Bab 2. Drama Perselingkuhan

1092 Words
*** “Anakmu perempuan, Mel.” Antara sadar dan tidak, sayup kudengar kalimat itu. Kepalaku terasa sangat berat. Sekujur tubuh sakit dan pegal. Sama sekali tidak bisa digerakkan. Tapi yang paling nyeri kurasakan di bagian perut. Kenapa aku? Di mana aku? “Mel, kamu sudah sadar, Nak? Buka matamu! Anakmu sudah lahir dengan selamat. Kau tidak ingin melihatnya?” Itu suara ibu. Ibuku ada di sini. Dia berkata anak? Anakku? Spontan kugerakkan tangan. Tapi, terasa masih sangat berat. Kenapa aku begini lemah. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Anakku sudah lahir kata ibu. Kapan? Bagaimana bisa? Aku tidak ingat apa-apa. “Kalau memang belum sanggup, ya, sudah! Pelan-pelan saja, ya, Nak! Yang penting sekarang kau harus tahu, kalau kau saat ini sudah sah menjadi seorang ibu. Selamat, ya! Berbahagialah! Putrimu sangat cantik. Persis seperti dirimu saat bayi dulu. Bedanya dia lebih mancung sedikit dari kamu. Mata dan bibirnya persis kamu, tapi hidungnya nurun Gilang. Pasti nantinya dia akan lebih cantik dari kamu, hehehe ….” Kalimat ibu membuatku senang. Aku bahagia mendengarnya. Ingin sekali aku segera membuka mata, lalu melihat wajah putriku. Namun, mata ini sulit dibuka, rasanya diberi lem perekat. Perih sekali. Mas Gilang di mana, ya? Kenapa aku tidak mendengar suaranya? Mas Gilang? Tiba-tiba ingatanku telah kembali seutuhnya. Aku ingat semuanya sekarang. Malam itu, peristiwa malam itu terbayang lagi di pelupuk mataku. Kubuka paksa kelopak mata. Awalnya pandanganku masih gelap. Kupaksa lagi, cahaya putih terasa membias dan menyilaukan. Akhirnya pandangan sudah sempurna. Kutatap wajah ibu yang duduk di sisi kanan. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Laki-laki itu duduk di sofa, menatapku lalu menunduk. Seketika darahku mendidih. Aku ingin bangkit, lalu menampari wajahnya, meludahinya, atau mencakar-cakar tubuhnya. Bila perlu ingin sekali kutikam dadanya dengan belati. Aku mau mencuci wajahku dengan darahnya. Tetapi … aku belum sanggup bergerak. “Mel, kamu sudah sadar?” Ibu memeluk, lalu mengelus kepalaku. “Kenapa Melur, Bu?” tanyaku dengan suara serak. “Kata Gilang, kamu tiba-tiba pingsan tadi malam. Dia bawa ke rumah sakit, terpaksa dokter mengambil tindakan cesar. Bayimu sudah minta dilahirkan. Cita-citamu ingin melahirkan secara normal, enggak bisa dilakukan, Mel.” Aku terdiam, jadi aku pingsan setelah melihat kejadian tadi malam? Mas Gilang tidak memberitahu ibu yang sebenarnya? “Gilang! Istrimu sudah sadar, kenapa kamu masih di situ?” Ibu menatap menantunya heran. “I … iya, Bu.” Lelaki itu bangkit, lalu melangkah ke arahku. Kutatap tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Terbayang lagi saat tubuh itu telanjang dan bergumul dengan Harum tadi malam. Aku mulai mual. “Oug … saya mau muntah, Bu,” ucapku menutup mulut dengan tangan. “Oh, iya. Masuk angin kamu, ya? Muntah ke sini aja, ayo!” Ibu membuka kantongan plastik dan mendekatkan ke mulutku. “Sudah, tidak jadi,” kataku setelah mulai tenang. “Minum air hangat, coba!” Aku menghisap air putih hangat yang disodorkan ibu menggunakan pipet. Mas Gilang tidak berani melanjutkan langkah. Dia berdiri mematung tak jauh dari ranjang pasien. “Kamu temani Melur! Ibu mau ke kamar mandi sebentar,” perintah ibu kemudian. Mas Gilang terlihat gugup. Terpaksa dia melangkah lagi ke dekatku. Kali ini hatiku telah kuat. Aku tidak boleh terlihat lemah. Rasa benci dan dendam mulai menguatkan hati dan tekatku. “Mel!” panggilnya seperti berbisik. Aku memejamkan mata. Batapa ingin aku mencabik-cabik wajah dan tubuhnya. Tapi, kekuatanku belum pulih, percuma aku meradang sekarang. “Aku sudah mengazani putri kita,” ucapnya lembut. Aku diam. “Dia cantik sekali. Kayak kamu,” ucapnya lagi. “Mana orang tuamu?” ketusku tiba-tiba. Tidak perduli dengan ucapannya. “Oh, mereka masih dalam perjalanan. Mungkin satu jam lagi sudah sampai. Mereka tidak mengira kalau kamu lahirannya sekarang jadi mereka ke tempat Kak Bulan . Perkiraan Dokter, kan seminggu lagi,” terangnya. “Mana perempuan itu?” ketusku. Kutatap tajam wajahnya yang kian pucat. Dia semakin gugup tak berani membalas tatapanku. “Begitu datang orang tuamu, langsung kau talak aku! Di hadapan kedua orang tuamu dan ibuku. Kau paham?” “Jangan begitu, dong, Mel! Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik. Jangan minta talak!” “Kenapa? Kenapa! Auw!” Aku berteriak, tak sadar kalau perutku masih sangat sakit. Luka bekas dibelah dan dijahit ini terasa meregang saat aku berteriak. “Jangan teriak-teriak dulu, Mel! Luka di perutmu masih basah!” “Biar kau puas! Kalau aku kenapa-napa, kau puas, iya, kan?” “Tidak, Sayang. Aku tidak mau kau kenapa-napa. Kau ingat, aku bahkan tidak berani menyentuhmu saat hamil. Aku tidak mau kau kesakitan, Mel.” “Bohong! Kau Pembohong! Kau tidak mau menyentuhku bukan karena kasihan, tapi karena perut buncitku. Apa lagi ada perempuan murahan di rumah kita yang masih gadis, masih ketat, masih sempit yang bisa kau gunakan. Kau jahat! Kau telah berzina dengan anak gadis orang!” “Hust! Suaranya jangan keras-keras! Nanti ibu dengar!” “Jadi, maksudmu? Ibuku tidak perlu tahu kelakuanmu, begitu?” “Mel, aku mohon. Masalah ini jangan sampai orang tua kita tahu. Aku toh, tidak pernah melakukan hal seperti ini. Baru kali ini, Mel. Itupun karena aku khilap. Aku tidak tahan menahan godaan.” “Godaan? Godaan kau bilang?” “Iya, Harum selalu menggodaku. Ternyata dia perempuan gak bener, Mel. Kita salah telah menerima dia bekerja di rumah kita.” “Apa maksudmu, Mas?” “Terus terang, sebanarnya dia sudah lama memancing-mancing agar aku mau melayani napsunya. Dia sudah tidak gadis, Mel. Bukan aku yang pertama menidurinya. Dia sudah tidak perawan selama ini.” “Cukup!” “Dia juga mengakui itu. Makanya dia tidak akan menuntut apa-apa dariku. Dia juga sudah pergi dari rumah kita.” “Kau! Kau mau aku percaya, Mas?” “Aku tidak memaksamu percaya, tapi kenyataannya memang seperti itu.” “Aku tidak percaya!” teriakku bersamaan dengan ibu keluar dari kamar mandi. “Ada apa, ini?” tanya ibu melotot. “Melur menanyakan Harum, Bu. Dia tidak percaya kalau Harum sudah tidak di rumah,” sahut Mas Gilang seolah memohon pembelaan. “Iya, Mel. Si Harum tadi pagi sudah pulang dijemput ibunya. Kami malah bareng berangkatnya ke sini tadi pagi sama Mak Udamu.” “Kenapa bisa, Bu?” Suaraku serak, seperti tersekat di tenggorokan. “Katanya, si Harum mau nikah. Enggak lama lagi ada yang mau datang melamar. Jadi Harum sudah harus dipingit di rumah. Alhamdulillah, akhirnya dia bertemu jodoh yang baik. Khabarnya orang kaya dari kota juga. Seperti suami kamu. Semoga calon Harum itu sama juga baiknya seperti Gilang. Orang kaya, tapi sangat menyayangimu. Padahal kita hanya orang kampung yang miskin. Iya, kan, Nak Gilang?” “I … iya, Bu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD