BONUS

1022 Words
Brooklyn, July 2012 *bonus chapter* Apa kau tahu bagaimana rasanya jika posisimu tergantikan oleh orang lain? Kau menjadi yang kedua, tidak lagi menjadi prioritas utama. Terlupakan, terabaikan dan perlahan menghilang dari perhatian. Pernahkah kau merasakannya? Karena itulah yang sedang kurasakan saat gadis itu datang ke rumahku. Semenjak orang tuaku mengangkat, atau mari kita sebut memungut seorang anak perempuan dari panti asuhan yang baru saja mengalami musibah kebakaran, hidupku berubah menjadi sebuah mimpi buruk. Namanya Alicia. Rambutnya berwarna abu dan sedikit berantakan. Entahlah, dia tampak tidak terawat. Bahkan pakaiannya sangat lusuh dan penuh dengan kotoran. Apa dia benar-benar tidak memiliki baju di tempat tinggalnya? Aku sangat tidak menyukainya sejak pertemuan pertama kali. Terutama saat mom mengatakan bahwa gadis bernama Alicia itu akan menjadi saudariku. Cih, aku tidak sudi memiliki seorang saudari yang lebih mirip seperti gembel itu. Tapi sayangnya, kedua orang tuaku justru bersimpati kepadanya. Pada cerita sedih hidupnya yang 'katanya' sudah ditinggal di depan gerbang panti sejak masih bayi, dirundung oleh beberapa teman panti dan hampir diperkosa oleh salah satu petugas panti. Betapa menyedihkan hidupnya. Ia bahkan menceritakan semua hal itu saat kami tengah menikmati makan malam. Sungguh menjijikan. Dan aku ingin muntah saat mendengarnya. Namun penderitaanku tidak berhenti sampai disitu. Dad tiba-tiba berkata, "Alicia, kau akan tinggal di rumah ini dan akan tidur bersama dengan saudarimu." Dad lalu memandangku. "Kau tidak keberatan 'kan, Rosie?" Aku tercenung sejenak. Potongan daging di atas piringku kini tak lagi menggugah selera, aku sudah kehilangan minat pada steak buatan mom karena gadis itu. Aku lantas mendongak dan menatap mata dad--yang duduk di sebrangku--dengan serius. "Apa aku terlihat seperti menginginkan sampah di dalam kamarku, Dad?" Dan reaksinya setelah itu hanyalah terkejut. Ia membelalakan matanya dan berseru, "Jaga bicaramu, Rosie!" dengan nada yang tinggi. Ia tak pernah berbicara kepadaku dengan nada setinggi itu, ia tak pernah membentakku kalau bukan di hari itu. Dan gadis bernama Alicia itu sudah merubah semuanya, sejak hari pertamanya tinggal di rumahku. Sungguh itulah alasan lain kenapa aku membencinya, sangat membencinya. Keesokan harinya, mom dan dad tengah sibuk mempersiapkan pesta barbeque di halaman rumah. Mereka akan mengundang para tetangga untuk menyambut kedatangan Alicia dan berniat memperkenalkannya kepada mereka. Sementara aku dan gadis lusuh itu diminta untuk menunggu saja di pinggir kolam renang, dekat kebun. "Rosie, apakah kau ingin bermain denganku?" tanyanya. Ia berdiri di hadapanku dengan membawa sebuah boneka beruang yang diberikan dad semalam. Lalu menyodorkannya kepadaku. "Kita bisa memainkannya bersama jika mau." Aku mendecih dan menyilang kedua tanganku di d**a. Kulihat boneka beruang itu memang cukup bagus, aku ingin memilikinya. Tapi aku tidak tertarik dengan barang bekas, terutama boneka bekas itu adalah milik Alicia. "Apa aku terlihat ingin bermain bersamamu?" Ia terdiam. Matanya berubah sedih saat menatapku. "Tapi kupikir, kita adalah saudari," katanya dengan nada memelas. Jika ia berpikir aku akan mengiba karena hal itu, dia sudah melakukan kesalahan. "Jangan harap itu terjadi!" Aku berbalik dan hendak meninggalkannya, sampai tiba-tiba seekor burung jatuh menerjang tubuhku lalu berakhir di atas rerumputan yang agak basah di bawah kakiku. "Astaga. Apa itu?!" seruku. Saat aku menepuk-nepuk bajuku yang terkena kotoran dari tubuh burung itu, Alicia menghampiriku dan merendahkan tubuhnya. Ia lalu mendongak ke arahku setelah mengangkat tubuh burung kecil itu dari tanah. "Dia sekarat, kita harus menolongnya!" Aku mencebik. "Untuk apa kita menolongnya? Dia akan segera mati, biarkan saja!" dan burung itu tampak mengejang dalam dekapan Alicia. Sepertinya ia sangat kesakitan. Sangat sangat kesakitan. Mungkin Alicia benar. Kami harus menolongnya. Mataku berkeliling ke area kebun untuk mencari sesuatu, sementara Alicia memeluk burung itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia sungguh tidak berguna. Apakah dia berpikir bahwa burung itu akan lebih baik jika ia memeluknya sambil menangis? Dasar gadis bodoh. Aku berlari ke arah selatan untuk mengambil sebuah batu besar yang digunakan mom untuk menjadi penghalang pot-pot bunga. Beratnya mungkin cukup untuk menolong burung itu, pikirku. Dan aku segera kembali ke tempat burung itu berada setelah berhasil membawa batu besar dari kebun. Alicia langsung mengernyitkan kening saat menemukanku berdiri di hadapannya. "Apa yang akan kau lakukan dengan batu besar itu, Rosie?" Matanya memandang batu itu dengan waspada. Aku hanya diam dan memandang lurus ke arah burung yang sekarat itu. Dan seolah mengerti dengan niatku, Alicia langsung membulatkan matanya. Ia mendekap burung itu lebih erat dan menghalanginya dariku. "Kau tidak akan memukulnya dengan batu itu, 'kan?" "Kau berkata kita harus menolongnya," ucapku. Alicia menggeleng cepat. "Kau tidak bisa melakukan itu, kau akan semakin menyakitinya," sergahnya. Dan yang kulakukan setelahnya, hanyalah berusaha merampas burung kecil itu dari Alicia. Gadis lusuh itu mendekapnya dengan kuat, sehingga aku harus mendorongnya agar mereka terlepas. Burung itu kemudian jatuh dan terkapar di rerumputan, tubuhnya masih mengejang di sana. Dan tanpa rasa takut, aku mengangkat batu besar ini dengan kedua tanganku ke udara. "TIDAKKKKK!" seru Alicia, saat aku menjatuhkan batu besar itu tepat ke kepala sang burung. Burung kecil itu kini tak lagi merasa kesakitan. Aku telah menolongnya, bukan? Dan sesuatu di dalam hatiku berkata bahwa ini terasa sangat menyenangkan. Aku berbalik dan melihat Alicia jatuh terduduk di belakangku. Ia menangis sejadi-jadinya, saat darah segar dari burung itu perlahan mengalir ke arahnya. "Kau...kau membunuhnya, kenapa... Rosie?" Ia mendongak sehingga aku dapat melihat jelas pipinya yang basah karena air mata. Anehnya, aku sama sekali tidak terhasut oleh air mata itu. Aku tidak merasa iba. Rasanya justru seperti aku baru saja memenangkan sesuatu. Menyenangkan. Selanjutnya, aku menjatuhkan batu besar yang berlumuran darah itu ke sembarang arah, karena aku tidak ingin darah-darah itu mengotori tanganku. Aku kembali memandangi burung kecil itu. Ia terkihat tenang sekarang. Tapi kemudian, aku merasa ingin melakukannya lagi, sekali lagi. Aku ingin memukul batu besar itu kepada sesuatu, atau... Seseorang. Aku memalingkan wajahku dan menemukan mata Alicia menatapku takut. Ia memeluk boneka beruangnya kuat-kuat dan tubuhnya terlihat sedikit bergetar. Kakiku lalu beringsut mendekatinya. Aku menyunggingkan senyumku dan mengulurkan tanganku kepadanya, "Alicia, apa kau ingin bermain denganku sekarang?" Sooooo... Who is Rosie? Bukankah masa lalu Alicia memang penuh dengan teka-teki? Apakah masa lalu Alicia ada hubungannya dengan pembunuhan berantai yang terjadi di asrama barunya? Latar chapter ini saat Rosie dan Alicia berumur 12 tahun ya pemirsaaah.. Jangan lewatkan chapter selanjutnya dan temukan semua jawabannya. ROOMATES : SECRET SERIES Jangan lupa tinggalkan Votes&Commentmu untuk membangun semangat penulis. Salam, Penulis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD