12. Berbuat Baik

2118 Words
"Hei, anak ganteng Mama!" Nyonya Baylor memanggil Steve yang baru saja menampakkan batang hidungnya di rumah. Menyuruh lelaki itu mendatanginya yang sudah duduk nyaman di sofa panjang depan televisi ruang bersantai. "Enak banget kelayapan di luar ya, sampai tidak ingat jalan pulang. Sini duduk, Mama mau ngomelin kamu dulu!" Menepuk sofa di sisinya, Steve mencebikkan bibir tidak ingin. Dia sedang dikejar waktu, makan siang bersama di kediaman Jeremy sebentar lagi. Mamanya ada-ada saja, mau ngomel pun pakai acara bilang. Lagian Steve tidak kabur atau diculik, dia sudah terlalu dewasa untuk hal seperti itu. "Ma, nanti aja. Aku mau ke rumah Jeremy dulu, mau makan siang sama keluarganya dan Naomi. Kemarin malam di acaranya Jemery melamar Naomi. Mungkin merayakan hari bahagia mereka." Nyonya Baylor melipat kedua tangannya ke depan dadaa. "Mama nggak tanya perihal Jeremy dan Naomi. Mama tanya kamu, habis dari mana? Tidak menginap di club bersama wanita bukan?" tanyanya penuh tatapan tajam. Dia khawatir sekali anak lelakinya menjadi b******k, sakit hatinya sebagai seorang ibu. Steve begitu susah dibilangi, sering kali membuat Nyonya Baylor emosi. "Kalau diajak bicara itu duduk dulu, kamu dapat ajaran dari mana sih? Kok nggak sopan gitu sama Mama. Pulang nggak sapa dulu, berangkat juga biasanya kelupaan pamit. Jangan bikin Mama marah, bisa saja Mama pukul kamu kalau sudah kelewat emosi." Tidak mungkin, Nyonya Baylor hanya mengomel. Tapi kalau urusan memukul, dia tidak ringan hati melakukannya. Apalagi Steve putra kesayangannya, meski nakal dan keras kepala ... Steve adalah kebanggaan, harapan terbesar bagi keluarga. Steve mengusap wajah, akhirnya duduk di sofa single, dekat Nyonya Baylor. "Aku nggak nginep di club, ngapain? Kurang kerjaan. Aku juga nggak pernah tidur sama wanita di club, aku nggak sebrengsek itu Mama. Sejak kapan Mama tahu aku senang embat sana-sini? Aku emang suka mabuk, tapi kalau urusan wanita ... aku tahu siapa yang terbaik. Aku menginap di apartemen, aman aja. Aku nggak bawa anak gadis orang kabur." Padahal tanpa Nyonya Baylor tahu, Steve membawa Elena ke dalam unitnya. Steve terpaksa, tidak mungkin dia mengajak Elena balik ke kontrakan dalam keadaan mabuk kan? Bukannya mengamankan keadaan, orang di gang kecil itu pasti berkoar ke sana ke mari. Akhirnya yang disalahkan adalah Steve. Kalau sampai hal seperti ini terdengar ke telinga orangtuanya, bisa habis Steve dihajar Tuan Baylor. "Baguslah. Jangan jajan sembarangan, anak orang hamil nanti Mama penggal kepala kamu. Jangan kamu rendahkan wanita dengan menggaulinya duluan sebelum mengikat janji suci di hadapan Tuhan. Jangan buat Tuhan dan orangtua kamu murka. Banyak-banyak berpikir sebelum bertindak, awas saja kalau sampai kebalik akal sehat kamu, Steve. Nikah dulu baru kawin. Ingat nggak?" "Ingat. Sudah dulu ngomongnya ya? Aku mau cepat nih." Sedekat-dekatnya Steve dan Vanesa, tetap saja keluarganya tidak ada yang tahu apa yang sudah pernah mereka lakukan di belakang. Mungkin Jeremy tahu, tapi dia juga memilih diam dan tidak banyak mengurusi terlalu jauh. Kadang dia berusaha menasehati Steve, jangan terlalu membawa perasaan, sebab Vanesa masih begitu labil. Dia memerlukan Steve saat ada maunya saja. Tapi karena Steve sudah terlanjur mencintai Vanesa, dia kadang selalu dibutakan oleh rasanya. Untung saja setiap kali bersama Vanesa, Steve tidak pernah lupa membawa pengaman. Jaga-jaga, dia tidak ingin kebablasan yang berakhir kehamilan. Bisa jantungan Mama dan Papanya ketika mengetahui Vanesa hamil anak Steve--apalagi mereka bersahabat sejak kecil, dan pastinya belum menikah. "Jangan pulang malam. Nggak usah nginap di unit lagi, kayak nggak punya rumah aja!" Entah kenapa Nyonya Baylor tidak pernah senang kalau Steve menginap di apartemen. Dia merasa tidak bisa lebih leluasa mengawasi Steve, takut anaknya keluyuran hingga subuh. Bisa saja kan? Steve mengacungkan jempol, segera berlalu menuju lantai dua. Dia nampak terburu-buru memasuki kamar, mencari pakaiannya di ruangan khusus yang selalu tertata rapi. Lihat saja kalau berantakan, Nyonya Baylor akan mengamuk seperti Singa. Dia tidak bisa melihat rumah berantakan sedikit saja--apalagi kamar Steve, langsung meradang. Hatinya tenang langsung memanas. Emang memiliki putra seperti Steve adalah ujian sekali. Usai mengenakan kemeja hitam dan celana senada, Steve mencari sepatu putih miliknya, lalu menata rambut serapi mungkin. Dia membiarkan dua kancing teratas kemejanya terbuka, katanya sih agar lebih keren saja. Tidak perlu mengenakan jas, ini makan siang biasa, tidak formal seperti pernikahan. "Mama, Steve berangkat dulu." Mendatangi Nyonya Baylor, mengecup pipi wanita itu dengan sayang. Kali ini dia tidak akan lupa berpamitan, nanti bisa diomeli lagi. "Nanti pulang jam tujuh atau jam delapan. Steve mau beberes di apartemen, banyak debu. Sudah satu bulan nggak di bersihin Mama." "Ya sudah, tidak perlu ke club nanti malam. Kerjain tugas kamu, jangan sampai ketinggalan lagi sama teman-temanmu di semester ini. Mama malu, Steve, kamu jadi mahasiswa abadi di kampus sendiri. Apa kamu pikir ini bahan lelucon?" Dan ya ... kampus impian banyak orang itu adalah milik keluarga Baylor. Tidak banyak yang tahu, sebab Steve juga tidak terlalu sering memamerkan harta orangtuanya. Dia terkesan bodoamat, tapi senang buang-buang duit. Ingat bukan kata Steve, cita-citanya menikmati harta keluarga yang tidak pernah habis. Steve mengangguk. "Sejauh ini Steve selalu kerjain tugas dengan baik, belum ada bolos juga." Sebenarnya Steve pintar, hanya saja malas belajar dan sering bolos. Lihat saat dia serius dalam menyelesaikan tugasnya, nilai lelaki itu lumayan bagus. Alasan utama kenapa Steve menjadi mahasiswa abadi ialah kehadiran dan cara dia bersikap pada dosen. Tidak ada sopan santunnya, terkesan selalu menjadikan semua hal sebagai lelucon. Saat jam pelajaran berlangsung, Steve malah menghabiskan waktunya di kantin. Atau sama sekali bolos ke luar daripada area kampus. "Baguslah. Pinter-pinter biar Mama nggak darah tinggi. Sudah besar gini, nggak perlu lagi diomelin kayak bocah kan? Sebentar lagi kamu juga akan menikah, Mama benarkan?" Steve melambaikan tangannya saja, tidak menanggapi perihal menikah dan memberikan keturunan untuk penerus keluarga Baylor. Steve pusing, masa depannya masih begitu datar dan belum jelas, sama sekali tidak terpikir akan menikah di usia yang masih begitu muda. "Mas Steve, mau ke mana?" tanya Pak Ciko, tumben pria itu tidak berada di kantor bersama Papanya. "Ke rumah Jeremy, awas saja kalau Pak Ciko ngikutin. Aku nggak suka dibuntutin. Daripada jadi penguntit, lebih baik Pak Ciko ke kantor Papa. Cari kerjaan yang bermanfaat, bisa ngasilin nominal. Nanti duitnya kita bagi dua." Pak Ciko mencebikkan bibir, Steve selalu saja menyisipkan lawakan pada kalimatnya. "Ada-ada saja. Bukankah duit Mas Steve lebih banyak?" "Lumayanlah, tapi nggak sebanyak punya Papa. Ah, sudahlah. Aku pengen cepat berangkat dari tadi--sudah terlambat. Lagian obrolan kita sama sekali nggak berfaedah. Senang banget Pak Ciko ini ganggu aku, naksir nanti baru kelabakan!" "Ya Tuhan, Mas Steve. Saya masih normal. Lagi pula tidak mungkin saya naksir Mas Steve, istri dan anak saya ada di rumah. Bisa terbelah dunia kalau kita jadian." Steve bergidik ngeri. "Ngaco ih Pak Ciko, nyeremin. Jaga jarak aman dari saya, ternyata Anda sangat berbahaya!" Kemudian bergidik ngeri, langsung masuk ke dalam mobilnya. **** Kata Steve tadi dia akan menjemput Elena nanti sore, tapi ternyata jam dua siang sudah muncul lelaki itu di depan rumah Bu Ani. Menelepon Elena, kemudian menyuruh gadis itu pulang ke apartemennya sekarang. Steve akan beberes, tidak mungkin dia biarkan Elena enak-enakan mengobrol di rumah orang lain. "Steve, pamitan dulu sama Bu Ani." Steve sedikit terkejut, tapi menurut dengan perintah Elena. Dalam hati Steve menggerutu, bisa-bisa Elena menyuruhnya dengan seenak jidat. Dan ya bodoh sekali, Steve mau saja menurutinya meski kesal. Dia menyalami Bu Ani dengan sopan, lalu berkata ingin mengajak Elena ke rumah teman mereka. Steve bohong, dia raja berdusta kalau urusan seperti ini--sering begitu juga pada Mama dan nyokapnya Jeremy agar keduanya bisa pergi ke club bersama. "Hati-hati ya, Nak. Nanti kalau butuh sesuatu hubungi Ibu, tadi nomornya sudah disimpan kan?" Elena mengangguk, melambaikan tangannya pada Bu Ani yang terlihat bahagia melihat Elena memiliki banyak teman baik. Dia tidak menyangka Elena mampir ke kediamannya, mengobrol banyak dan makan siang bersama. Tadi sebelum pulang, Elena juga memberikan Bu Ani uang. Meski tidak banyak, mungkin itu bermanfaat. Elena ingat kemarin saat dirinya awal diam di kontrakan, Bu Ani-lah yang memberinya uang jajan. Wanita itu sangat baik, jadi Elena akan membalas jasanya. Elena menoleh pada Steve. "Kita mau ke mana? Katanya tadi akan pulang sore. Kok sekarang udah jemput aku? Untung aku baru mau tidur siang, kalau keburu tidur aku susah dibangunin." "Ke unit gue. Mau beberes, lo bantuin. Enak aja lo tidur di tempat gue nggak mau bantu-bantu. Sudah gue kasih uang dua juta secara utuh, gue beliin baju dan ponsel juga. Dari kemarin sampai hari ini, semua yang lo pakai nggak ada yang murah." Steve berkata jujur. Dari gaun, heels, tas, sampai pada pakaian Elena hari ini semuanya merogoh kocek yang lumayan besar. Andai Steve perhitungan dan b******k, bisa saja dia akan meminta Elena menemaninya satu malam dulu untuk mengganti semua uang yang Steve keluarkan. Sayangnya tidak, Steve bukan seseorang yang selalu meminta imbalan. Dia tidak pernah memusingkan apa saja yang dia berikan kepada orang lain, itu sudah rezekinya. Elena mengangguk. "Iya, nanti aku aja yang beberes semuanya nggak pa-pa." Steve mengacungkan jempol, Elena ini gadis yang tahu diri sekali. Dia akan membalas kebaikan Steve, meski lelaki itu tidak memintanya. Elena tipe gadis yang tidak pernah melupakan kebaikan siapa pun yang pernah hadir dalam hidupnya--meski dalam hal paling kecil, dia pasti akan membalasnya dengan kebaikan yang sama. Sebab itu Elena selalu berdoa pada Tuhan agar memiliki rezeki lebih, dia ingin berbagi pada orang yang lebih membutuhkan. Meringankan beban pikiran mereka, biar bisa tidur dengan nyenyak. Itu saja, begitu sederhana. Setibanya di unit Steve, Elena melepaskan jaketnya. Dia langsung menggulung kembali rambutnya, bersiap ingin membereskan ruangan mewah ini. Kata Steve ini hanyalah apartemen, tidak jauh lebih luas daripada kediaman keluarganya--bahkan seperempatnya pun tidak. Elena seketika berpikir, "Apakah rumah Steve layaknya sebuah istana para Raja? Dia jadi penasaran. Apa mempunyai rumah besar tidak takut tersesat kalau bepergian? Bagaimana cara membersihkannya?" Dan banyak hal lainnya. Rumah Elena di desa bahkan tidak seluas kamar yang dia tempati tadi pagi. Elena tidak habis pikir, sebanyak apa harta kekanyaan keluarga Steve? "Kenapa melamun, lo mikirin apa?" Steve menyentil kening Elena, membuat gadis itu terlonjak kaget. "Huts, Steve! Kaget banget aku." Mengerjapkan matanya, mengusap permukaan dadaa dengan napas dihela perlahan agar kembali beraturan. "Aku beberesnya dari bagian dapur dulu deh." Melangkah ke dapur, Steve sudah menghidupkan pendingin ruangan agar lebih nyaman. "Gue mau ke lantai atas, jadi lo nggak perlu beberes ke sana, biar gue aja. Itu wilayah gue, nggak ada yang boleh masuk ke sana selain tanpa izin gue." Elena mengangguk paham. "Jangan menyalakan kompor. Jangan coba-coba memencet apa pun yang ada di sana. Bahaya!" "Iya, aku ngerti." "Beresin lemari pendingin, keluarin sayuran dan buah-buahan yang mulai busuk." Setelah itu Steve melangkah ke lantai atas. Elena menyalakan musik pada ponselnya, beberes sambil bersenandung sangat nikmat. Andai suatu saat dia mempunyai rumah seindah ini, dia akan betah berada di sisi mana pun. Dia pasti akan bahagia sekali--cita-cita yang sejak dulu selalu dia semogakan dalam doanya. Tidak merasa keberatan sedikit pun Elena beberes pada kediaman Steve, apalagi melihat lelaki itu begitu baik kepadanya. Elena akan bercerita pada Shofia setelah pulang nanti, tidak lupa Elena akan mentraktir Shofia martabak manis. Kebetulan Elena belum pernah mencobanya. Dia mewadahi sayuran dan buah-buahan yang sudah tidak layak makan. Membersihkan setiap bagian pada kulkas besar itu. "Besar banget, tapi isinya nggak ada." Dia bergumam pelan. Steve memang sengaja tidak mengisi barang kebutuhan dapurnya, akhir-akhir ini dia sudah jarang mengunjungi unit. Nyonya Baylor tidak mengizinkan, katanya lebih baik di rumah. "Elena, bikinkan gue minuman dingin dong. Masih ada sisa jus jeruk di dalam kulkas, tambahkan sedikit es batu." "Aku boleh ke atas kah?" "Iya, tapi sampai depan tangga aja. Jangan memasuki wilayah gue!" Elena mengerti. Dia beranjak dari tempatnya, mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menyiapkan minuman dingin untuk Steve. Enak sekali bukan jadi orang kaya, minumannya jus. Kalau mau nyemil, banyak sekali pilihannya, sesuaikan dengan mood. Dulu waktu di desa, Bunda Kartini senang menggorengkan Elena kerupuk. Itu sudah camilan paling enak. "Steve, ini jusnya." Setelah melewati undakan tangga, Elena sampai di lantai dua. Dia tidak berani bergerak lebih jauh, kata Steve dia hanya boleh sampai tangga. Steve keluar dari kamar, mengambil nampan berisi satu gelas. "Lo mau minum atau nyemil ambil langsung aja. Gue sibuk beberes ruang pakaian, jangan panggil-panggil gue terus." "Iya." Dia kembali turun ke bawah, melangkah sebentar ke arah dinding kaca untuk melihat para gedung pencakar langit. Indah sekali, apalagi jika di waktu malam. Mungkin akan banyak sekali lampu-lampunya. Elena memang sangat udik kelihatannya, sebab di desa tidak ada pemandangan yang seperti ini. Dia mengagumi perkotaan, memanjakan sekali untuk di pandang. Entah sampai kapan Elena berada di kota Jakarta, dia tidak tahu nasibnya akan berakhir seperti apa. Elena hanya berharap Tuhan selalu bersamanya, menjaga dan melindungi Elena agar tidak masuk dalam lingkungan orang jahat. Dia sendirian, tidak tahu harus mengadu pada siapa. Jadi selagi masih ada orang baik di sekelilingnya, Elena akan berusaha membawa diri sebaik mungkin. Jangan lupa selalu bersyukur, agar Tuhan selalu memberinya nikmat tiada batas setiap hari. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD