--- Rasanya sangat sakit,
--- Aku pikir, aku telah merelakanmu dengan yang lain,
--- Namun entah mengapa?
--- Mata ini masih menangisi kebahagiaanmu,
***
Ghibran sudah selesai mandi dan memakai baju santai, mandi air hangat menjadi pilihannya untuk terapi lelahnya.
Dia duduk di sofa ruang tamu, cottage ini sangat spesial karena merupakan yang paling besar dengan berbagai fasilitas mewah di dalamnya.
Menyetel televisi dan memegang s**u coklat hangat di tangan, ada pelayan yang menyiapkan kebutuhannya disini.
Baru saja telepon dari Lila mati, terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu. Ghibran berjalan dan membukanya, karena Panca menempati cottage lainnya.
Bunga tersenyum dan menenteng dua plastik makanan dan minuman ringan, "Boleh masuk?" tanyanya.
"Mau ngapain?" ketus Ghibran, namun Bunga hanya cemberut dan meringsek masuk mendorong pintu di belakang Ghibran.
"Walaupun kita mantan pacar, kita kan pernah berteman sebelumnya, memangnya nggak boleh menyapa teman lama?" kekeh Bunga, mulai mengeluarkan berbagai snack dan cola dari dalam plastik yang dia bawa di meja.
Ghibran duduk di sofa panjang dan Bunga ikut duduk di sampingnya. Ghibran berdecih ketika menyadari ternyata bunga mengenakan rok pendek juga atasan kaos yang sangat tipis.
"Pantas lintah darat itu meminta kamu melayaninya, mungkin karena kamu sering pakai pakaian seperti ini?" tunjuk Ghibran. Bunga memperhatikan pakaiannya, tidak ada yang salah dirasa.
Bunga menyilangkan kakinya, mempertontonkan pahanya yang mulus, Ghibran mencoba untuk tak melihat paha itu, namun entah kenapa hasrat kelakiannya menjadi bergejolak, ditenggak cola itu dengan sekali tenggakan, dan memfokuskan pada televisi di hadapan mereka.
Bunga nampak menoleh ke kiri dan kanan, memang sudah sangat sepi malam ini, bahkan suara jangkrik dan binatang malam mulai terdengar saling bersahutan.
Bunga memegang tangan Ghibran yang besar, Ghibran menoleh dan Bunga tersenyum memajukan wajahnya lalu mendaratkan ciuman di bibir Ghibran, Ghibran tak kuasa menolak namun dia tetap terdiam tak membalas ciuman itu, tangan Bunga meraba dadanya lalu naik ke leher Ghibran dan juga membelai pipinya. Bunga menghisap bibir bawah Ghibran dengan sangat bernafsu, dia memajukan tubuhnya dan menempel pada tubuh Ghibran, Ghibran terpancing dan membalas ciuman Bunga. Bukankah dia memang masih belum dapat melupakan wanita itu sepenuhnya?
Mendapat balasan dari Ghibran membuat Bunga senang bukan kepalang, dia merasa mendapat lampu hijau karenanya dia segera mengangkat tubuhnya dengan tak melepaskan ciumannya, duduk di pangkuan menghadap Ghibran, tangan sebelah Bunga mengambil tangan Ghibran dan meletakkan di atas payudaranya, Ghibran pun terbakar gairah, meremas bukit kenyal itu. Bunga menggerakkan bokongnya yang telah berada di atas kemaluan Ghibran.
Saat ini Ghibran mengenakan celana santai sehingga tentu kejantanannya akan sangat terasa berada di bawah Bunga, Bunga terus saja menggesek k*********a yang masih terhalang celana dalamnya, dapat dirasakan benda milik Ghibran itu mulai mengeras, Bunga mendesah berkali-kali ketika Ghibran mulai melesakkan lidahnya di mulut Bunga.
Bunga melepas ciuman itu dan membiarkan Ghibran menjilati lehernya, tangan Ghibran masuk ke dalam kaos Bunga dan Bunga membantu melepas kait Branya. Saat Ghibran ingin membuka kaos Bunga, sesuatu seolah terlintas dalam otaknya, seolah menyengatnya dan membuatnya tak bernafsu. Dia teringat senyum polos Lila istrinya. Karenanya Ghibran hanya terdiam, Bunga tampak bingung, melihat wajah Ghibran yang mengeras.
"Kenapa?" tanyanya.
"Aku nggak bisa," ucap Ghibran sambil menarik tangan Bunga agar turun dari pangkuannya.
"Aku yakin kamu masih suka sama aku Ban, lalu kenapa? Aku sangat merindukanmu," ucap Bunga memelas.
"Kita sudah berbeda Bunga, aku telah menikah!" sentak Ghibran.
"Aku tahu kamu tidak mencintainya, lagipula disini tidak ada siapa-siapa?" Bunga masih fokus pada pendiriannya.
"Sebaiknya kamu pergi!" ucap Ghibran sambil berdiri, Bunga membuka baju dan juga roknya, melempar asal celana dalam dan juga branya ke lantai, tubuhnya sudah tak mengenakan sehelai benangpun saat ini. Ghibran masih membelakanginya dan memejamkan mata, mencoba menepis bayangan Bunga dan apa yang mereka lakukan tadi.
"Ban. Lihat aku!" ucap Bunga, Ghibran menarik nafas dan membalikkan badan,. Nafasnya tercekat dan matanya membelalak melihat Bunga yang telah telanjang itu.
"Pakai baju kamu!" Ghibran membuang muka, Bunga meringsek maju dan memegang wajah Ghibran, tangannya mengambil tangan Ghibran dan meletakkan di payudaranya, "Kamu yakin tidak merindukan ini? Menyentuh ini?" ucap Bunga sambil menggerayangi tubuhnya dengan tangan Ghibran.
Ghibran menarik tangannya dan menghentakkan tangan Bunga, "Jangan pernah jadi w************n demi ambisi kamu! Ingat itu!" Ghibran meninggalkan Bunga yang matanya sudah memanas, Bunga memunguti bajunya lagi dan mengenakannya. Ghibran membanting pintu kamar dan menguncinya, menarik nafas panjang dan segera melakukan panggilan Video dengan Lila.
Dia memang belum mencintai Lila, dia juga yakin masih menyayangi Bunga, namun selingkuh bukan hal yang paling diinginkannya, dia meyakinkan dirinya bahwa dia adalah pria yang setia dan sampai kapanpun dia akan seperti itu.
"Hai," sapa Lila saat mengangkat panggilan itu, Ghibran tersenyum pada Lila yang wajahnya telah terpampang di ponselnya, melihat Lila yang telah berada di kamar tidur dengan gaun tidur tipisnya.
"Lagi apa?" tanya Ghibran.
"Video call," jawab Lila sambil terkekeh.
"Sebelum Video call?" Ghibran mengelak, tak mau kalah.
"Biasa, baca buku buat referensi,"
"Masak apa hari ini?" tanya Ghibran lagi, tangan Ghibran memegang kejantanannya yang mengeras, dalam hati dia menyumpahi Bunga, yang telah membangkitkan juniornya dan kini dia pasti tak akan bisa tidur jika belum di keluarkan.
"Tadi belajar bikin bolu kukus, dan gagal," Lila cemberut namun ekspresinya sangat lucu.
"Kalau aku disana, aku akan tetap makan bolu itu," ucap Ghibran.
"Jangan, bentuknya nggak jelas terus rasanya juga aneh, kayaknya aku kebanyakan campur pengembang, Ban kamu ngapain sih?" Bunga memperhatikan tangan Ghibran yang bergerak tak wajar.
"Ada orang di sekitar kamu?" tanya Ghibran, Lila menggeleng, dia bahkan sudah menutup pintunya meski tak menguncinya karena khawatir tiba-tiba tertidur panjang dan tak ada yang bisa mengeceknya.
Ghibran mengarahkan kamera ponsel ke arah k*********a yang telah menegang sempurna.
"Astaga," Lila menutup mulutnya namun matanya tampak tertawa geli.
"Jangan ketawa, ini gara-gara aku kangen kamu!" ucap Ghibran, dalam hati meminta maaf pada Lila kalau dia bohong.
"Ada yang bisa aku bantu dari sini?" tanya Lila. Ghibran tampak berpikir.
"Buka baju kamu," usul Ghibran, dan dia tak menyangka Lila akan menurutinya, membuka gaun nya sehingga tak memakai apapun,
"Begini? Terus?"
"Aku mau lihat kamu m********i," ucap Ghibran, hasratnya sudah sangat tinggi namun juniornya tetap tak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan lahar panasnya.
"Aku enggak bisa," Lila murung, membuat Ghibran gemas.
"Mainin aja p******a kamu," suruh Ghibran, Lila mencoba meraba payudaranya, awalnya dia merasa aneh meraba tubuh sendiri, namun melihat Ghibran yang memperhatikannya lekat, membuat dia semakin semangat, apalagi dia melihat Ghibran membasahi bibirnya, nampak sangat berhasrat. Ghibran merasa suatu saat nanti dia pasti akan meminta Lila menonton Video blue agar bisa membantunya disaat seperti ini.
"Tangannya turun sayang," ucap Ghibran, Lila menurutinya, "Ya terus kesitu, usap kewanitaan kamu, pelan-pelan," sambung Ghibran, Lila mengusap kewanitaannya sendiri dan mulai merasakan sensasi yang aneh, rasanya dia menjadi sangat berhasrat, bahkan dia mulai memainkan klitorisnya sendiri, Ghibran melihat mata Lila yang sering terpejam seolah menikmati, membuatnya membayangkan bahwa kejantanannya yang bermuara disana.
Mereka tak banyak bersuara, hanya jemari mereka yang saling memuaskan satu sama lain, dan pada Akhirnya Ghibran berhasil memuncratkan lahar dari kejantanannya, mengambil tissue di atas nakas dan mengelapnya.
"Jarinya masukin aja sayang nggak apa-apa," ucap Ghibran, Lila menurutinya, dia tak tahu jika Ghibran telah lebih dulu sampai, Lila memasukkan satu jarinya dan memutarnya, "Ahhh, kok enak Ban, sshhhh...." Lila mendesah.
"Ya terus sayang, ahh, terus gerakin begitu," Ghibran menyemangati Lila, mata Lila terpejam, handphone jatuh entah kemana, hingga Ghibran tersenyum puas mendengar desahan Lila.
Lila nampak berkeringat dan mengambil ponsel itu, "Maaf sayang, aku ngelepas ponselnya," ucap Lila, deru nafasnya terdengar sangat jelas.
"Kamu sudah sampai?" tanya Ghibran, Lila mengangguk malu.
"Aku juga," ucap Ghibran, Lila tersenyum senang, "Oiya?"
"Iya, nanti pas pulang kita lakuin beneran ya, kamu tidur sekarang," ucap Ghibran setelah menunjukkan tissu yang berserakan di ranjang, sebagai bukti bahwa memang dia pun telah mencapai puncaknya.
Lila mengangguk dan mematikan panggilan itu, lalu notifikasi pesan berbunyi, tampak pesan dari Ghibran, dia pun segera membuka dan membacanya, "terima kasih ya sayang, maaf jadi bikin kamu begitu," tulis Ghibran
"Sama-sama sayang, aku seneng kok, love you," dan Ghibran segera membalas dengan tulisan love you too, lalu memakai kembali celananya dan mencoba memejamkan mata, dia bisa tidur malam ini dan itu karena Lila istrinya.
Selama ini meski orang tuanya cukup keras terhadapnya, namun mereka tak pernah mengajarkan Ghibran untuk menjadi lelaki b******k, dan melihat kedua orang tuanya yang sangat setia meski dalam keadaan susah, membuatnya menguatkan tekad bahwa dia juga tak ingin berselingkuh atau mendua, karenanya dia mencoba mengeraskan hatinya untuk Bunga dan dia akan belajar mencintai Lila sebagai istri sahnya.
Ghibran berharap Lila bisa menunggunya untuk mencintai wanita itu secara tulus dan dia akan memberikan kebahagiaan berlipat ganda bagi Lila saat itu terjadi, janji Ghibran dalam hati.
***
Pagi hari Ghibran memilih berlari di sekitaran penginapan, ternyata Panca juga sudah memakai sepatu running juga jaket tebal, mungkin pria itu juga suka olahraga.
"Mau lari?" tanya Ghibran, Panca menoleh dan membungkuk hormat pada atasannya itu, Ghibran masih sering tertawa melihat perlakuan Panca terhadapnya, padahal sudah jelas lelaki itu lebih tua darinya, namun bertutur kata selalu sopan dan bersahaja.
"Saya rutin lari setiap hari," ucap Panca saat mereka mulai berlari kecil melewati jalanan yang menuju sebuah jalanan panjang dimana kiri dan kanan terdapat pohon jati yang sangat tinggi dan besar, udara sangat sejuk dan menyegarkan pagi ini.
"Oiya, suka ikut acara lari juga?"
"Ya Marathon hampir sebulan sekali," tutur Panca, pagi ini dia tak memakai kacamata dan ternyata jika lari dia memang tak pernah mengenakan kacamata minus dua setengahnya itu, dia masih dapat melihat meski terkadang bayangannya agak samar tanpa kacamatanya.
"Wah keren, suka dapet medali dong?"
"Iya lumayan, Pak. Kalau bapak suka olah raga?"
"Ya suka, olah raga malam," kekeh Ghibran, Panca mengernyitkan kening, baru lah tertawa setelah mencerna omongan Ghibran beberapa detik kemudian.
"Sudah ada calon istri belum?" ledek Ghibran pada lelaki tinggi yang tampak tak kelelahan sama sekali berlari bersamanya, Ghibran memang sudah lama tidak berolah raga, rasanya tubuhnya agak cepat lelah belakangan ini.
"Masih mencari Pak," tuturnya, Ghibran menepuk punggungnya dan berlari lebih dahulu.
"Yang sampai ke ujung paling belakang, traktir sarapan!" ledeknya. Panca tertawa dan segera mengambil ancang-ancang berlari sprint mendahului Ghibran, Ghibran tak mau kalah, berlari lebih cepat dari Panca, namun lelaki yang terbiasa lari setiap hari itu tentu lebih unggul, sehingga sarapan kali ini, Ghibran yang mentraktirnya, sambil berkata, lain kali ajak dirinya untuk Marathon.
Ghibran memulai rapat pagi ini dengan jumlah tim lengkap yang lebih banyak dari kemarin, memakai ruangan istana aula, Ghibran berdiri di depan panggung dan memimpin jalannya rapat, menjelaskan beberapa hal secara teknis mengenai acara ulang tahun itu.
Bunga tampak murung, matanya sembab, sepertinya wanita itu banyak menangis malam tadi. Make up memang bisa menyamarkan wajahnya namun tidak ekpresinya, karena beberapa kali Ghibran melihat Bunga yang selalu membuang muka saat pandangan mereka saling bertumbuk.
***