Kecewa

1039 Words
"Kamu udah berani melawan, ya?!" "Ma, jangan kasar dengan Calya!" Kedua wanita yang sedari tadi beradu mulut itu pun sontak terdiam mematung, menatap Bagas yang berdiri di depan pintu. Calya pun bernapas lega melihat suaminya datang. Jika tidak, mungkin ia akan terus menjadi bulan-bulanan mertuanya saja. Suara langkah kaki Bagas memecahkan keheningan di ruangan itu, membuat suara gema yang cukup nyaring. Pria itu menatap tajam Ibunya. "Mama itu bisa gak sih hargain Istri Bagas satu kali aja? Bagaimana pun dia itu adalah menantu Mama!" sentak Bagas. Raut terkejut tampak sangat kentara di wajah wanita paruh waktu tersebut. Ini adalah pertama kalinya ia dibentak oleh sang Putra, hanya karena ia membela Istrinya. "Kamu bentak Mama, Gas? Kamu bentak Mama cuma buat belain wanita mandul ini? Ini balasan kamu? Mama yang lahirin kamu, Gas. Mama juga yang ngandung kamu selama sembilan bulan!" Wanita tersebut nampak sangat kecewa dengan perilaku putranya. Niat hati ingin bertemu sang putra tercinta, malah yang ia dapatkan adalah bentakan. Malang. "Mama pulang kalau begitu! Kamu belain aja terus istri kesayangan kamu itu!" Suara pertemuan heals dan lantai keramik rumah Bagas membuat suasana semakin mencekam. Hati seorang Ibu yang disakiti oleh putranya itu, membuatnya menangis dalam diam. Ada secercah rasa bersalah yang timbul di hati Bagas. Niatnya tak bermaksud untuk sampai membentak Ibunya, tetapi menurutnya sang Mama sudah keterlaluan dengan Calya. "Gas, kejar Mama kamu. Kamu gak mau kan durhaka sama Mama kamu?" bisik Calya. Namun, Bagas membalasnya dengan gelengan kepala. "Gak, aku tahu ucapan Mama aku sudah buat hati kamu sakit kan? Mama sekali-kali harus diperingati, Cal. Biar dia gak seenaknya terus." Bohong jika Bagas tak ingin mengejar Ibunya, ia terus menatap tak rela sang Ibu yang akhirnya tak nampak lagi di telan persimpangan. Hanya suara deru mobil yang melaju meninggalkan halaman rumah, membuat Bagas sedikit menyesal. "Makasih ya kamu sudah mau bela aku. Padahal, kalau kamu mau kamu bisa ceraikan aku. Kamu bisa mendapatkan wanita yang lebih baik, yang bisa memberikan kamu keturunan," ucap Calya. Ia menatap dalam sorot teduh Suaminya. "Aku yang harusnya terima kasih sama kamu, Cal. Kamu sudah sangat kuat menemani aku, walaupun kadang omongan Mama aku sangat kasar dan melukai hati kamu." Bagas menangkup kedua pipi Calya. Tanpa aba-aba, ia meraup bibir berisi milik Calya dan menciuminya dengan lembut. Hanya sekadar ciuman biasa, tak ada nafsu di dalamnya. Merasa pasokan udara di paru-parunya sudah menipis, Calya pun melepaskan tautan bibir mereka berdua. Ia memeluk tubuh kukuh dan berotot suaminya. "Gimana kamu sama Dea? Kok kamu ke sini sih, bukannya nikmatin waktu sama Dea aja." "Dea yang nyuruh aku ke sini, dia khawatir sama kamu yang sendirian di rumah. Dan aku juga harus adil kan? Gak mungkin aku terus bersama Dea, sementara kamu di sini sendirian," ujar Bagas. Ia menciumi pucuk kepala Calya sedikit lama. Seulas senyum terbit di bibir Calya yang berwarna merah tua itu. "Aku gak salah pilih kan? Kalau wanita lain mungkin dia tidak akan izinin kamu ke rumahku." "Iya, Dea adalah pilihan yang tepat. Dia bahkan jadi istri yang baik," ucap Bagas. Senyuman memang terukir di bibir Calya, tetapi hati wanita itu merasakan rasa sakit. Sakit ketika suaminya memuji wanita lain, yang tak lain adalah madunya sendiri. "Jangan terlalu dalam mengagumi Dea, aku takut kamu akan pergi. Aku takut, bukannya Dea yang kamu tinggalkan. Tapi, malah aku yang kamu tinggalkan," bisik Calya. Bahkan suaranya saat ini terdengar serak di telinga Bagas. Hal yang ia risaukan sedari malam, kini ia kemukakan jua di hadapan Bagas, Suaminya. Tanpa sadar, sebutir cairan bening menetas dari pelupuk matanya. Namun, dengan cepat Bagas menadahnya dengan telapak tangannya. "Jangan nangis, air mata kamu terlalu berharga." "Janji dulu, Gas. Kamu tidak akan pernah mencintai Dea kan? Bukannya egois, aku hanya ingin mempertahankan milikku." Kedua tangan Calya terulur, menangkup kedua pipi Bagas dan memaksa pria itu menatapnya. Mulut memang bisa berdusta, tetapi mata tak bisa membohongi. "Gas, kamu janji kan?" tanya Calya kembali. Kini ia sedikit memaksa. Bagas mengalihkan pandangannya, ia melirik hal lain. "Iya, aku janji." "Tatap mata aku, Bagas! Jangan bohong sama aku, atau sebenarnya kamu sudah jatuh cinta dengan Dea?" Hening. Calya tak mendapatkan jawaban apapun dari suaminya. Ia menghela napas kasar, hatinya terus berusaha membisikkan bahwa Bagas tidak akan pernah mencintai Dea. "Bagas, kamu benar-benar mencintai dia?" tanya Calya kembali, tangisnya sudah siap untuk terjun dari pelupuk matanya. "Ngga, Sayang! Aku nggak bakal cinta sama Dea. Aku cuma cinta sama kamu, always you." Seketika hati Calya merasa lega mendengar pengakuan sang suami. Egois memang, tetapi istri mana yang bisa merelakan suaminya dengan wanita lain. Kecuali wanita dalam FTV. "Kamu udah makan?" Bagas mengalihkan pembicaraan yang menurutnya cukup sensitif. Ucapan Bagas dibalas dengan gelengan kepala oleh Calya. "Makan dulu, yuk. Kamu pasti lapar kan?" ajak Bagas antusias. Segera Calya menggelengkan kepalanya cepat. "Ngga, Gas. Aku mau ke rumah temanku." "Ngapain ke sana? Harusnya kamu itu temanin suami kamu, Calya." Bagas sedikit membentak istrinya tersebut. "Tapi, Gas. Aku udah janji sama teman-teman aku itu, masa udah janji tapi gak datang. Ayolah, kamu kan bisa sama Dea selama aku pergi, tapi ingat jangan sampai menaruh rasa sama dia!" ancam Calya. Wanita itu menaiki tangga rumahnya yang dan memasuki kamarnya dengan Bagas yang berada di lantai dua. Rumah yang cukup mewah dan besar untuk dua penghuni saja. Saat turun, Calya terlihat menentang tas kecil di bahunya. Tanpa berpamitan atau apa, ia langsung melongos keluar dari rumah. Hal itu langsung saja membuat Bagas geleng-geleng kepala. Ia pun menghela napas kasar dan keluar dari rumah. Membiarkan pintu rumah terbuka lebar tanpa ada penghuni di dalamnya. Bukannya sombong, tetapi memang ada satpam yang menjaga rumahnya. Jadi, ia tam perlu mengambil pusing berlebih. "Dia minta saya jangan sampai suka sama Dea, tapi dia sendiri yang buat saya terus bersama Dea sepanjang hari," gumam Bagas, sesaat sebelum memasuki mobilnya. Jika ditanya kecewa, tentu sana Bagas merasa sangat kecewa dengan Calya. Ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Calya, tetapi sang istri terlalu sibuk bersama dengan teman-teman sosialitanya. Bagas pun mmemilih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju rumah istri keduanya. Sebenarnya itu adalah rumah peninggalan orang tua Calya dan Dea, dan Dea pun tak ingin meninggalkan rumah penuh kenangan tersebut. Alhasil, Bagas pun hanya bisa pasrah dengan keputusan istrinya. Dan membiarkan mereka tinggal di sana. *** Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD