia nggak pernah ditatap sebegitu menakutkannya. “Nggak-nggak, gue Cuma bercanda kali Lun.” Ujar Angga kemudian, sementara Luna mulai sibuk dengan makannya. Berulang kali Luna mencoba mengambil makanan itu, tapi berulang kali juga makanan itu terlepas/ sudah mirip seperti kodok yang nggak bisa diam. “Makanan ini susah.” Rengek Luna. “Apanya susah? Sini gue bantu.” Angga mengambil sendok dan garpu dari tangan Luna, lalu membenamkannya dibakso yang berukuran dua jempol. Dibelahnya bakso itu menjadi kecil-kecil dan memberikannya pada Luna, Luna memakan bakso itu dengan lahap seperti orang yang makan dua ribu tahun. “Loe doyan apa laper?” kata Angga mencibir. “Sepertinya dua-duanya. Aku enggak pernah makan makanan gundukan tanah ini.” “Yaudah loe habisin kalau enak, entar kalau habis nambah aja.” Luna mengacungkan jempol kirinya. Melihat tingkah Luna, Angga tertawa geli. Selama ini ia belum pernah melihat seorang cewek yang nggak peduli dengan orang-orang disekitarnya saat melakukan hal konyol dan aneh. biasanya para cewek itu sok jaim saat banyak orang didekatnya. Tapi, Luna beda. Dimata Angga, Luna itu gadis yang selama ini dicarinya. Cantik, baik, konyol dan nggak sok jaim. Luna melakukan banyak hal yang nggak dilakukan cewek seusianya. Melakukan tindakan-tindakan bodoh yang malah membuat banyak orang senang. “Lun?” “Ehm,” respon Luna sambil menelan makannya. “Loe udah punya pacar?” “Pacar? Apa itu?” “Pacar itu kayak cowok spesial yang setiap saat ada buat loe, yang nemenin loe curhat dan jalan bareng.” “Oh kakak?” “Bukan.” “Terus?” “Ehmm... gimana ya? Ah sudah lupakan.” Angga salah mengira, ternyata berbicara dengan Luna nggak semudah itu. luna nggak bisa diajak serius, karena nggak mungkin Luna nggak tahu yang namanya pacaran. Saat mereka terus mengobrol sambil Luna menelan makannya. Vigo datang secara tiba-tiba dan menarik tangan Luna dengan kencang, Angga yang melihat hal itu dan langsung menepis tangan Vigo. “Apaan sih loe, dia lagi makan tuh.” Angga geram melihat tingkah Vigo. “Eh loe gak usah ikut campur ya, ini urusan gue sama Luna. Loe diem aja deh.” Kata Vigo yang kemudian menarik Luna berdiri disisinya. “Itu urusana gue, sebab yang bawa Luna kesini gue.” “Oh loe. Makasih buat baksonya, kalau loe minta ganti rugi ngomong aja ke gue. Gue bakalan ganti.” “Go, jangan gitu dong. Niat Angga kan baik sama aku.” “Enggak. Cowok ini punay niat tersendiri setelah tahu siapa loe. Dan buat loe cowok norak, muali detik ini jangan deketin Luna lagi.” “Emang siapa loe? Loe pacarnya?” “Iya, gue pacarnya.” Vigo menarik tangan Luna menjauh dari Angga. Sementara Angga masih diam nggak percaya mendengar omongan Vigo. Apa benar cewek yang baru dua minggu dikenalnya ternyata pacar Vigo? Semuanya seperti mustahil. Sedangkan keramaian yang dibuat Vigo dan Angga membuat beberapa anak yang berada dikantin melihat mereka, nggak terkecuali Chaca. Ada rasa cemburu dihatinya saat melihat cewek yang dibencinya diperebutkan kakak dan cowok yang disukainya, rasanya Chaca semakin benci melihat hal itu. kenapa nggak ia saja yang mendapatkan posisi Luna, mungkin ia akan memilih keduanya. Tapi, sayangnya semua itu hanya mimpi dan hayalan belaka. Nggak mungkin semuanya terjadi. “Kenapa, loe cemburu lihat kakak loe sama Angga rebutan cewek aneh itu?” kata Rena dengan gaaya khasnya memutar rambut dengan jari. Rena mendapat kesempatan aik buat mencibir Chaca. “Eh diam aja deh loe!” suara Chaca meninggi, nggak terima dengan omongan Rena. “Nggak usah ditutupi, gue udah tahu kalau loe suka juga kan sama Angga.” Chaca nggak menanggapi omongan Rena, nggak ada gunanya. Ngomong sama Rena sama aja ngomong sama tukang debat profesional, nggak bakalan menang. %%% “Loe gakk ngerti-ngerti kalau gue bilang jangan ya jangan. Ngapain loe masih deket cowok itu?!” kata Vigo melemparkan tubuh Luna disofa ruang tamu. Saat itu rumahnya sepi, nggaka da yang bisa mendengar atau mencegah apa yang dilakukan Vigo pada Luna. Vigo benar-benar kesal dengana apa yang dilakukan Luna, padahal sudah berulang kali Vigo mengatakan untuk berhubungan dengan Angga, tapi Luna tetap saja mengindahkannya. “Tapi,” “Tapi apa? Loe mau minta alasan, kenapa gak boleh dekat dengan Angga? Nggak ada alasan apa pun. Biarpun ada alasan, loe gak perlu tahu itu!” kata-kata Vigo terus saja meninggi, Luna takut mendengar Vigo marah, maka dari itu dia diam saja. Ingin rasanya Luna berucap, tapi melihat tingkah Vigo yang begitu manakutkan dia mengurungkannya. Vigo begitu menakutkan seperti para pemburu yang sering beterbangan diotaknya. “Lun,” lanjut Vigo melemah dan ikut duduk didekat Luna. “Gue gak mau loe kenapa-kenapa karena dekat dengan cowok itu. oke, dia emang terkesan baik, tapi dia bisa ngehancurin hidup loe secara pelan, kalau dia tahu siapa loe.” “Go, nggak tahu apa masalah antara kamu sama Angga. Tapi, aku disini buat nepati janji mama kamu.” “Janji?” tanya Vigo bingung. “Janji apa?” “Mama kamu minta aku buat merubah isi rumah ini, setiap detailnya, benda-benda pecah harus diganti.” “Nggak. Gue gak paham.” Vigo semakin bingung dengan apa yang diucapkan Luna. Apa maksud barang-barang pecah harus diganti? “Mama sama papamu kehilangan anak-anaknya yang dulu kecil dan lucu, yang ketawanya bisa membuat rumah ini roboh.” “Oh, jadi mama udah ceritain ini semua. Bagus deh, jadi gue gak perlu ngomong apa pun. Tapi, satu yang harus loe tahu Lun, kadang keegoisan orang tua bisa berdampak buruk buat anaknya.” Vigo berlalu pergi. Selalu, seperti yang sering dilakukan Chaca saat ada yang membahas masa lalu itu. “Vigo. Cepat atau lambat aku bakalan tahu apa yang terjadi dirumah ini, masalah antara kamu dan juga Angga! Semuanya sebelum aku pergi!” Vigo nggak peduli dengan apa yang diucapkan Luna. Sekarang banyak hal yang membuatnya muak dan jengkel. Bahkan cewek yang kelihatannya polos dan lucu, bisa membuatnya sakit hati sebegininya. Sakit hati atau cemburu? Sebenarnya ada perasaaan nggak suka saat ia melihat Angga dan Luna berduaan dikantin tadi, apalagi mereka terlihat akur. Entah sudahh berapa lama Angga mengenal Luna, tapi kelihatannya mereka sudah begitu akrab. Kedekatan mereka berdua menimbulakan ambivalen dalam dirinya, sesuatu yang lain sudah dipikirannya. Benarkah ia jatuh cinta pada cewek yang telah menyelamatkan nyawanya, atau ia hanya iba melihat cewek itu sebatang kara. Tidak. Itu bukan suatu perasaan iba, tapi ada yang lain yang ikut andil dalam hatinya. Perasaan yang wah, tapi kata wah itu seakan berubah makna. Sedangkan Luna yang masih disofa itu dibuat kaget saat Chaca menarik tangannya dan membuat dia memalingkan wajah. “Gue udah muak ya sama loe! Pertama kali loe dateng, loe ambil papa sama mama. Terus loe ambil kak Igo, sekarang satu sekolah tahu kalau loe deket juga sama Angga.” Chaca menunjuk wajah Luna dengan perasaan kesal yang bercampur aduk. Semua masalah sudah membebani hidupnya, sekarang dia juga harus dihadapkan masalah karena adanya Luna. Apalagi semenjak Luna dekat dengan Angga, banyak anak-anak yang mengatakan bahwa ia kalah pamor dengan adiknya. “Dengar ya, gue gak akan tinggal diam, karena gue tahu siapa loe sebenarnya.” “Maksud kamu?” “Maksud gue itu udah jelas cewek aneh, loe itu siluman musang yang tersesat didunia manusia, kan. Sekarang loe mau cari tahu gimana caranya buat pulang. Benerkan?! Jawab loe!” kata-kata Chaca semakin meninggi, emosinya meluap-luap seperti magma yang hampir pecah menjadi lava. “Aku nggak ngerti maksud kamu, Cha. Aku bukan siluman musang atau sebagainya, aku manusia sama seperti kamu.” “Jangan bohong! Gue udah denger semua pembicaraan loe sama gadis pocong itu. atau jangan-jangan loe ya yang buat kak Igo kecelakaan dan dengan itu loe dateng buat nyelametin dia. Sekarang gue tinggal ngebuktiin kalau loe siluman musang, tapi gimana caranya? Gue pasti menuin. Kayak duyung kalau kena air jadi siluman, loe juga pasti ada kelemahannya.” Chaca kemudian tersenyum sinis, sambil berlalu pergi. Sementara Luna semakin bingung dengan keadaan ini, semuanya ngak seperti yang dia harapakan. Dia menolah ajakan gadis siluman itu, tapi sekaranga Vigo membecinya dan Chaca mengetahui bahwa dia siluman, rasanya kepalanya hampir pecah. Apa saat ini Angga juga membencinya? Ternyata menjadi siluman nggak semudah yang dia pikirkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD