Setelah pertemuan dua keluarga secara resmi, yang berlangsung di kediaman keluarga almarhum Haris, akhirnya … tanggal pernikahan Sharga dan Senja, pun, diputuskan. Dan sejak saat itu, Raka Wijaya—orang kepercayaan Sangaji—mulai mengurus segala berkas-berkas kepentingan pernikahan. Termasuk urusan pendaftaran di Kantor Urusan Agama setempat. Begitu juga dengan Suci—Ibu kandung Sharga—yang mulai menyiapkan segala hal untuk acara akad, dan resepsi pernikahan putranya, nanti.
Sementara Sharga … melihat kesibukan orang-orang menyiapkan pernikahannya, pria itu seakan tidak peduli, dan memilih untuk menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya di rumah sakit, atau sekadar menghabiskan waktu libur berdua dengan Arista. Entah itu menemani kekasihnya bekerja di butik, atau berjalan-jalan sore, menghabiskan waktu berdua. Ia bahkan sudah tidak berniat untuk menyambangi rumah kedua orang tuanya, walau hanya untuk bertemu dengan sang ibu.
Lebih baik merasa lelah karena sibuk dengan urusan di rumah sakit, daripada merasa lelah karena menahan kekesalan. Itulah yang dipikirkan oleh Sharga.
Hingga tanpa terasa, hari pernikahan yang sudah ditetapkan, pun, hampir tiba. Hanya tersisa dua hari, sampai waktu ijab kabul dilangsungkan. Dan sampai detik ini, Sharga masih juga menutupi perihal pernikahannya dari sang kekasih. Dia tidak ingin Arista mengetahui, jika dalam waktu dekat, statusnya sudah menjadi suami dari seorang gadis lain.
“Ga, kok diem? Kamu ketiduran lagi, ya?”
Pria yang tengah menempelkan ponsel pada telinga, sembari berbaring di atas ranjang tingkat, ruang beristirahat para dokter jaga itu, seketika terkesiap, kala pertanyaan dari seorang wanita di seberang telepon sana, kembali menyapa indera pendengarannya. Segala hal yang sedang membayangi pikiran, seakan lenyap, berganti dengan kenangan indah yang sudah dilaluinya bersama sang kekasih.
“Enggak, kok, Sayang. Aku diem, karena aku lagi cek jadwal operasi untuk beberapa hari ke depan,” jawabnya berbohong.
“Oh, gitu. Aku kira kamu ketiduran lagi kaya biasa.” Wanita itu terdengar menjeda ucapannya, sebelum akhirnya melanjutkan. “Hari Sabtu malam … kamu ada jadwal operasi, gak, By? Aku pengen ketemu sama kamu.”
Deg!
Mendengar pertanyaan Arista, membuat Sharga seketika terdiam.
Sabtu, adalah hari dimana dia akan melaksanakan pernikahan yang tidak diharapkannya.
Sabtu, adalah hari dimana dia akan menyebutkan nama lengkap gadis lain, sebagai mempelai wanita, ketika prosesi ijab kabul.
Dan, Sabtu, adalah hari dimana ia akan berdiri di atas pelaminan, bersanding dengan perempuan lain yang telah resmi berstatus seorang istri untuknya. Pendamping hidup pilihan sang Ayah.
Membayangkannya saja, membuat Sharga seketika menghela napas berat. Pria itu benar-benar semakin frustasi menghadapi kenyataan pahit ini.
“Sabtu … hmmm … bentar … aku harus lihat dulu jadwal untuk sabtu malam, besok.” Pria itu kembali terdiam, tak bersuara, dan berpura-pura membuka penjadwalan shift pada sebuah aplikasi milik rumah sakit. Sharga benar-benar tengah memutar otak, untuk memberikan alasan selogis mungkin pada Arista, agar kekasihnya itu tidak curiga, dan memilih waktu lain untuk pertemuan mereka.
Setelah mendapat ide, Sharga kembali bergumam, kemudian berkata, “hmm … maaf, Sayang, hari Sabtu besok, aku ada jadwal penanaman pacemaker untuk pasien dengan fibrilasi atrium, bareng dokter Clara. Karena akan melalukan prosedur medis AV, jadi beliau minta tolong aku buat jadi rekan selama operasi berlangsung.”
*** (Fibrilasi atrium, adalah gangguan yang mengakibatkan denyut jantung tidak teratur dan dapat berakibat fatal, selayaknya gagal jantung. AV, atau Ablasi Nodus Atrioventricular, adalah prosedur medis menggunakan kateter untuk mengirimkan energi radiofrekuensi ke jalur—AV node—yang menghubungkan antara ruang jantung atas dan bawah. Prosedur ini digunakan untuk menghancurkan area kecil jaringan jantung, dan mencegah sinyal yang abnormal).
Demi membuat Arista tidak mencurigainya, Sharga pun terpaksa kembali membohongi wanita itu. Entah harus sampai kapan ia melakukan hal bodoh seperti ini, hanya demi menyembunyikan kenyataan pahit dari Arista. Pria itu benar-benar amat sangat tidak ingin melukai perasaan kekasihnya.
“Jadi, Sabtu malam besok … kita gak bisa ketemu lagi, ya?” tanya Arista dari seberang telepon. Terdengar begitu jelas, nada kecewa dari pertanyaannya, dan itu malah membuat perasaan Sharga semakin terluka.
‘Aku bener-bener terpaksa ngelakuin semua ini. Aku sendiri bingung, harus dengan cara apa lagi untuk membatalkan perjodohan gila yang Papa rencanain. Maaf, aku udah bohongin kamu, Yang. Maaf.’ Monolog Sharga dalam hati, sebelum akhirnya menjawab dengan kebohongan lainnya. “Hmm. Maaf, ya, Sayang. Jadwal aku bener-bener padat banget untuk beberapa hari ke depan. Belum lagi, aku harus gantiin dokter Arlan, mengecek beberapa pasiennya, karena beliau ambil cuti selama tiga hari untuk dampingin istrinya lahiran. Tapi, sesibuk apapun aku, nanti, aku janji bakal selalu kabarin kamu, dan sempetin buat hubungin kamu di waktu senggang.”
“Ah … gitu. Ya udah, gak apa-apa. Tadinya, aku mau ajak kamu ke rumah Mama.” Arista menjeda ucapannya sesaat, kemudian melanjutkan. “Kemarin, adik aku yang kuliah di Yogyakarta baru pulang, bareng Om Angga, sama Tante Icha juga. Rencananya, aku mau sekalian kenalin kamu sama keluarga besar dari Mama aku, By. Tapi, kalau kamu sibuk, gak apa-apa, kok. Maybe, next time, aku bisa sekalian kenalin kamu sebagai calon suami aku ke keluarga besar Mama dan Papa.” Lanjutnya.
Satu tamparan yang begitu keras, lagi-lagi harus Sharga terima. Bagaimana tidak terluka? Ketika Arista mengatakan, jika ia ingin mengenalkan Sharga sebagai calon suami kepada seluruh keluarga besarnya, saat itulah Sharga teringat, jika dalam waktu dua hari ke depan, statusnya bahkan sudah berubah menjadi suami dari wanita lain.
Dia benar-benar tidak bisa membayangkan, semarah, sekecewa, dan seterluka apa Arista, jika mengetahui semuanya. Terlebih, pada dirinya.
“Next time, ya, Sayang. Sekalian pertemuan dua keluarga besar untuk membicarakan pernikahan kita.”
Dan bodohnya, Sharga masih tetap melanjutkan kebohongan tersebut pada wanita itu, dengan memberi harapan palsu yang terlalu indah. Membuat semuanya terlihat begitu nyata, walau kenyataannya hanya sebuah fatamorgana.
Sementara di sisi lain, Senja, yang juga nampak biasa saja dengan persiapan pernikahan, malah asyik menggambar pada drawing tablet miliknya. Tangannya yang begitu terampil, menggerakkan stylus pen untuk menggambar tahap awal pembuatan bab baru untuk komiknya. Ia buat proporsi wajah untuk dua tokoh dalam ceritanya, lalu membuat sketsa mentah dengan anatomi yang lengkap.
Sembari tersenyum simpul, dan bahagia, gadis cantik itu mulai menambah ornamen-ornamen tambahan pada gambarnya, hingga Senja lupa, jika ia sedang berkesal hati, karena perjodohan dengan lelaki asing yang sampai detik ini belum pernah berbicara sepatah katapun dengannya. Jangankan berbicara, bertanya melalu pesan singkat pada salah satu aplikasi berkirim pesan saja, tidak pernah.
Sesombong itu Sharga di mata Senja.
Namun beruntungnya, ia tidak tertarik sedikit pun tentang kehidupan calon suaminya. Seberjalannya saja. Tidak ingin memaksakan, apalagi menuntut. Karena bagaimanapun, resiko menikah karena perjodohan, adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Itu yang dipikirkan oleh Senja sejak tanggal pernikahannya ditetapkan.
Drrttt … drrrttt ….
Saat sedang asyik menggambar latar belakang dalam drawing tablet, suara getar ponsel seketika mengalihkan perhatiannya. Gadis itu melirik sesaat, kemudian meraih benda pipih tersebut, sembari menggeser tombol hijau ke atas, lalu menepelkan gawa itu pada telinganya.
“Ya, Fil? Ada apa?” tanya Senja to the point.
“Lo serius mau nikah? Bunda gak lagiq bercandain gue, kan?” Dan gadis dari seberang telepon itu pun menanyakan sesuatu hal secara to the point juga.
Senja yang cukup terkejut dengan pertanyaan dari Filo–sahabatnya–seketika menghentikan kegiatan menggambarnya, untuk memfokuskan diri pada perbincangan dengan Filo.
“Bunda nelepon kamu, Fil? Serius? Kapan?” tanya Senja mencecar. Dia memang belum memberitahukan kabar pernikahannya pada siapapun, karena gadis itu benar-benar tidak ingin, orang lain, di luar dari sanak saudaranya, mengetahui perihal pernikahan paksa ini. Termasuk kedua sahabatnya sejak SMA–Filo dan Humaira.
“Barusan banget! Gue juga udah konfirmasi sama Aira. Dan dia pun sama terkejutnya sama gue, dapet telepon dari Bunda buat kabarin soal pernikahan lo.” Filo terdengar menghela napas dalam, lalu bertanya, “kenapa lo harus sembunyiin hal bahagia ini dari kita? Lo udah gak anggap gue sama Aira sahabat lo? Iya?”
“Bukan gitu, Fil. Aku sendiri masih bingung, gimana jelasin semuanya dari awal. Yang jelas, cuma satu kata yang bisa menggambarkan semuanya.” Senja menjeda ucapannya, kemudian melanjutkan. “Ini … adalah pernikahan yang gak pernah aku harapkan.”
***