“Aku mau itu yang di piring kamu!” kata Rea dengan manja pada Danis. Saat ini mereka sedang sarapan bersama. Dia tidak malu meskipun di depannya ada mertuanya. Entah lah mungkin ini bawaan bayinya. “Aaa buka mulutnya yang,” perintah Danis sambil menyodorkan sendok yang telah berisi sup yang berasal dari piring Danis.
Rea benar-benar manja padahal sup masih banyak di wadah kaca itu tapi masih mau yang berasal dari piring Danis. Mertuanya yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala.
“Oya Dan, kalian kalau mau melakukan hubungan suami istri harus konsultasi dulu sama dokter kandungan karena kandungan Rea masih lemah.” Celetuk Karla tiba-tiba membuat pipi Rea memerah karena malu.
“Iya ma.” Ucap Danis. “Sayang ayo selesaikan makannya,” kata Danis yang melihat Rea masih menunduk karena malu. Aneh, dengan kata-kata yang diucapkan mertuanya tadi saja Rea sudah sangat malu. Danis terkekeh melihat itu, kemudian Rea mendorong kursinya ke belakang dan berkata aku mau makan dikamar dengan raut muka yang memelas pada Danis, jadi mau tidak mau, Danis menganggukan kepalanya.
Rea berlari kecil tanpa berani menatap mertuanya lagi, ah terkesan tidak sopan tapi apa pedulinya lagi karena terlalu malu. Sebenarnya Rea juga bingung padahal apa yang diucapkan Karla hanyalah saran yang bagus tapi kenapa dirinya malu sekali dengan kata-kata itu.
“Ma, Pa Danis nyusul Rea dulu.” Pamit Danis pada orangtuanya.
“Bawaan bayi itu Dan, kamu harus sabar,” Karla terkikik. Danis hanya tersenyum dan megangguk sebelum ia benar-benar meninggalkan meja makan itu.
Di dalam kamar Danis melihat Rea memunggungi pintu, dia sedang menenggelamkan wajahnya pada kedua lutut yang ia tekuk.
“Rea,” tegur Danis.
“Husband,” rajuk Rea. Danis terkejut dengan panggilan itu. Ingin rasanya ia tertawa tapi jika itu terjadi istrinya bisa saja marah besar atau bahkan ada yang lebih parah lagi, menangis sejadi-jadinya. “Sabar Danis! Ini bawaan bayi.” Ucap Danis dalam hati.
“Iya wife,” jawab Danis yang kini sudah berada di samping Rea. “Ayo kamu selesaikan dulu makannya,” bujuk Danis pada Rea yang akhir-akhir ini memang susah sekali makan kalau tidak disuapi oleh Danis.
“Mauuuuu tapi nanti aku ikut ke kampus ya,” kata Rea yang tidak lupa ikut menyertakan puppy eyes yang akhir-akhir ini menjadi andalannya. “No! kamu kan lagi..” Kalimat Danis menggantung karena Rea sudah memotongnya.
“Kamu pasti nggak mau kan selingkuhan kamu lihat aku? Kamu jahat! Masih aja suka selingkuh!” teriak Rea dengan air mata yang sudah diujung matanya.
Danis terkejut. Emosi Rea benar-benar menguji dirinya. “Nggak Rea bukan itu. Kan aku sudah pernah bilang kalau semua wanita itu sudah aku putuskan sejak pertama kali aku pergi dari rumah sayang. Aku nggak akan berani selingkuhin kamu Rea,” jelas Danis cukup panjang. Benar, dirinya dan Rea sudah pernah membahas ini.
“Aku itu mau dekat kamu Dan hiks,” rajuknya. Danis mengangguk karena sebenarnya dia pun menginginkan hal yang sama yaitu selalu berdekatan dengan istrinya. “Iya sayang iya aku tahu. Tapi kamu selesaikan dulu makan habis itu kita ke dokter dulu terus ke kampus, ok!” Bujuk Danis yang akhirnya dijawab dengan anggukan oleh Rea.
Setelah pergi ke dokter ternyata Rea tidak jadi ikut ke kampus dengan Danis. Alasannya adalah takut bayinya kenapa-napa karena dokter menyarankan agar dirinya lebih banyak istirahat di rumah dari pada pergi-pergi. Jadilah sekarang Rea berada di rumah seorang diri karena mertuanya keluar kota untuk urusan bisnis.
Sedangkan Danis berkata akan pulang agak sore. Rea memutuskan untuk menonton tv berlayar lebih dari 23 inc yang menempel di dinding khas orang kaya. Rea menonton film korea kesukaannya yang penuh drama dan identic dengan segala sesuatu yang berbau romantisme. Semua orang tahu kesensitifan Rea menjadi-jadi sejak ia mengandung. Maka hal yang paling Danis takutkan pun terjadi. Rea menangis.
“Hikss kasihan dia,” dan akhirnya tangis Rea pecah. Seolah sedang berada pada posisi itu Rea ikut merasakan kesedihan gadis yang berperan dalam drama. “Halo Danissss hiks,” Rea menelpon suaminya. Danis yang mendengar istrinya tersedu-sedu langsung berubah cemas.
“Rea kamu kenapa? Kamu di mana sekarang?” tanya Danis bertubi-tubi. Ia tidak peduli meskipun sekarang dirinya sedang berada ditengah-tengah sahabatnya.
“Kamu kapan pulang?” tanya Rea tanpa menjawab pertanyaan yang Danis berikan padanya.
“Ya udah aku pulang sekarang sayang. Kamu jangan nangis lagi, ok!” Danis berusaha menenangkan istrinya tanpa tahu apa yang terjadi sebenar-benarnya.
“Iya. Promise,” janjinya pada Danis.
Setelah Danis mematikan telponnya, segera ia pamit pada teman-temannya. “Gue duluan bro. Istri gue sendirian di rumah.” Ucap Danis.
“Loh bro lo nggak masuk sore ini? emang istri lo kenapa?” tanya Beni sahabat Danis. Sebenarnya diantara teman-teman Danis hanya Beni yang tahu kalau dia sudah menikah karena hanya Beni yang bisa dipercayanya sebagai sahabat, mereka berdua sudah saling mengenal sejak kelas satu SMP. Oleh karena itu saat Danis mengatakan istri tadi teman-temannya yang lain menjadi kebingungan.
“Lo udah nikah bro?” tanya Adi.
“Iya gue nikah hampir dua bulan yang lalu. Istri gue udah isi sekarang.” Danis tertawa sangat bahagia saat menceritakan itu pada teman-temannya.
“Wah lo keliatan banget bahagianya bro hahaaaa,” tawa teman-teman Danis meledak.
“Ya udah gue pulang duluan ya.” Pamit Danis yang sudah tidak tahan ingin cepat sampai rumah dan menanyakan tentang prihal kenapa Rea menangis.
***
Jakarta macet. Membuat Danis menggeram kesal karena sedari tadi mobilnya tidak mau bergerak barang seincipun. Hanya satu yang saat ini dipikirkan Danis. Rea. Sudah berapa kali Danis mencoba menghubungi nomor istrinya itu tetapi tidak ada satu panggilan pun berhasil terhubung. Yang ada hanya suara operator yang mengatakan bahwa nomor yang anda tuju tidak menjawab, cobalah beberapa saat lagi. Hanya itu. Sedangkan jarak menuju rumahnya masih sekitar setengah jam lagi bila tidak macet sama sekali.
“Ahh sialan. Kapan bisa sampai rumah kalau gini ceritanya.” Umpat Danis sambil memukul stir mobilnya. “Rea kamu nggak apa-apa, kan sayang?” tanya Danis yang lebih tertuju pada bayang kosong yang ia pun tahu tidak akan mendapatkan jawaban.
Tin Tin Tin
Suara klakson terdengar nyaring dalam pendengaran Danis karena kendaraan lain sudah muali bergerak. Sialan dirinya melamun. Dengan sigap Danis melajukan mobilnya menuju rumah.
Langsung didorongnya pintu saat sudah sampai di depan rumah. Dipanggilnya Rea namun tak ada jawaban. Dengan panik Danis naik ke lantai dua tanpa melihat kearah ruang tamu. Dia menuju kamar mereka dan tidak menemukan siapa-siapa. Tidak lupa dia juga mengecek di kamar mandi dan kosong. Danis mulai frustasi mencari keberadaan Rea.
Dituruninya kembali anak tangga dengan cara berlari sehingga seharusnya melangkah di satu anak tangga menjadi dua anak tangga sekaligus. Seperti saat-saat terakhir, tak sengaja matanya menangkap seseorang yang tertidur di sofa ruang tamu dengan ditemani tv yang masih menyala. Itu istrinya. Tertidur dengan pulas tanpa tahu betapa khawatirnya Danis tadi. Dengan cepat Danis menghampiri perempuan itu. Ditatapnya wajah damai Rea saat tertidur ketika dirinya sudah berada tepat di samping istrinya itu.
“Kamu bikin orang khawatir aja,” bisik Danis sambil mengusap-ngusap pipi istrinya yang memerah. Danis berpikir sejenak dan mendapat kesimpulan kalau bekas merah itu karena tadi istrinya menangis. Danis kesal karena tidak bisa menemukan alas an kenapa istrinya menangis. Pertanyaan itu ingin sekali cepat dijawab tapi dia tidak akan melakukan hal bodoh dengan membangunkan Rea hanya untuk mendapatkan jawaban itu.
Dengan perlahan Danis memindahkan Rea ke dalam gendongannya dan membawa wanita itu menuju kamar mereka. Tidak begitu mudah bagi Danis untuk membuka pintu kamar namun berhasil. Direbahkannya dengan sangat hati-hati tubuh mungil itu seakan benar-benar takut Rea terluka barang sedikitpun. Danis menggeleng. Ya, bukan hanya Rea tapi juga anaknya yang masih begitu lemah dan harus selalu ia jaga. Di liriknya perut datar istrinya kemudian dielus-elusnya sepelan mungkin.
“Enghh,” Rea bergumam saat Danis melakukan itu.
“Ssstttt tidur lah sayang,” bisik Danis dengan suara seperti mendesah. Dikecupnya bibir Rea sekilas lalu dirinya juga ikut berbaring di sana, di sebelah kanan karena Rea berada di sebelah kiri. Sebenarnya Danis ingin sekali membuat Rea bangun dan menindihnya sekarang juga tetapi dia ingat pesan dokter kandungan tadi bahwa mereka belum boleh melakukan hubungan intim karena kondisi kandungan Rea bisa saja melemah. Dokter juga sempat menyalahkan mereka karena sudah melakukannya beberapa kali sebelum konsultasi.
“Demi anak istri ini namanya,” Danis terkekeh kemudian dia mendekat pada Rea dan memeluknya.
***
“Jadi kamu nangis gara-gara nonton drama korea?” Danis masih saja tidak percaya alasan istrinya menangis karena nonton drama korea. Pasalnya pada tengah malam Rea bangun karena lapar dan Danis juga ikut terbangun. Setelah selesai makan barulah Danis bertanya kenapa Rea menangis tadi sore.
“Iya husband.” Jawab Rea sambil menganggukkan kepalanya. Danis benar-benar tak habis pikir dengan sikap Rea. Seperti tidak akan begini bila diingat kembali sikapnya pertama kali menginjakan kaki di rumah ini. “Rea kamu harus janji jangan melakukan itu lagi. Kamu tahu aku sangat khawatir, apalagi saat nomor kamu nggak bisa dihubungi tapi ternyata kamu malah tidur,” ucap Danis pada Rea. Sebetulnya Danis sangat kesal merasa dikerjai oleh istrinya tapi dia tidak bisa marah bila melihat wajah manis Rea.
“Kamu khawatir sama aku atau bayimu?” tiba-tiba Rea bertanya dengan ekspresi yang tidak terbaca.
“Ya kalian berdua lah wife,” jawab Danis. Rea mau tak mau tersenyum juga.
“Baik daddy,” Rea menirukan suara anak kecil membuat Danis tertawa bahagia karena merasa lucu. “Ya udah ayo kita tidur lagi,” ajak Danis dan Rea mengangguk.
Danis dan Rea menuju kamar mereka. Danis mencium puncak kepala istrinya. Rea yang merasakan itu juga menikmatinya. Ia tahu kini Danis sangat mencintainya. Meski dulu cinta itu sempat terpendam lantaran mereka berdua tidak menyadari perasaan masing-masing. Terlebih lagi saat itu Rea lebih dekat dengan Alpha dari pada Danis. Tapi kini rasa cinta itu bersemi kembali dan mereka dapat menikmati semuanya meskipun tidak ada yang tahu badai apa yang akan mereka hadapi nanti.