5. Menemani Makan

2166 Words
Saat Elena mengantarkan makanan pesanan disalah satu meja di rooftop, seketika matanya membola. Langkahannya seketika terhenti beberapa saat, menghela napas panjang sembari memegangi permukaan dadanyaa. Bukannya ada perasaan spesial, malah Elena terkesan takut pada lelaki itu. Yap, dia Steve Baylor. Seorang pengemudi mobil mewah yang hampir menabrak Elena lalu memberinya teriakan nyaring kemarin siang. Masih terngiang di telinga Elena apa saja yang Steve lontarkan, benar-benar kasar. Sepanjang Elena hidup, dia sangat jarang bahkan hampir tidak pernah diteriaki seperti itu. Bikin jantungan, dia lebih nyaman berhadapan dengan lelaki manis dan sopan. Tidak menguji kesehatan jantungnya. Tanpa bersuara, Elena merapikan beberapa menu yang Steve pesan ke atas meja. Lalu melihat kembali pada daftar pesanan, mencatat kelengkapannya. "Apa ada tambahan lagi, Mas?" Elena mengulas senyum, membuat Steve menyudahi bermain dengan ponselnya. Mata Steve bergerak malas menatap Elena, dia nampaknya tengah bosan. Entah sedang menunggu siapa, pesanannya lumayan banyak. Tidak mungkin dihabiskan seorang diri hukan? Saat tatapan Steve bertemu dengan tatapan Elena, lelaki itu langsung terkejut. "Elo!" katanya refleks. "Ngapain di sini, huh?" Lalu melihat penampilan Elena dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Gadis itu nampak rapi dengan rambut dikepang, menyisakan sedikit poni di bagian depan. Elena masih tersenyum. "Saya bekerja di sini, Mas." Membungkukkan sedikit badannya, ramah. "Apa ada yang Mas perlukan lagi, atau tambahan menu?" tanya Elena lagi sebelum beranjak dari sana. Meski takut dengan Steve, Elena harus profesional dengan pekerjaannya. Steve menaikkan sebelah alis. "Lo akan nurutin permintaan gue?" Bukannya menjawab, Steve malah tanya balik. Elena melongo, bingung harus menjawab apa. Dia masih memiliki banyak pekerjaan di dapur, khawatir jika permintaan Steve aneh-aneh untuk mengerjainya. "Apa? Tuli lo ya?" "Mas mau apa? Jika saya bisa bantu, boleh saja." "Duduk depan gue." Menunjuk kursi kosong yang ada di sepannya menggunakan jari telunjuk dan tengah, menaikkan bahu cuek. "Bisa kan?" Elena menganga, menggeleng cepat. Dia baru saja bekerja di rumah makan ini, jangan sampai Elena dipecat akibat melanggar aturan di sana. Meski tidak ada peraturan tidak boleh duduk menemani pelanggann, tapi sepertinya ini kurang etis. "Tidak bisa, Mas, mohon maaf ya. Saya harus kembali ke dapur, ada banyak sekali pekerjaan saya di sana." "Panggilkan manager tempat ini, gue mau bicara sebentar. Sekadar mau tanya saja, apa boleh mengajak pelayan makan bersama." "Jangan. Saya mohon jangan menghukum saya, Mas. Maaf jika kemarin saya teledor saat menyeberang jalan, nanti tidak lagi. Saya belum seminggu kerja di sini, Mas, jangan sampai dipecat. Nanti saya tidak bisa bayar uang sewa rumah dan makan sehari-hari." Steve melipat kakinya ke atas, menatap prihatin. "Kasihan. Ya sudah, panggil dulu manager lo! Nggak gratis, nanti gue bayar lo duduk di sana. Lumayan uangnya buat lo jajan. Kapan lagi cuman temenin makan dibayar?" Elena cemberut, masih menggeleng tidak ingin. "Jangan, saya bisa dipecat nanti." "Nanti kalau dipecat, lo kerja jadi pembantu gue aja di rumah gue. Papa bisa memberikan gaji lebih besar daripada di sini." Dari kejauhan Arya melihat jika Elena sedang cemas, dia langsung menghampiri. "Elena, ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi. Sejak tadi Arya memerhatikan, Elena tidak beranjak juga dari meja Steve. Seperti ada yang mereka bicara, ekspresi Elena tidak seceria biasanya. Steve tersenyum. "Lo manager di sini?" "Saya anak pemilik rumah makan ini, Mas. Kebetulan hari ini jadwal saya mampir ke sini. Apa terjadi sesuatu pada pelayanan kami?" Arya sangat ramah anaknya, sebab itu para pelayan cewek begitu memujanya. Selain pintar dan tampan, dia juga memiliki tutur bahasa yang sopan. Cara dia bersikap pada orang lain benar-benar membuat lawan bicaranya nyaman. "Gue mau dia duduk di sana, menemani gue makan. Apa itu melanggar peraturan pelayan di rumah makan ini?" Steve jengah sekali, jangan sampai dia marah lalu membeli tempat makan itu! Kenapa hari ini semu orang nampak memuakkan? Dia sudah memiliki janji dengan wanita yang Steve cintai, hanya saja tiba-tiba batal sebab wanita itu lebih memilih pergi bersama teman-temannya. Saat meminta Jeremy datang, lelaki itu ternyata sedang bermesraan di apartemen kekasihnya. Sial, dia benar-benar muak dengan situasi seperti ini. Arya menatap Elena, gadis itu nampak menundukkan kepala pasrah. "Ya sudah tidak masalah, Mas. Elena, kamu temani sebentar ya." Tersenyum mengusap punggung Elena pelan pertanda tidak apa. Arya sangat mengetahui siapa lelaki di hadapannya, sering wajahnya muncul di surat kabar yang memberitahu perihal keluarga Baylor. Jangan berani bermain-main dengan putra sematawayang Baylor ini, dia bisa membeli apa pun dengan uangnya. Dulu mereka pernah satu kampus juga, sering mendengar mengenai beberapa sikap Steve. Elena akhirnya mengangguk mengiyakan permintaan Arya, mengucapkan maaf dalam suara yang kecil layaknya berbisik. Arya mengangguk, menggeleng melarang Elena meminta maaf. Ini bukan salah Elena. "Nanti lain kali jangan ajak lagi ya. Aku nggak enak, nanti dimarahi Bu Riska." "Ke mana kalimat formal yang lo lontarkan sama gue tadi? Kok berubah lagi bahasanya?" Telinganya menangkap kalimat yang berbeda dari mulut Elena. Mungkin ini terdengar lebih baik, dia tidak terlalu senang terlalu formal. Dengan dosen pembimbingnya saja Steve bodoamat, bahasa yang dia gunakan malah terkesan tidak sopan--menganggap semua orang layaknya teman. Untungnya semua orang sudah memaklumi sikap Steve, tapi tetap saja lelaki itu tidak sadar diri. "Aku jadi serba salah. Ya sudah iya, nanti aku bicara pakai bahasa yang formal lagi." Mengangguk paham, lalu duduk tegak memerhatikan Steva yang akan memulai makan. "Ngapain lo liatin gue, mau jadi pengamat berhadiah? Makan juga, cepat!" Mendorong sebuah piring ke hadapan Elena, agar gadis itu menikmati menunya juga. Steve tidak senang makan sendirian, padahal di rumah dia selalu begitu. Mama dan Papanya sering sibuk dan mengurung diri di kamar, dia selalu seperti anak buangan. Kecuali kalau Steve memanggil Nyonya Baylor, meminta ditemani baru wanita itu bergabung bersama Steve di meja makan. "Nggak usah banyak mikir bisa nggak? Atau lo lupa caranya makan gimana? Heran gue, lo kayak orang bego banget kelihatannya." Selain udik, gadis itu juga menguji kesabaran Steve. Kenapa susah sekali menuruti perintahnya? Harus dimarahi dulu, baru mengerti. "Saya tidak lupa. Sekali lagi saya minta maaf ... udah buat kesal." "Nggak usah sok formal, geli gue dengernya. Makan, makan, sebelum lo yang gue telan hidup-hidup." Elena bergidik ngeri, segera menyuap makanannya. Steve adalah lelaki pertama yang Elena temui dengan sikap sekonyol ini. Dia nampak menakutkan, tapi menyedihkan di saat yang bersamaan. Terlihat dari tatapannya, lelaki itu menyimpan banyak beban. Elena tidak salah lihat, Steve memang sedang banyak pikiran. Tidak jauh dari keluarga, masa depan, dan kesenangannya di usia muda begini. Elena menatap beberapa menu yang masih belum tersentuh, tapi Steve terlihat menyudahi makannya. "Kamu sudah kenyang? Ini belum habis, nanti mubazir kalau tidak dimakan." Menunjuk tiga menu yang masih utuh, bibirnya cemberut. Giliran Elena sangat susah mencari makan, Steve malah membuang-buangnya. Enak sekali jadi anak orang kaya, apa pun bisa dilakukan tanpa takut besok kelaparan atau tidak. "Lo yang habiskan. Gampang kan?" "Tapi perut aku nggak muat makan semuanya secara bersamaan. Nanti muntah." "Ya sudah nggak usah. Kenapa hidup lo ribet amat? Yang pesan gue, yang bayar juga gue. Kenapa lo yang sewot? Biarin nanti dibuang saja, gue nggak peduli." "Nyari uang itu susah, kamu suka buang-buang makanan. Nanti dibungkus saja makanannya ya, kamu kasih ke orang jalanan." "Buat lo bawa pulang aja. Jangan sok nggak mau, kalau gue kasih lo menerima juga kan?" Elena terdiam, menghela napasnya. "Nggak usah jual mahal, ambil buat lo aja, ngapain susah-susah nyari orang di jalanan." Elena menatap Steve, dia harus banyak-banyak mengalah. "Iya, nanti aku bawa pulang biar bisa makan sama kak Shofia. Makasih ya, ini makanan sangat enak." Steve mengambil ponselnya, memiliki mengabaikan Elena yang masih berusaha menghabiskan satu menunya. Gadis itu tidak berhenti mengunyah sebelum habis. Berbeda sekali dengan kebanyakan orang yang hanya menyicipi beberapa sendok, lalu ganti ke menu yang lain. "Damn! Ngapain Pak Ciko ada di sana?" gerutu Steve ketika tidak sengaja matanya melihat ke arah mobil yang begitu dia kenali. Benar saja dugaannya, ketika kacanya diturunkan, kepala Pak Ciko keluar untuk mengecek keadaan sekitar. "Kamu kenapa?" Elena bertanya dengan mulut dipenuhi makanan, dia kebingungan. "Cepat habiskan makan lo, gue mau pulang." Elena mengangguk lalu cepat-cepat mengunyah makanannya sampai habis tidak bersisa. Usai menghabiskan satu menunya, Elena meminta bantuan pada Steve membawa tiga menu yang masih utuh ke depan agar dibungkuskan. Steve membayar tagihan pesanannya, lalu memberikan Elena upah dengan uang ratusan yang terlipat. "Ambil buat lo!" Lantas beranjak dari tempatnya secepat kilat. Lelaki itu nampak terburu-buru, entah apa yang tadi dia lihat hingga terdengar seperti mengumpat kesal. Tidak memedulikan Steve, Elena langsung kembali ke belakang. Dia mengusap perutnya yang kekenyangan, meletakkan paper bag berisi tiga menu pesanan Steve yang dibungkus tadi. Beneran untuk Elena, dia senang sekali. Seperti yang Steve katakan di awal, dia memberi Elena uang sebagai upah menemani makan. Bayangkan saja, hanya duduk manis bahkan ikut menyantap menu, tapi dikasih uang yang sangat banyak. Penasaran dengan berapa lempar uang ratusannya, Elena menghitungnya sembunyi-sembunyi. "Astaga, lima ratus ribu?!" Mulut Elena menganga, matanya langsung membelalak kaget. Segera dia memasukkan kembali lipatan uang itu ke dalam saku celemeknya, memegangi permukaan dadaa yang rasanya sudah campur aduk. Ini uang banyak sekali, upah pertama yang Elena dapatkan bahkan mampu untuk membayar uang sewa kontrakannya. "Elena kamu baru datang? Aku tadi nyari kamu, ternyata kata Mas Arya lagi menemani pengunjungg makan bersama ya?" Shofia menoel lengan Elena, mengulum senyum senang. "Cantik banget sih, jadi langsung ada yang suka." "Bukan gitu, Kak. Ini yang minta temani makan cowok kemarin." Shofia mengernyit bingung, mencoba memahami ke mana arah pembicaraan Elena. "Yang hampir menabrak aku kemarin siang itu loh, Kak. Kebetulan banget ketemu lagi di sini, terus dia ngotot minta ditemani. Mas Arya nggak marah kan? Aku takut dipecat." Shofia menggeleng. "Nggak marah, Mas Arya baik orangnya, jadi kamu tenang saja. Ngomong-ngomong, kok cowok kemarin minta kamu menemani dia? Namanya siapa?" Elena menaikkan kedua bahu, dia bahkan lupa bertanya siapa nama Steve. "Entah, aku lupa tanya. Aku takut sama dia, omongannya kasar banget. Dia suka marahin aku, beberapa kali aku dibentak terus." Memajukam bibirnya, mengerjap beberapa kali. Namun meski begitu, Elena tidak menutupi rasa senangnya sebab sudah dibayar dengan jumlah nominal yang tinggi. Bisa Elena tabung, apalagi makan malam ini dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli mie atau telur. Makanan yang Steve kasih membuat Elena lega. "Oh iya, aku dikasih makanan juga. Nanti makan malam di rumah ya, Kak, kita makan bareng lagi. Ini satu menu aja bikin kenyang banget, aku nggak bakal habis kalau makan sendirian." Shofia mengangguk dengan senyuman lebar. "Boleh, Elena. Lumayan buat pengiritan!" bisiknya lalu tertawa bersama. Elena menyimpan makanannya ke atas lemari, lanjut bekerja untuk dua jam ke depan sebelum pergantian shift. **** "Steve, mau ke mana kamu? Baru pulang petang, terus mau berangkat lagi? Tidak ada ke club malam, masuk kembali ke kamar kamu!" Nyonya Baylor melipat kedua tangan ke pinggang, menatap horor pada putranya. "Sudah Mama bilang, jangan mabuk-mabukan lagi." Steve menatap malam ibunya, lalu menghela napas berat. "Mama, aku mau ke rumah Jeremy." "Kamu pikir Mama percaya? Tidak akan! Masuk kembali ke kamar, suruh saja Jeremy yang ke sini kalau mau main. Kamu tidak bisa dipercaya, begitu pun dengan Jeremy. Kalian berdua sama saja, kelakuannya sebelas duabelas!" Tatapan mata Nyonya Baylor menyorot tajam, tidak main-main untuk melarang Steve. Dia beneran akan murka kalau Steve membangkang. Karena sudah tidak bisa berkilah, akhirnya Steve balik kanan lalu kembali ke kamarnya. Dia melemparkan tubuh ke tempat tidur, tengkurap dengan napas lelah. Mungkin memang lebih baik Steve libur duku ke club malam ini, tubuhnya lumayan lelah akibat bertarung di atas ring tinju tadi siang bersama pelatihnya. Beberapa bagian tubuh Steve terasa pegal, dia tidak fokus hingga berkali-kali mendapat serangan. Sebenarnya Steve tidak terlalu senang berlatih tinju, hanya saja tadi siang sedang malas ke mana-mana. Bingung harus melakukan apa, daripada bosan di rumah akhirnya Steve mengunjungi tempat itu. "Ya Tuhan, Steve! Ini kamar atau kandang kambing? Kok berantakan banget, semua barang tidak berada pada tempat seharusnya." Nyonya Baylor masuk ke kamar Steve, melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Jangan jorok ya, Steve, beresin dulu kamar kamu sebelum Mami pukul." "Aku lagi malas, Mama. Bisanya juga beres, kali ini beneran susah mau ngapa-ngapain. Aku pengen tidur, besok aja ya beberesnya?" Nyonya Baylor melangkah mendekati Steve, memukul betis lelaki itu. "Bangun, beberes dulu baru tidur. Katanya mau main sama Jeremy, kok malah tidur? Bohong lagi kan, ketahuan sekali mau ngibulnya!" Lalu menarik secara paksa tangan Steve, menyuruh lelaki itu bangun dari posisinya. "Suruh Bibi Fifin saja ya, Ma?" Melihat tatapan Nyonya Baylor, Steve menghela napas kasar. "Iya, iya. Nggak usah gitu natapnya, aku juga bisa." Kalau untuk urusan kamar pribadinya, Steve emang sangat jarang menyuruh Bibi Fifin membersihkannya. Nyonya Baylor sejak dulu selalu menyuruh Steve mandiri, setidaknya untuk urusan kamarnya. "Mama tinggal ke dapur bikinkan Papa teh, nanti kalau Mama balik lagi ... kamar ini harus sudah bersih." "Nitip roti bakar dong, Ma, aku pengin nyemil sebelum tidur." Nyonya Baylor mengangguk. "Cokelat hangat juga, kasih sereal di atasnya ya?" Permintaan yang sering kali Nyonya Baylor dengar, untung tidak macam-macam. Steve sadar diri, Mamanya tidak mungkin menyiapkan dia menu yang aneh, bisa muntah duluan. "Itu kolor kamu ditaruhnya jangan sembarangan, dicolong tikus baru tahu rasa!" Steve terkekeh, lalu langsung menyembunyikannya dari Nyonya Baylor. Lupa mencuci, Steve cepat-cepat tadi pagi. "Pusing kepala Mama lihat kelakuan kamu." Geleng-geleng, setelah itu beranjak menuju dapur. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD