Bab 4. Sepasang Durjana Berbuat Mes*m di Areal Parkir

1064 Words
***** Notifikasi di ponselku memberitahu kalau ada pesan masuk. Kuraih benda itu dari dalam tas sandang dengan tangan kiri. Rani rupanya. Sahabatku yang telah kukontak dari semalam agar bersiap-siap pagi ini. Sepertinya dia sudah mulai bosan menunggu. Kutambah kecepatan mobil menuju rumahnya. “Yuk!” kataku setelah menepi di depan rumahnya. Gadis itu sudah berdiri di teras. “Mala! Cepat! Melur sudah datang!” teriaknya. Bah, dia ngajak Mala segala. Bakal rame, nih dunia persilatan. Kedua sohib kentalku sejak SMA itu berjalan menuju mobil. Keduanya lalu masuk di jok belakang. “Hoy, enak lu berdua, nyuruh perempuan baru melahirkan yang nyetir!” teriakku. “Kamu belum pede, ya. Tadi kemari bisa.” Keduanya tertawa renyah. “Maju satu orang, sini! Setirin!” Mala keluar, lalu masuk ke jok depan. Mobil mulai berjalan. “Jadi, di mana kamu lihat suamiku kemarin sore?” tanyaku menoleh ke belakang. Rani mengeluarkan ponsel dari saku celana panjangnya. “Nih! Lihat sendiri!” katanya menyodorkan benda pipih itu ke padaku. “Ck! Lelaki durjana! Ngapain dia jualan pupuk di hotel, coba?” tanyaku dengan d**a berdebar. “Jangan berprasangka buruk dulu! Kali aja dia memang nemui pelanggan di situ?” sahut Mala. “Pelanggan apaan? Di hotel lho, ini!” ketusku semakin tegang. “Tenang, Mel. Kita belum tahu yang sebenarnya, kan? Kamu sabar, dong! Jadi nyesel gue ngasih tahu elu,” kata Rani menarik kembali ponselnya dari tanganku. “Ya, baik! Aku tenang, aku sabar,” ketusku. “Kamu udah janji dari kemarin, kalau kamu akan kuat. Makanya aku mau membantumu mencari dia sekarang. Tapi, kalau kamu emosi kek gini, kita batalin aja, deh! Nanti kamu pendarahan lagi,” gerutu Rani. “Ok, aku sabar, aku kuat, aku enggak akan emosi,” sahutku lebih tegas. “Lagian, ya. Kita juga belum tahu pasti dia ngapain di hotel itu. Toh, dia juga sendiri. Kamu langsung curiga aja!” kata Mala melirikku. “Baik, sekarang kita ke mana, ni? Andaipun dia kemarin tidur di hotel itu, pasti sekarang dia sudah cabut, dong?” tanyaku ragu. “Gampang, enggak usah khawatir. Kamu ikut aja, pokoknya. Ok?” Rani menepuk pundakku. Setengah jam kemudian mobil sudah memasuki halaman Hotel yang kami tuju. Seorang satpam memandu menuju tempat parkir. “Ngapain masuk parkir? Entar dikira kita masuk ke dalam hotel lagi?” protesku. “Tenang! Kenapa sejak kamu menjadi emak-emak, kamu menjadi cerewet gitu, sih!” sungut Mala mulai mengatur posisi mobil. “Sudah, sekarang ayo kelilingi parkiran ini, periksa mobil suamimu? Kamu hapal platnya, kan?” “Hapallah, ada-ada aja! Tapi untuk apa? Kita ke sini nyari orangnya, bukan nyari mobilnya, sungutku sedikit geram. “Nih emak-emak, ya! Otaknya udah gak jalan kayaknya pasca melahirkan! Kalau mobilnya ada berarti orangnya juga ada, begitu Mak!” teriak Rani di telingaku. “Ok, baik!” sahutku mengikuti saran jitunya. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, lama aku mencari mobil milik Mas Gilang. Banyak yang sama, tapi platnya tidak ada yang seperti plat mobil suamiku. Mala dan Rani juga ikut mencari. Kami bertiga akhirnya berpencar. Pelataran parkir hotel itu sangat luas, juga padat kendaraan yang terparkir. Mungkin karena hari libur, banyak orang yang menghabiskan waktu di hotel. Tapi, ngapain mereka liburan di hotel, ya? Cari hiburan di hotel? Ah, sudahlah! Ngapain aku memikirkan mereka. Kaki sudah mulai letih berjalan kesana-kemari. Sebaiknya aku kembali saja ke mobil. Sepertinya karena selama sebulan ini sudah jarang bergerak, membuat kakiku gampang letih dan pegal. Aku hendak berbalik, ketika tiba-tiba mataku menangkap sepasang kekasih berjalan sambil berpelukan keluar dari pintu hotel menuju parkiran. Sepertinya aku mengenal postur tubuh keduanya. Segera aku merunduk, bersembunyi di belakang salah satu mobil yang terparkir. Mereka berjalan kian mendekat. Aku terpaksa mundur ke belakang. Aku belum berani menampakkan diri, karena belum jelas wajah mereka berdua. Aku merunduk di belakang bagasi mobil. Astaga! Bukankah ini mobil Mas Gilang? k****a nomor plat yang terpasang di bagian belakang. Ya Allah, berarti dia betul-betul nginap di hotel ini. Ngapain, coba? Bukankah kalau pulang ke rumah juga cuma berjarak setengah jam perjalanan? Kan lebih enak tidur dan istirahat di rumah? Dari pada harus membayar mahal sewa hotel seperti ini? Dua orang tadi semakin dekat, kini mereka berada persis di depan mobil tempatku bersembunyi. “Mas, jadi kapan dong?” Kudengar suara si perempuan bertanya dengan suara manja dan mendesah-desah. Aku seperti ingat suara itu. Itu mirip suara Harum. Kalau itu benar Harum, berarti yang laki-laki itu siapa? Mas Gilang? Mereka masih bertemu? Katanya Harum pulang kampung karena mulai dipingit, sebab akan dilamar. Mereka rupanya telah membohongiku. Hebat! “Sabar, Sayang! Belum lagi selapan. Kasihan Melur, masa Mas harus menjatuhkan talak kepada perempuan yang masih berdarah.” Kudengar suara si laki-laki. Itu suara mas Gilang. Dia bilang mau menjatuhkan talak? Belum selapan? Oh, jadi mereka sedang membicarakan aku rupanya? Mas Gilang mau mentalak aku, tapi menunggu selapan. Laki-laki berengsek! Bukankah aku yang meminta ditalak tepat setelah aku melahirkan? Kenapa sekarang beralasan kasihan padaku. “Jadi kapan, dong? Aku sudah bosan main belakang terus kek gini. Dulu sih enak. Tiap malam bisa ketemu. Mas Gilang selalu ke kamarku dengan alasan masih sibuk di toko. Kita bisa kelonan sampai tengah malam. Tapi, sekarang cuma seminggu sekali, itupun sembunyi-sembunyi,” kata Harum semakin merengek. Oh, jadi dulu di rumahku, mereka setiap malam kelonan? Alasan Mas Gilang di toko atau di ruang kerja, padahal di kamar pembantu? “Iya, mas ngerti. Sebentar lagi, ya, Sayang! Akan mas pikirkan cara untuk menyingkirkan Melur secara cantik. Udah, ya, mas antar kamu ke terminal! Kamu langsung pulang naik bus! Yuk, masuk mobil!” kata Mas Gilang membelai kepala Harum. “Gendong ….” Perempuan itu merebahkan tubuhnya di d**a suamiku. “Ok, belum puas rupanya, ya? Padahal sudah berapa kali ronde dari kemarin siang sampai ini sudah mau siang lagi,” Mas Gilang memegang dagu perempun itu dengan dua tangan. Harum mendongah, di depan mataku, apa yang mau mereka lakukan? “Mas Gilang! Aaah …!” desah Harum muali menggila. Astaga! Kuatlah Mel! Jangan pingsan lagi! Melur, tolong jangan pingsan! Kuhipnotis diriku sendiri, agar tetap kuat. Meski sakit luar biasa di sini, di d**a ini. Mas Gilang begitu menikmati bibir harum. Suamiku berciuman di depanku. Tanga kanan memeluk pinggang gadis itu. Tangan kirinya menahan kepala Harum agar mulut wanita itu tetap melekat di mulutnya. Perlahan tangan kanan Mas Gilang turun ke bawah, berhenti di b****g Harum. Tangan kekar yang selama ini kukira hanya menyentuhku, kini meremas b****g besar Harum. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD