Hanya Senja-Lembar Ketiga

1563 Words
Senja Shadiya Kireyna. Gadis cantik mempesona, yang memiliki mimpi besar. Itulah artinya. Serangkai nama yang indah, dengan jutaan doa tersirat di dalamnya. Siapa sangka, jika gadis cantik berusia dua puluh tujuh tahun, yang akrab disapa dengan panggilan Senja itu, adalah seorang komikus, penulis komik salah satu platform baca komik online, yang dikenal dengan nama pena Miracle Moon. Ya … dia hanya dikenal sebagai Miracle Moon. Bukan Senja. Tidak ada satu orang pun yang tahu, jika sang pemilik pena Miracle Moon, adalah Senja, kecuali Ibu, Kakak, dan juga Abyas–Dokter yang bertanggung jawab pada pengobatan Senja. Semua penggemar hanya mengenal gadis itu melalui gambar-gambar indah hasil coretan tangannya, yang terlihat begitu hidup, dengan alur apik, penuh pesan, dan motivasi untuk setiap penikmat karyanya. Total, ada sembilan judul komik yang sudah terpublish pada platform baca komik online berbayar tersebut, dan satu judul lain masih berlangsung, atau dalam tahap pembuatan. Salah satu karyanya, sudah dibaca hampir lima belas juta kali, disukai oleh kurang lebih delapan juta penggemar, dengan rating hampir mencapai angka sepuluh. Sedangkan karyanya yang lain, masih menginjak di angka lima hingga delapan juta pembaca, dan disukai oleh kurang lebih satu sampai dua juta penggemar, dengan rating yang sama. Hebat bukan? Ya … Itulah salah satu kelebihan dalam diri Senja yang bisa dia banggakan, setelah dinobatkan oleh para Dokter di rumah sakit–tempat di mana Senja di rawat–menjadi salah satu perempuan paling kuat, yang berhasil bertahan dengan kelainan otot jantung sejak bayi. Dari hobby-nya ini, Senja bahkan bisa membantu meringankan biaya pengobatan rumah sakit yang sangat besar, yang biasanya ditanggung secara keseluruhan oleh Alfarezi, dan juga sang Ibu, sejak kematian Ayah mereka. “Selamat malam, adik kesayangan Abang.” Sapaan sang Kakak, ketika Senja tengah fokus menggambar pada sebuah drawing tablet, yang ditaruh di atas meja, berhasil membuyarkan pikiran gadis itu. Dia … Alfarezi Shawki. Pria berusia tiga puluh dua tahun, yang akrab di sapa dengan sebutan Kiki itu, adalah seorang Manager di salah satu perusahaan ekstraktif yang bergerak dibidang perikanan. Lelaki satu-satunya yang sangat menyayangi, menjaga, dan merawat Senja dengan penuh kehangatan, juga mengganti peran sosok sang Ayah, sejak kematian orang tercintanya itu. Lelaki yang bahkan rela meninggalkan setumpuk pekerjaan, ketika mengetahui penyakit sang adik kambuh, dan dilarikan ke rumah sakit. Kakak lelaki satu-satunya yang Senja miliki, dan sangat ia sayangi. Dengan raut wajah bahagia, gadis itu segera bangkit, membawa serta tiang infus, lalu berhambur memeluk tubuh kekar Alfarezi, yang langsung dibalas oleh pria itu lebih erat. Senja bahkan tak sadar, stylus pen yang dia gunakan untuk menggambar, masih berada dalam genggamannya. “Kok, Abang sendirian, sih? Bunda mana?” tanya Senja, ketika pelukan sang kakak sudah terlepas dari tubuhnya, dan sadar, jika Ibunya tak kunjung datang. “Bunda lagi ngobrol sama sahabat Almarhum Ayah, di luar. Bentar lagi juga masuk,” jawab Alfarezi, seraya memberikan satu kantong plastik berisi berbagai makanan kesukaan adiknya. “Sahabat Almarhum Ayah? Siapa Bang Kiki?” tanya Senja, penasaran. Gadis cantik yang sudah terlihat lebih segar itu, kembali duduk di atas sofa, menaruh drawing tablet di atas pangkuannya, kemudian membuka kotak berisi potongan buah-buahan, yang dibawakan oleh sang Kakak, untuk segera ia santap. “Om Aji,” jawab Alfarezi, sambil duduk di samping sang adik, dan membuka laptop miliknya. Senja yang tengah asyik menikmati buah strawberry, sembari melanjutkan kegiatan menggambar, hanya melirik pada sang kakak, kemudian kembali fokus pada layar drawing tablet di atas pangkuannya. Sebuah gambar perempuan cantik, dengan rambut panjang tergerai, mengenakan mini dress berwarna peach, tengah duduk di atas kursi taman salah satu rumah sakit, sambil memainkan ponsel. Pada gambar berikutnya, nampak seorang pria bersneli terlihat dalam posisi berlari, baru saja tiba di samping gadis cantik itu, membawa dua botol minuman dingin di tangan kanan dan kiri, dengan seulas senyum tercetak dari kedua sudut bibirnya. Usai memberi warna pada sketsa, hingga menjadi gambar sempurna yang terlihat lebih hidup, Senja pun menambahkan brush dedaunan kecil yang berguguran dari pepohonan di taman tersebut, agar suasana yang tersiratkan dalam gambar, bisa tersampaikan maknanya dengan mendetail. Tak berhenti sampai di situ, dia pun menambahkan beberapa onomatope pada suara embusan angin, dan gesekan dedaunan yang saling beradu, kemudian memasukkan sederet dialog dalam balon kata di sisi kanan gambar si pria bersneli. *** (Onomatope adalah sekelompok kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang digambarkannya). ‘Jingga, apa kamu sudah lama menunggu?’ Gambar pun berganti pada scene di mana sang gadis cantik itu menoleh, menatap pada lelaki yang kini duduk di sampingnya, sembari tersenyum sangat lebar, menampilkan deretan gigi rapi dan putih. Pada bagian bawah sisi kanan kursi, tiga balon kata, pun, kembali dibuat oleh Senja. ‘Aku baru saja tiba. Ya Tuhan, senang sekali bisa bertemu kembali denganmu, Dokter Langit.’ ‘Saya juga sangat senang, bisa bertemu dengan kamu, bukan sebagai seorang Dokter dan pasiennya.’ “Cukup seperti ini. Jangan sampai, kita bertemu lagi di ruang operasi. Saya tidak yakin, akan kuat menghadapi ketegangan yang serupa, seperti saat itu.” Senja menggumamkan dialog Langit yang tengah diketiknya dalam balon kata, hingga membuat Alfarezi yang mendengar hal itu merasa penasaran, dan langsung mengalihkan perhatiannya pada layar drawing tablet milik sang adik. “Bikin komik apa lagi sekarang?” tanyanya. Tanpa mengalihkan perhatiannya, Senja menjawab, “romance, Bang. Kisah cinta pasien dan Dokternya.” “Happy ending?” Alfarezi semakin penasaran, karena yang dia tangkap dari dialog percakapan dalam gambar tersebut, adalah sesuatu hal tentang Senja. Senja menggeleng. “Sad Ending.” “Yang jadi pasien, si ceweknya?” tebak Alfarezi, masih memperhatikan hasil coretan tangan Senja yang terlihat hampir sempurna. Gadis itu menganggukkan kepala. “Ceweknya punya penyakit gagal jantung bawaan, dan diagnosa Dokter, hidupnya gak akan lama lagi. Si karakter Jingga ini cuma hidup berdua sama Ayahnya yang kerja serabutan. Dia paling benci diperlakukan selayaknya orang sakit. Apalagi, diistimewakan seperti seseorang yang akan segera meninggal dalam kurun waktu dekat. Dia tahu, dan dia sangat sadar jika penyakit yang dideritanya bagai bom waktu, yang bisa kapan saja meledak. Karakter Jingga ini, Senja buat jadi gadis kuat, dan selalu ceria dalam kondisi apapun. Tapi, entah sudah berapa kali dia ingin menyerah pada penyakitnya. Jingga–” “Udah, cukup!! Apaan, sih, kamu, De? Bikin alur cerita gak jelas kaya gitu. Ganti! Cerita fiksi gak berguna. Abang gak suka,” potong Alfarezi, kesal. Pria tampan itu benar-benar marah, karena tema cerita komik yang diambil oleh sang adik, amat sangat sensitif untuknya. Dari alur yang Senja ceritakan saja, sudah sangat jelas, jika cerita itu mengisahkan kehidupan Senja, yang diceritakan melalui goresan tangan, dengan pembawaan karakter berbeda. Mendengar perintah seenaknya dari sang kakak, membuat gadis cantik itu seketika geram, lalu memberi tatapan tajam pada Alfarezi. “Gak bisa seenaknya, dong, Bang Kiki! Cerita ini udah dikontrak. Alur yang dibuat dalam synopsis yang dikirimkan, gak bisa diubah gitu aja. Jangan ngaco, deh, Bang!” protes Senja, ketus. Saking kesalnya, Alfarezi merampas stylus pen dari genggaman sang adik, kemudian mencoret layar benda persegi panjang tersebut, bak seorang bocah yang merajuk pada orang tuanya. “Abang!” seru Senja dengan nada tinggi. Dengan sikap acuh tak acuh, Alfarezi hanya mengibaskan sebelah tangan, dan kembali fokus pada layar laptop di hadapannya. “Abang jahat! Abang gak bisa hargain pekerjaan Senja,” celetuk Senja, kesal. “Bab ini udah ditungguin banget sama Kak Lulu buat di review! Abang ngerti, gak, sih? Bikin kaya gini, tuh, gak mudah, Bang! Apalagi saat kesehatan Senja baru aja pulih.” “Ya udah, kalau tahu bikin cerita kaya gitu gak mudah, ngapain kamu lanjutin? Abang masih mampu, kok, biayain biaya rumah sakit kamu, dan kebutuhan rumah tiap bulannya.” “Abang bener-bener jahat. Gak punya hati. Senja benci sama Abang!” gumam Senja, di sela isak tangisnya. “Abang gak peduli. Mau kamu bilang jahat, kek. Mau kamu bilang gak berperasaan, kek. Yang jelas … Abang gak setuju dengan alur komik yang lagi kamu buat. Paham?!” Senja mendengkus mendengar jawaban dari Kakaknya. “Ha! Apa alasan Abang gak setuju dengan alur komik yang Senja buat? Ini ide cerita Senja. Alur yang Senja rancang dari jauh-jauh hari. Ini udah berjalan seratus delapan bab. Senja gak bisa main ubah alurnya gitu aja!” “Karena yang Abang inginkan, kamu memiliki akhir kisah bahagia!” jawab Alfarezi, sembari menutup layar laptopnya dengan kencang. ‘Dan Abang tahu, Jingga dalam cerita komik yang sedang kamu buat, adalah gambaran diri kamu, dan kisah hidup kamu,’ lanjut Alfarezi dalam hati. Sementara dalam sebuah ruang tindakan pembedahan, seorang pria mengenakan baju tindakan operasi, nampak tengah fokus melakukan pemasangan permanent pacemaker di balik kulit area d**a, atau lebih tepatnya di bawah tulang selangka. Setelah mengecek posisi alat tersebut, dan menghubungkannya dengan sebuah selang kecil penghubung, ia pun segera melakukan pelekatan dengan benang monofilamen, memastikan semuanya sudah terpasang dengan sempurna, dan alat berfungsi baik, kemudian menutup bekas sayatan pada bagian d**a pasiennya. Satu embusan napas lega terdengar berembus secara bersamaan, diikuti ucapan hamdalah dari semua Dokter yang berada dalam ruangan tersebut. Sharga, yang memimpin jalannya operasi, menatap pada rekan-rekan sejawatnya, lalu tersenyum di balik masker yang dikenakannya. “Terima kasih, karena kalian semua sudah bekerja keras.” Pria itu tidak menyadari, sang ayah, bersama seorang wanita paruh baya berhijab, tengah memperhatikannya dari kaca jendela ruang operasi. “Dia putraku. Seorang Dokter bedah toraks dan kardiovaskular terbaik di rumah sakit ini. Dia jugalah … lelaki yang akan menikahi putrimu, sebagaimana janjiku dengan Almarhum Haris, sahabat terbaikku,” ucap pria paruh baya tersebut, dengan lugas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD