7. Berusaha Bahagia

2316 Words
Seorang wanita melangkahkan kaki jenjangnya mendatangi Steve di teras kolam renang. Postur tubuhnya bak seorang model, dia terlihat sangat cantik dengan rambut gaya andalannya--dark brown bergelombang indah. Dia memiliki mata bulat dengan alis tebal, hidungnya mancung ditambah pola bibir sedikit lebih tebal. Wajahnya seperti wanita timur tengah, kulitnya kuning langsat. Vanesa Leonardo Luis, putri ketiga keluarga Luis dari empat bersaudara. Dia berusia dua puluh satu tahun, sedang mengenyam pendidikan di universitas yang sama dengan Steve. Vanesa mengambil manajemen bisnis, ingin menjadi wanita karier yang sukses seperti kakak dan ibunya. Ayah Vanesa adalah seorang pengusaha mobil mewah, sementara ibunya pengusaha di bidang kecantikan. Hidupnya dipenuhi fasilitas mewah, bergelimang harta, membuat Vanesa sedikit lebih manja. Dia tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah, malah untuk bagian memasak telur saja tidak bisa. Vanesa anti memasak, katanya takut kecipratan minyak panas yang akan membuat kulit mulusnya lecet. Yang dia bisa hanyalah merias wajah, jalan-jalan, bersenang-senang, dan melukis. Vanesa memiliki seorang adik laki-laki, dia sedang duduk di bangku sekolah menengah atas. Biasanya lelaki itu main basket dengan Steve di waktu luang. Sementara dua kakak perempuan Vanesa, mereka sudah menikah dan menetap di London. Biasanya akan pulang ke Indonesia setahun sekali, di waktu liburan panjang. "Steve, ayo jalan-jalan!" Dia duduk berhadapan dengan lelaki itu. Kemudian merebut rokok Steve, mematikan apinya. Vanesa mengibaskan tangan di depan wajah, mendengkus sebal setiap kali melihat Steve merokok. "Berhenti merokok, nanti radang tenggorokan baru tahu rasa!" Steve tersenyum, menyandarkan punggungnya santai sembari menatap Vanesa. Inilah sosok wanita yang setia menduduki ruang hati Steve sejak mereka duduk di bangku sekolah, hingga sekarang. Sudah lama sekali bukan? Tapi tetap saja hubungan di antara keduanya tidak memiliki kejelasan. Mereka hanya bersahabat, selalu saja begitu. Padahal Steve-lag yang begitu mengenal siapa Vanesa, apa yang wanita itu sukai dan tidak. Steve menerima semua yang ada pada diri Vanesa, tapi rupanya wanita itu tidak memiliki rasa lebih kepada Steve selain daripada sahabat. Miris! "Ke mana?" Pembawaan diri Steve sangat santai, dia juga tidak pernah berkata kasar pada Vanesa. Luar biasa sekali bukan? Hanya pada Vanesa, wanita itu satu-satunya pengecualian. Lihat saja ketika mereka bicara, tidak ada kata lo-gue di dalamnya, sungguh manis seperti layaknya sepasang kekasih. "Kamu tidak masuk kuliah hari ini? Bukannya kata kamu kemarin ada kelas pagi, kok jam segini udah pulang aja. Bolos lagi kan?" Tepat sasaran tebakan Steve. Vanesa menyengir tanpa dosa, sudah ketahuan sekali wanita itu kembali membolos. Dia sedikit nakal dan keras kepala, tidak berbeda jauh dari Steve. "Aku bolos, habisnya bosan banget ikut kelas dosen killer kayak Pak Erik. Aku nggak suka dia, kejam. Ayo jalan-jalan ke pantai saja, pakai motor harley baru kamu. Kemarin kamu udah janji mau ajakin aku jalan-jalan sama dia kan?" Bibirnya manyun seperti bebek, berusaha membujuk Steve agar mengiyakan permintaannya. Kalau soal urusan jalan-jalan, dibawa sampai ujung dunia pun Vanesa mau. Apalagi jika Steve yang mengajaknya, Vanesa akan sangat betah. Entahlah, menurut Vanesa dia tidak mudah merasa bosan saat bersama Steve, lelaki itu begitu menjaga dan menyayanginya. Vanesa merasa dilindungi, penjaga paling setia untuk merangkulnya. "Panas, nggak takut hitam?" Steve menaikkan alis. "Enggak, aku suka kulit cokelat. Sejak kapan aku takut matahari? Aku malah mau berenang dan berjemur. Ayo, Steve, aku bosan di sini!" Merengek, menggoyangkan lengan Steve sampai lelaki itu mengiyakan ajakannya. Steve melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Aku ada kelas siang ini. Sore aja berangkatnya gimana? Nanti menginap, besok siang baru balik." Vanesa menaikkan alis. Berpikir sebentar. "Papa melarang keras bolos kuliah, katanya tahun ini aku harus wisuda. Dia bakal tahan uang bulanan, ngancem mau membekukan semua uang aku di rekening kalau terus membangkang. Bisa gawat kan?" Vanesa tertawa. "Kamu sih nakal banget. Udah tua, masih aja kelakuannya nggak bisa dikontrol. Lihat teman-teman kamu, udah pada kerja dan sukses. Sementara kamu gimana, masih menjadi menikmat harta keluarga. Ck, perlu ditabok akal sehat kamu." "Yang ngomong pun sama. Kamu juga nggak jauh berbeda dari aku, jangan banyak berkomentar!" Steve mengacak-acak rambut Vanesa gemas. Membuat wanita itu merengek, memukul paha lelaki itu sembari memperbaiki tatanan rambutnya kembali. "Aku kan perempuan, masih mending. Nantinya juga bakal diberi penghidupan sama suami. Lah kamu? Kalau pemalas, mau dikasih makan apa anak orang nanti?" "Mau nggak kamu nikah sama aku?" Ini terdengar seperti candaan, padahal Steve serius jika Vanesa setuju. Vanesa menggeleng cepat. "Ogah!" Memeletkan lidahnya, kemudian terbahak tanpa bosa. "Cepat bersiap Steve, katanya mau kuliah!" Vanesa melangkah lebih dulu meninggalkan teras kolam renang, menuju dapur untuk mencari makanan. Dia sudah menganggap keluarga Steve seperti keluarganya sendiri, hubungan Vanesa dan Nyonya Baylor begitu dekat seperti layaknya anak sendiri. Steve melangkah mengikuti Vanesa, sudah menebak jika wanita itu akan meminta makanan pada Bibi Muti. "Hei anak nakal, kamu selalu datang untuk mencari makanan!" "Ih jahil banget, aku aduin Mama kamu nih!" Kembali memperbaiki rambutnya, memukul tangan Steve yang senang sekali mengacak-acak rambutnya. "Sana bersiap, aku tunggu di sini. Kita makan sereal banget, aku nggak mau sendirian." Steve menunjuk Bibi Muti. "Aku sudah kenyang, minta temani Bibi Muti tuh. Biasanya juga kamu makan sama dia, aku mau bersiap dulu." Vanesa menatap Bibi Muti, merayu wanita paruh baya itu untuk menemaninya makan sereal. Bibi Muti tidak terlalu doyan sereal, dia lebih senang makan nasi. Tapi jika Vanesa yang merengek, biasanya Bibi Muti tidak bisa menolak--paling tidak makan dengan mangkuk kecil. "Baiknya, Bibi Muti ... sayang banget aku!" ucapnya dengan mata berbinar, senang sekali dia berada di keluarga Steve. Pintu terbuka lebar untuknya, tidak pernah merasa diabaikan juga. Apa pun yang Vanesa inginkan, biasanya tinggal minta tolong Bibi Muti yang siapkan. "Neng Vanesa tidak masuk kuliah kah? Tumben jam segini ke sini, padahal di luar weekend." "Aku bolos," bisik Vanesa pada Bibi Muti, sangat pelan. Kemudian dia tertawa, meminum jus jeruknya lalu kembali melahap sereal dengan s**u varian stroberi. "Jangan bilang Mama Steve, nanti diaduin ke Mami aku. Bisa gawat." Bibi Muti geleng-geleng kepala. "Nanti jangan dibiasakan lagi, Neng, tidak baik. Kalau waktunya kuliah, ya ikuti jadwalnya dengan baik. Nanti kalau waktunya libur, baru main." "Akan aku ingat, Bibi Muti. Terima kasih sudah sering mengingatkan aku. Tapi kali ini saja, aku benar-benar bosan banget ikut kelas Pak Erik, dia pemarah dan kejam. Aku kan sering ketiduran di jam kelas dia, terus disuruh keluar dari ruangan. Aku kan malu sama teman-teman, terus nanti dikasih tugas banyak buat membayar sikap aku yang katanya kurang sopan. Ngeselin banget kan, Bibi?" "Ya benar atuh, Neng. Kalau ketiduran terus mah memang tidak sopan namanya, pantas saja Pak Erik suka ngomelin Neng Vanesa." Vanesa diam sebentar, kemudian tertawa tanpa merasa bersalah. "Benar juga sih. Soalnya aku ngantuk, Pak Erik ngajar bikin bosen. Udah kayak dinina boboin aku tuh, Bibi. Nggak paham juga, aku senang tidur orangnya. Nggak bisa ngantuk dikit, molor di sembarang tempat. Biasanya Steve suka marah, apalagi aku tidur kayak latihan meninggal. Susah banget bangunnya, ada gempa pun kayaknya nggak bakal sadar." Bibi Muti tahu itu, soalnya Vanesa pernah beberapa kali ketiduran di kediaman Steve. Entah di gazebo kolam renang, sofa ruang televisi, atau di meja bar dapur. Suka-suka wanita itu, kadang Nyonya Baylor sampai bingung sendiri melihatnya. "Cerita terus, yang ada di dalam mulut itu dikunyah dulu." Steve menjewer telinga Vanesa, membuat wanita itu memekik kaget. Dia langsung tersedak, mencubit perut Steve amat kesal. "Ngeselin banget, beneran aku aduin Mama ya!" "Aduh Mas Steve, jangan jahil sama Neng Vanesa. Setiap ketemu jarang banget akur, nanti berantem beneran loh." Steve terkekeh. Dia menyuap sereal milik Vanesa, mencicipinya dengan lahap. "Enak, sereal baru kah ini?" "Iya, baru tadi aku buka kemasannya, enak banget kan dipakein s**u stroberi?" Steve mengangguk, kembali meminta satu suap. "Ayo cepat habisin makanan kamu, pulang bareng aku kan?" Steve melihat jam, kemudian mengenakan sepatunya. "Bawa mobil sendiri atau diantar supir tadi?" "Aku naik taksi, kan sengaja biar diajak kamu naik motor Harley. Janji ya sore ini?" Steve mengangguk, Vanesa bertepuk tangan senang. "Nanti aku di rumah siap-siap dulu, jemput aku jam empat ya. Jangan terlalu sore, nanti nggak sempat liat sunset." Tidak memiliki celah untuk menolak, Steve menuruti terus kemauan wanita itu. Tidak bisa menolak, Steve tidak tega kalau harus menyakiti perasaan Vanesa. Tidak ingin melihat dia menangis, apalagi alasannya karena Steve. **** Karena hari ini kena shift malam, Shofia memutuskan untuk mengajak Elena jalan-jalan keliling kota Jakarta. Menggunakan motor sepupu Shofia, senang sekali Elena bisa menikmati suasana ibu kota meski terkena macet di mana-mana. "Elena, nanti kita mampir ke kafe sebentar yuk, seru loh. Kamu belum pernah nongkrong di kafe kan?" Elena mengangguk cepat. Jangankan untuk ke kafe, makan di restoran pun belum pernah selama dia berada di kampung. Hidupnya benar-benar sulit dijelaskan, tapi Elena selalu diajarkan bersyukur oleh Bundanya. "Ya sudah, pas kalo gitu. Aku jamin kamu bakal suka. Makanan dan minumannya nggak mahal kok, masih terjangkau oleh kantong pelajar dan pekerja hemat kayak kita." Elena tertawa, tapi itu fakta. Apalagi kayak Elena, dia harus pintar-pintar menyisihkan uang untuk ditabung. Dia hidup sendiri di Jakarta, semua barang-barang serba mahal. Kalau tidak irit, gajinya akan habis begitu saja. "Wah ternyata ini kampus terbaik ibu kota itu kan? Besar banget!" Mata Elena berbinar ketika melihat universitas terbaik ibu kota. Dulu dia pernah mengimpikan berada di antara mahasiswi di sana, hanya saja tangan tak sampai untuk menggapainya. Keadaan keluarga yang serba kekurangan membuat Elena harus banyak-banyak bersabar. Masih syukur dia bisa melanjutkan pendidikan hingga bangku sekolah menengah atas--Bunda Kartini benar-benar bekerja keras mengusahakannya. Di kampung sangat jarang anak-anak bisa menyelesaikan sekolah hingga dua belas tahun, lulus sekolah menengah pertama saja sudah untung sekali. "Dulu aku pengin banget kuliah di sini, Kak." Elena tersenyum, menghela napasnya senang. Meski hanya dengan memandang, dia sudah merasa cukup. Shofia ikut merasakan sedih, dia tahu keinginan Elena begitu besar. "Sabar ya, aku juga pengin kuliah di sini. Tapi orangtua aku nggak mampu, jalur beasiswa pun nggak bisa, soalnya aku nggak terlalu pintar pas sekolah dulu. Aku kalau berurusan buku pelajaran, lambat banget tanggapnya. Apalagi hitung-hitungan, beuh ... keluar asap kepalaku. Untung saja sekarang lebih pinter dikit. Ternyata senang membaca dan belajar memahami lebih dalam setiap soal itu manfaatnya banyak. Buktinya sekarang aku sering dimintain sepupu bantu ngerjain tugas dia." "Kakak mah pinter, cuman malas membaca aja waktu itu. Iya 'kan?" Shofia mengangguk. Dulu dia emang semalas itu, pikirannya cuman main dan tidur. Sekolah pun malas-malasan, sering terlambat dan membangkang pada guru. Sekarang kalau diingat-ingat, Shofia sangat menyesal. Andai waktu bisa diulang, mungkin dia memiliki kesempatan untuk meraih juara kelas. Tapi apalah daya, penyesalan emang selalu datang belakangan. "Ih, itu kan lelaki waktu itu!" Elena menunjuk ke arah Steve yang sedang berada di trotoar depan kampus. Sepertinya tengah menunggu seseorang, sesekali melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sementara Elena dan Shofia sedang menunggu lampu merah berubah hijau, lambat sekali--ini bisa-bisa mereka terjebak lampu merah dua kali. "Dia ternyata mahasiswa di sini juga. Keren banget ya, Kak?" Saat tatapannya bertabrakan dengan Steve, Elena langsung memalingkan wajah, menurunkan kaca helmnya. "Ketahuan aku merhatiin dia, Kak. Ya ampun malunya!" Shofia tertawa, masih berusaha menggerakkan pelan-pelan motornya. Suara klakson ada di mana-mana, kebetulan ini jamnya para pekerja pulang dan para mahasiswa pun baru beres kelas. Jadi jalanan sangat macet, semua mengantre untuk melewati lampu merah yang sungguh menguras emosi. "Eh, gadis aneh!" Steve memanggil Elena saat motor Shofia semakin ke depan, Steve masih berada di tempat semula. "Bolos kerja lo?" tanya Steve terdengar penasaran dengan yang Elena lakukan di kesehariannya. Elena menaikkan lagi kaca helm, menatap Steve dengan senyuman. "Aku minggu ini kena shift malam. Jadi boleh kan jalan-jalan keliling kota?" Berusaha tetap ramah, tapi Steve malah meledeknya. "Gue cuman nanya, nggak minta lo ngejelasin panjang lebar gitu. Suka-suka lo aja, bukan urusan gue." Steve menaikkan bahu, kilatan matanya membuat Elena malas menatap pada lelaki itu. "Tinggal aja anak aneh ini di tengah jalan, paling dia nyasar sambil nangis-nangis," katanya pada Shofia. Elena menganga, mendengkus sebal. "Nggak usah didengerin, Kak." Elena memeletkan lidahnya pada Steve, membuat lelaki itu memutar bola mata jengah. "Aku pergi, dadah!" Setelah itu kembali menjulurkan lidahnya, untung saja motor yang Shofia kendarai sudah melaju cepat sebelum Steve membalas perlakuannya. "Ngeselin dia ya, Kak?" tanyanya pada Shofia. "Iya jahil juga ternyata orangnya." "Aneh, aku ketemu dia terus. Nggak di rumah makan, pas beli martabak, sekarang ketemu lagi di depan kampusnya. Heran!" "Nggak usah diambil pusing." Shofia menepikan motornya ke sebuah kafe yang berada tidak jauh dari kampus tadi. Mengajak Elena masuk ke dalam dan memilih meja. Karena cuaca sore sudah tidak panas, Shofia memilih meja di luar ruangan--halaman samping yang terlihat begitu asri dengan banyaknya tanaman hijau. Enak sekali duduk di sana, anginnya berembus sejuk sambil menikmati penampilan band juga. "Suka nggak ada di tempat kayak gini?" tanya Shofia, mereka sudah memesan minuman dan makanan ringan. Elena mengangguk. Matanya masih berusaha menyusuri setiap celah kafe tersebut. Nampak terpukau, terlihat dari binar matanya yang indah. "Tempatnya bagus, enak dipandang ya, Kak? Di bagian luar sini sejuk." "Nanti kalau gajian, kita mampir ke kafe lain. Ada lagi yang lebih bagus, lebih luas dan lebih ramai pengunjungnya. Kamu pasti makin suka." "Boleh, Kak. Makasih sudah bawa aku jalan-jalan. Aku senang, karena sebelumnya nggak pernah mampir ke tempat kayak gini." Dia terkekeh, lalu pelayan kafe mengantarkan pesanan mereka. Elena langsung menyicipi minuman rasa taro ditambah boba di dalamnya. Menurut Elena ini enak, dia tidak salah pilih. Sementara makannya, Elena memilih Buttermilk waffle. Untung saja Elena tidak terlalu pemilih dalam hal makanan, dia terkesan menikmati apa saja--asal bukan makanan mentah. Senang mempunyai teman seperti Shofia, mereka saling memahami satu sama lain. Elena tidak lupa bersyukur lagi, dia dikelilingi oleh orang-orang baik. Shofia sudah dia anggap seperti kakak sendiri, sebab gadis itu selalu berusaha melindungi Elena. Jika Elena tidak mengerti satu hal, Shofia langsung mencoba menjelaskan sampai Elena paham betul. Dengan sabar dan pelan-pelan. Shofia juga selalu bisa menghibur Elena sampai tidak ada celah untuknya bersedih. Keadaan hidup Elena memang sangat sulit, tapi selalu berusaha menikmati dan bersyukur masih ada kesempatan tersenyum setiap hari. Elena tidak sendirian sekarang, ada banyak sekali temannya di tempat kerja yang memberikan semangat dan dukungan. Elena harus bangkit, agar di surga sana Bundanya bangga. Harus! ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD