14. Marahnya Zahra

1788 Words
“Kamu kenal sama Zahra?” tanya Arhan membuat wanita itu menganggukkan kepalanya. “Emangnya dia siapa Baby?” tanya pria tersebut. “Pak kenalkan ini pacar saya,” kata pria tersebut memperkenalkan wanita yang ada di depannya. “Oh ya? Kalau begitu kamu harus kenal dengan calon istri saya, ini calon istri saya Zahra. Lalu ini Bella putri saya,” kata Arhan memperkenalkan. “Calon istri?” tanya wanita itu terkejut. “Bukannya kamu masih sama Daffa? Kamu pacaran sama Daffakan? Bukannya kalian mau nikah?” tanya wanita itu membuat Zahra menghela napasnya panjang. Arhan langsung saja menatap Zahra bingung. “Hubunganku dengan Daffa sudah berakhir,” jawab Zahra pelan. “Kenapa? Karena kamu mau menikah sama pria ini? Kamu lebih memilih pria yang sudah punya anak ini? Apa kamu selingkuh? Kamu pelakor?” tuduh wanita itu membuat Zahra memejamkan matanya. Begitu banyak tuduhan dan hinaan yang diterimanya sejak diminta untuk menikah dengan Arhan. Tangannya terkepal menahan diri untuk tidak marah. “Jangan bicara seperti itu, kamu tidak tahu apa yang terjadi,” kata Arhan dengan cepat untuk membela. “Baby sudah jangan seperti ini. Pak saya minta maaf ya,” kata pria itu tak enak hati. Pria tersebut bekerja di tempat Arhan maka itu ia mengenal Arhan. “Kamu bisa tanyakan langsung pada sepupumu apa yang terjadi,” kata Zahra dengan tegas dan menatap wanita itu dengan tajam. “Tanya siapa yang sebenarnya selingkuh saya apakah dia? Kamu jelas tahu mantannya yang pergi karena nggak bisa berhubungan jarak jauh? Dia sekarang kembali dan mereka kembali bersama. Jadi tolong tanyakan pertanyaan itu pada sepupu kamu jangan kepada saya! Kenapa dia membuat mimpi saya dan harapan saya hancur setelah perjuangan yang sudah saya lakukan untuk kami, setelah kamu sudah tahu jawabannya kamu bisa datang lagi ke saya,” desis Zahra membuat wanita itu terdiam. Mata Zahra sudah memerah wajahnya mengeras dan tangannya terkepal dengan kuat. “Saya minta maaf Pak atas apa yang terjadi, saya juga minta maaf Bu,” kata pria tersebut. “Kita pamit pulang ya.” Pria tersebut menarik kekasihnya untuk pergi dari sana. Zahra masih saja diam, wanita itu belum mengatakan apa-apa setelah sepasang kekasih itu pergi. “Zahra,” panggil Arhan pelan namun Zahra tak menjawab. Lalu rekan kerja Arhan yang lain kembali melihat Arhan dan Zahra. “Selamat malam Arhan,” sapa seorang pria yang juga membawa istrinya. “Selamat malam Banyu, apa kabar?” tanya Arhan balik untuk berbasa-basi. “Kabar baik, sedang bersama siapa?” tanya pria itu. Arhan tersenyum dan merangkul Zahra yang ada di sebelahnya. “Perkenalkan ini Zahra, calon istri saya,” kata Arhan. Zahra mendongakkan kepalanya dan mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. Wanita itu memaksakan senyumnya saat ini dan berpura-pura. “Wah calon istrimu cantik,” puji pria itu. “Mas, aku ingin pulang kepalaku sakit,” bisik Zahra. Wanita itu tak bisa lagi menahan diri saat ini, Zahra terlalu lelah untuk berpura-pura dan berbasa-basi. “Selamat menikmati makan malamnya, kita udah mau balik. Zahra kebetulan sedang tidak enak badan, kita pamit pulang ya,” kata Arhan pada rekan kerjanya itu. Arhan berpamitan dan membayar makanan mereka. Sepanjang perjalanan menuju parkiran Zahra hanya diam, Arhan menggendong Bella lalu tangan kanannya merangkul Zahra. Sedikitpun Arhan tak berniat melepaskan Zahra, sedangkan Zahra membiarkan Arhan melakukan itu. Dalam perjalanan pulang juga Zahra hanya diam saja. “Zahra,” panggil Arhan namun Zahra hanya diam saja. Bella sudah tertidur di car seat miliknya, saat dilampu merah Arhan mencoba menggenggam tangan Zahra. Wanita itu terkejut menoleh sejenak lalu menarik tangannya dan melipat tangannya di depan d**a. Arhan menarik tangannya dan memilih diam. Begitu sampai di depan rumah Zahra, wanita itu juga hanya diam saja tanpa mengatakan apapun. Arhan tidak memaksa setelah memastikan Zahra masuk ke dalam rumah Arhan pergi dari sana dan menghela napasnya panjang. Begitu banyak pertanyaan yang ingin Arhan tanyakan namun ia menyimpan semuanya. *** “Zahra, kamu udah selesai belum? Ayo Bunda udah siap,” ajak Vania pada putrinya yang masih di kamar itu. “Iya bentar Bun, mau telepon Mas Arhan sebentar,” balas Zahra dengan teriak. “Yaudah Bunda tunggu di bawah ya,” kata Vania. Zahra dan Vania akan pergi untuk persiapan pernikahan Arhan dan juga Vania. Mereka akan menyiapkan beberapa hal salah satunya baju. Keduanya juga sudah membuat janji dengan Lydia, Mama dari Arhan untuk bertemu di tempat tersebut. Dari tadi Zahra menatap layar ponselnya dengan gelisah, ia bingung ingin menghubungi Arhan atau tidak. Sudah tiga hari belakangan ini keduanya tidak berkomunikasi sejak terakhir. Arhan tak berusaha menghubunginya begitu juga dengan Zahra yang tak berusaha menghubungi Arhan. Namun kali ini keduanya harus berkomunikasi karena akan membahas pakaian pernikahan mereka. Zahra juga merasa bersalah atas sikapnya terakhir, padahal Arhan sudah berusaha namun ia mengabaikannya. Zahra masih terlalu gengsi untuk memulai menghubungi Arhan, namun ia juga bertanya kenapa Arhan tak pernah menghubunginya lagi. Biasanya pria itu yang akan lebih dahulu menghubunginya. Zahra menghela napasnya dan akhirnya menanggalkan egonya dan mencoba menghubungi pria itu. Entah sudah berapa kali Zahra berdecak kesal dengan dirinya sendiri. “Hallo,” sapa Arhan membuat Zahra terkejut karena ternyata Arhan dengan cepat mengangkat panggilannya disaat ia masih saja berkutat dengan pikirannya sendiri. “Hai Mas, aku ganggu nggak?” tanya Zahra. Hari ini Zahra memang tidak punya jadwal mengajar, maka itu ia bisa pergi dari pagi dengan Vania. “Enggak, lagi baca materi kasus aja. Kenapa?” tanya Arhan lembut. Zahra terdiam sejenak bingung ingin mengatakan apa. Namun Arhan paham sehingga pria itu yang bertanya lebih dahulu. “Keadaan kamu udah lebih baik?” tanya Arhan membuat Zahra sedikit terkejut. “Maaf ya Mas,” cicit Zahra pelan. “Kenapa minta maaf? Kamu ada salah?” tanya Arhan. “Aku ngerasa nggak enak aja soal kemarin. Mungkin sikapku terlalu berlebihan sama kamu, padahal kamu udah berusaha buat ajak aku bicara tapi akunya nolak. Aku bahkan nggak bersikap baik sama teman kamu, aku minta maaf,” ucap Zahra pelan. “Gapapa, aku mencoba mengerti keadaan kamu. Aku aja yang saat itu nggak paham sama apa yang kamu rasakan. Mungkin kalau aku jadi kamu bisa aja aku bersikap seperti itu, kamu kesal, kamu marah, kamu nggak terima. Aku paham itu, tapi sekarang udah lebih baikkan?” tanya Arhan memastikan. “Udah Mas, sikapku yang terlalu berlebihan saat itu,” kata Zahra lagi. “Apa karena itu kamu juga nggak ngehubungi aku Mas?” tanya Zahra akhirnya. “Aku mau kasih kamu waktu, aku pikir kamu butuh itu. Kenapa? Kamu nyariin aku ya?” goda Arhan membuat Zahra berdecak. Andai saja Arhan bisa melihat wajah Zahra saat ini, pria itu akan tahu kalau Zahra sebenarnya tersenyum kecil dan pipinya merah karena ketahuan. “Enggak, aku hanya bertanya aja. Aku pikir kamu yang marah Mas,” kata Zahra membuat Arhan tertawa dibalik telepon tersebut. “Buat apa aku marah? Aku harusnya ngertiin kamu bukan balik marah. Kata Mama hari ini mau pesan baju ya?” tanya Arhan mengalihkan supaya mereka tak membahas itu lagi. “Iya, aku mau bilang kamu juga Mas. Nanti kamu ikutkan?” tanya Zahra. “Aku nyusul ya, aku nggak bisa ikut karena jam makan siang ada ketemuan sama klien. Setelah makan siang aku bisa datang, gapapa ya? Nanti kamu hubungi aku udah dimananya,” kata Arhan membuat Zahra terdiam sejenak. Zahra berharap Arhan bisa ikut, karena ia masih merasa canggung jika ada Lydia tanpa adanya Arhan. “Zahra, kamu dengarin akukan?” tanya Arhan. “Iya Mas dengar kok, yaudah nanti kalau udah siap kabarin aja,” kata Zahra akhirnya pasrah. “Uangnya udah aku transfer ke kamu, kalau kurang kamu kasih tahu ya,” kata Arhan memberitahu membuat Zahra terkejut. “Oh ya? Kamu nggak bilang Mas kalau mau transfer,” kata Zahra yang langsung melihat mobile banking miliknya. “Ini lagi bilangkan?” tanya Arhan sambil tertawa. Zahra membelakkan matanya ketika melihat nominalnya. “Mas ini nggak kebanyakan ya? Aku balikin aja ya,” kata Zahra tak enak hati. “Jangan, biar aja di rekening kamu. Simpan aja kalau emang kelebihan, lagi pula kasih uang ke calon istri nggak dosa. Aku juga bakalan nafkahi kamu ke depannya, anggap aja udah dikasih di awal,” goda Arhan membuat Zahra kembali terdiam. “Pokoknya kamu pake aja untuk keperluan pernikahan kita sama keperluan kamu juga, kalau kurang kamu kasih tahu supaya aku bisa kasih lagi sama kamu,” tegas Arhan. “Iya Mas, makasih ya. Yaudah aku jalan ya, Bunda udah panggil dari tadi,” kata Zahra memberitahu. “Iya hati-hati nyetirnya, bawa mobil sendirikan?” tanya Arhan memastikan. “Iya Mas, Bunda mana bisa bawa mobil dimarahin sama Papa,” kata Zahra dengan tertawa. “Nanti kalau kamu udah jadi istri aku juga kayaknya begitu. Aku mau larang kamu bawa mobil supaya aku aja yang antar kamu kemana-mana,” goda Arhan membuat Zahra berdecak. “Apaan sih, udah ya bye Mas,” kata Zahra dengan cepat mematikan sambungan tersebut. Zahra tak mau mendengar godaan yang dilontarkan oleh Arhan lagi. Begitu sambungan terputus Arhan menatap foto keluarganya bersama dengan Meisya dan Bella di atas meja. Lama pria itu menatap foto tersebut lalu menghela napasnya panjang. Sedangkan Zahra langsung saja turun ke bawah dan Vania sudah ada di sana bersama Adrian. “Lama banget sih telepon calon suami, bahas apa emangnya?” goda Vania membuat Zahra berdecak. “Bunda mau tahu aja ini urusan calon pengantin,” balas Zahra tak mau kalah. “Iya deh yang calon pengantin, jadi kita udah bisa pergi?” tanya Vania. “Udah, ayo. Udah dapat uang dari calon suami jadi bisa foya-foya,” ucap Zahra sombong untuk bercanda membuat Adrian bercanda. “Papa juga bisa kasih kamu uang banyak untuk foya-foya,” ucap Adrian sombong. Pria itu tak terima anaknya membanggakan Arhan di depannya. “Sombong banget sih, udah Papa pergi main golf aja sana. Jangan ganggu kita dengan telepon-telepon Bunda ya, Papa tunggu aja di rumah sampai kita pulang,” ejek Zahra. “Ayo Bun, kita pergi,” ajak Zahra sambil menggandeng lengan Vania. “Sebentar,” kata Vania melepaskan tangannya. Vania mendekati suaminya dan mencium punggung tangan Adrian. Lalu Adrian mencium kening Vania dan berakhir dibibir istrinya itu membuat Zahra berdecak. “Mesra-mesraannya nanti aja nggak usah di depan aku,” ejek Zahra. “Ganggu aja,” balas Adrian. “Nanti juga kamu akan kayak gitu sama Arhan, jadi tunggu aja. Istri yang baik harus berpamitan sama suaminya kalau mau pergi supaya dapat restu,” goda Vania membuat Zahra memajukan bibirnya. Terakhir Adrian memeluk Vania erat lalu melepaskan istrinya pergi. Vania menghela napasnya panjang ketika mulai menjalankan mobilnya itu. “Kenapa menghela napas kayak gitu?” tanya Vania. “Gapapa Bun.” Zahra tak mungkin mengatakan apa yang menjadi ketakutannya saat ini, ia hanya berharap bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar nanti bersama Lydia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD