1. Lamaran Yang Menggoda

2139 Words
Di sebuah pesta yang diselenggarakan oleh salah satu putra konglomerat di negeri ini. Tak peduli dengan banyak mata yang memperhatikan dirinya dan Rama yang sedang asyik berdansa, Moza menaruh kedua tangannya di pundak Rama. Sementara matanya memberikan tatapan menggoda pada bos jus buah kemasan nomor satu itu, agar semakin terpikat dengannya. Rama yang tampan dengan penampilan sangat maskulin. Garis wajahnya tegas dan badan kekar berbentuk huruf v, dengan lengan berotot di balik jas yang dikenakan, dia terus menekan dan semakin mempererat pelukannya. Hingga keduanya sedikit mengalami kesulitan untuk tetap menggerakkan kakinya untuk berdansa. “Bagaimana kalau begini? Apa kau suka?” tanya Rama dengan suara sangat lembut menggoda. Sementara sorot matanya tajam terus saja menatap Moza dalam-dalam. Moza agak terkejut. Tapi dia berusaha menguasai diri. Dirinya harus terlihat santai dan menikmati kebersamaannya dengan Rama saat ini. “Sangat suka. Tapi, kita jadi sedikit sulit bergerak,” jawab Moza terus menatap Rama dengan sikap manis manja. “Oh, maaf.” Rama segera memperbaiki posisinya. Namun Moza segera menarik Rama untuk lebih dekat lagi dengannya. “Jangan. Tetaplah seperti ini. Kita berdansa pelan-pelan saja, oke.” Rama tersenyum nakal lagi. “Hmm... Kamu nakal juga.” Kemudian keduanya berdansa lagi. Sebenarnya jantung Moza sedang berdebar kencang. Bukan karena dia takut pada Rama yang tampan menawan dengan senyuman di bibir tipis menggoda itu. Tapi ini pengalaman baru bagi Moza. Dia merasa canggung. Untuk pertama kalinya, selama dua puluh lima tahun dia hidup. Menggoda pria lalu mengajaknya berdansa dengan pakaian seminim ini. Andai ibunya tahu, pasti baju ini akan langsung dibakarnya. Namun apa boleh buat. Moza sudah tidak punya pilihan lagi. Terpaksa dia harus menempuh jalan ini. Semuanya akan dia jelaskan nanti. Malam ini, Moza mengenakan mini dress warna merah. Sangat ketat tanpa lengan. Dia sengaja menunjukkan lekuk-lekuk badannya yang indah sehingga terlihat dengan jelas. Kulit putih bersih, rambut panjang hitam lurus sampai ke punggung, ditambah dengan high heels lima belas sentimeter, make up natural, Moza yakin penampilannya kali ini akan berhasil menaklukkan mata Rama Alrash sang playboy nomor wahid di kota ini. “Kamu sangat cantik, Moza. Sangat sulit mengalihkan pandanganku dari wajahmu.” Rama menyisihkan beberapa helai rambut yang mengganggu pandangannya di wajah Moza dengan jemari tangan kanannya pelan. Sementara tangan sebelahnya, masih setia memeluk pinggang gadis itu. Desir-desir darah mengalir panas tak tertahankan mulai merayapi Rama. Namun, pria berjuluk playboy itu, tak ingin gegabah. Dia harus menunggu waktu yang tepat untuk menangkap mangsa ranum tak biasa ini. Ucapan itu membuat Moza merasa sedikit gemetar dan grogi. Namun, sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap bisa tenang menantang meladeni Rama dengan mengimbangi setiap perlakuannya yang menggoda. Moza ingin terkesan meyakinkan. “Terima kasih, Rama. Ucapan inilah yang kutunggu sedari tadi. Aku berharap kau menyukaiku malam ini,” ungkap Moza dengan tersenyum dan terus menatap wajah Rama penuh percaya diri. Dia ingin menunjukkan pada Rama bahwa dirinya memang benar-benar telah terikat dengan ketampanan playboy yang memang sangat tampan itu. Jujur Moza harus mengakui itu. “Oh, benarkah?” Rama seakan tak percaya. Matanya menyipit namun sorot tatapannya penuh selidik menusuk ke dalam mata Moza yang indah. “Kamu sangat misterius, Moza. Bagaimana aku tidak mengenalmu? Padahal, aku mengenal hampir seluruh wanita cantik di kota ini,” ungkapnya membuat jantung Moza berdebar kencang. “Terima kasih, atas pujianmu. Aku memang jarang pergi ke mana-mana, Rama. Aku selalu berada di kota ini. Dari TK sampai kuliah aku tetap di kota ini. Aku jarang bergaul dan bermain dengan teman-temanku. Hari-hariku sejak sekolah di bangku SMA habis kugunakan untuk bekerja mencari tambahan penghasilan. Aku harus membantu Ibuku mencari tambahan penghasilan. Setiap hari sepulang sekolah aku memberikan les pelajaran untuk anak SD dan SMP. Aku juga berjualan baju dan kebutuhan fashion lainnya,” ungkap Moza pura-pura tersipu malu. “Oh ya? Wow, kamu gadis yang luar biasa Moza,” puji Rama setelah mendengar keterangan gadis dalam pelukannya itu. Tapi Rama tetaplah Rama. Keterangan Moza memang tetelah membuatnya terpukau. Tapi hal itu tidak membuatnya mudah percaya begitu saja. Ia ingin mencari kebenaran ke dalam sepasang mata indah yang terus menantangnya itu. Apa kira-kira tujuan mendekatinya malam ini? Moza seperti sengaja ingin terus menawarkan keindahan dirinya untuk dia nikmati malam ini. Moza tersenyum, pura-pura penuh kekecewaan menatap Rama. Padahal dia gugup karena mengira Rama mengetahui dia merasa gemetar. “Sayang sekali, sepertinya kamu tidak mempercayaiku, Rama Alrash.” “Tidak. Bukan begitu, Moza. Aku percaya dengan ucapanmu, sungguh!” ucap Rama memegang dagu Moza dengan tatapan sangat lembut membuat darah Moza berdesir dan ingin rasanya mencium gadis itu untuk menenangkannya. Moza memberanikan diri menaruh kepalanya di d**a Rama sambil berucap manja, “syukurlah kalau begitu.” Namun ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Rama ingin terus menyelidiki gadis itu dengan cara menggodanya. “Tapi, jujur, sebenarnya aku memang tidak terlalu percaya denganmu, Moz.” Moza mengangkat kepalanya menatap Rama. Dan Rama senang melihat gelagat itu. “Kamu tahu, saat ini kamu ada dalam pelukanku. Dengan cara ini aku bisa mengetahui segalanya,” jelas pria dengan usia tiga puluh dua tahun itu dengan senyum penuh percaya diri. “Oh, ya. Apa yang kau ketahui tentangku?” tanya Moza terlihat sedikit terkejut. Dia jadi semakin tidak nyaman di dalam pelukan Rama. Rama malah tertawa dan menoleh ke samping. Itu hanya berapa detik saja, lalu kembali lagi menatap dengan gemas Moza yang terlihat sedikit tidak tenang namun berusaha menyembunyikannya dengan kecurigaannya. Dia taruh kepala Moza kembali di dadanya. “Tidak, tidak. Aku hanya bercanda, Moza. Kenapa kamu sudah ketakutan begitu?” Meski terselip rasa curiga, keinginan kuat Rama untuk bisa menghabiskan malam pada gadis cantik di pelukannya itu tak bisa dibendung. Rama pikir, dia hanya perlu waspada saja. “Syukurlah. Aku pikir kamu sedang mencurigaiku, Rama,” ucap Moza bersungut manja dan memukul pria itu pelan. “Kenapa aku harus mencurigaimu, Moza? Aku pasti akan rugi malam ini. Karena tidak akan bisa terus berdekatan dengan gadis seindah dirimu,” ucap Rama mulai melancarkan rayuan mautnya. Namun Moza sangatlah tahu, jika Rama sebenarnya berbohong. Bagi Moza itu wajar. Rama adalah pria yang cerdas. Pasti dia akan berhati-hati pada setiap wanita yang mendekatinya. Meskipun dia seorang playboy, Rama juga pria kaya dengan jabatan tinggi yaitu CEO Alrash Corp. Dan itu adalah magnet yang sangat kuat bagi wanita untuk mendekatinya. Sebagai playboy sejati yang telah lama malang melintang bersama dengan berbagai tipe wanita, Rama tahu, meski bukan remaja tapi Moza adalah gadis yang masih polos. Seorang pria adalah makhluk asing bagi gadis dalam dekapannya sekarang ini. Walau pun dia telah berusaha menyembunyikannya, Rama bisa merasakan kecanggungan Moza saat merasakan pelukan dan belaiannya. Dia tahu Moza tidak benar-benar menginginkannya. Namun bukan Rama jika tidak tertantang untuk bisa menaklukkannya. Beda dengan Rama yang terus bersabar untuk mendapatkan Moza. Beda pula dengan Moza yang merasa cemas karena usahanya masih belum menemukan tanda-tanda ada kemajuan. “Ya, Tuhan.... Apa Rama sebenarnya tidak tertarik padaku? Kapan dia mengajakku pergi dari sini? Rasanya kakiku sudah pegal dan sakit berdansa lama-lama begini,” ucap Moza dalam hati. “Tolong... Tolonglah, tutun hatinya supaya lekas mengajakku ke kamar hotel. Atau entah pergi ke mana saja aku rela,” doanya lagi, dari dalam hati. Tentu saja Moza mulai gelisah. Berharap Rama segera mengajaknya pergi dari pesta ini. Bila melihat dari film-film atau n****+ yang dibacanya, para playboy tidak akan cukup hanya diajak berdansa seperti ini. Mereka pasti menginginkan sesuatu yang lebih untuk menghangatkan malamnya. Kemudian dia mulai melancarkan aksinya. Moza segera mengambil inisiatif supaya Rama segera mengajaknya keluar dari pesta. Dia tidak bisa menunggu lama. Karena kalau pulangnya akan kemalaman, ibu dan Namira akan mencurigainya. “Moza, kamu kenapa?” tanya Rama yang melihat Moza pura-pura memegangi keningnya. “Entahlah... Kepalaku terasa pusing,” keluh Moza menaruh pada d**a bidang Rama dengan manja. Rama memegang kepala Moza dengan kedua tangannya. “Kamu pasti kecapekan. Bagaimana kalau kita keluar dari sini saja?” Moza mengangguk. “Entahlah. Mungkin begitu.” Dalam hati Moza bersyukur sekali. Karena usahanya telah berhasil. “Kamu bisa berjalan tidak? Kalau tidak, aku akan menggendongmu,” tanya Rama penuh perlindungan dan perhatian bikin Moza meleleh. Andai dia tidak tahu kalau Rama adalah buaya darat dan Moza juga sudah punya kekasih, pasti dia akan jatuh cinta padanya. “Bisa... Tapi tolong tetap bantu aku. “ Moza mencoba berdiri tegak. Namun dia pura-pura terlihat lemah “Tidak, tidak. Aku akan gendong kamu saja.” Rama dengan sigap sudah akan menggendong Moza. “Jangan!” Tangan Moza berusaha menahan Rama. “Aku malu,” rengeknya manja. “Hmm... Oke. Kalau begitu aku akan memapah kamu saja. Ayo!” Moza mengangguk. Lalu Rama memegangi pundak Moza dan mengajaknya menyingkir dari keramaian pesta. “Ini pestaku. Aku sudah menyewa kamar di sini. Untuk sementara kamu istirahat dulu saja di sana,” jelas Rama ketika mereka sudah berada di depan pintu lift. “Bagaimana, kamu mau, ‘kan?” tanya Rama memperhatikan Moza serius. Moza pura-pura mengangguk lemah. “Baiklah. Aku akan istirahat di kamar kamu saja.” Lalu Rama memencet tombol lift yang menuju kamarnya. *** Sampai di dalam kamar Rama, mata Moza berkerjap-kerjap melihat kemewahan presidential suite room. Ruangannya begitu luas seperti sebuah rumah ada kamar, ruang duduk, ruang makan, dapur dengan semua fasilitas serba premium. Moza tahu itu sekilas ketika dituntun Rama untuk duduk di tepi ranjangnya yang besar dan sangat indah dan nyaman. Dari situ, Moza bisa melihat pemandangan malam kota ini dengan jelas. “Sebentar. Dudulah di sini dulu. Aku akan mengambilkan minum.” Rama memegang sebelah pundak Moza dengan lembut. “Apa kamu masih pusing? Kalau begitu berbaringlah saja. Akan ku ambilkan minum hangat untukmu.” Moza menggelengkan kepala pelan. “Tidak. Aku duduk dulu saja.” “Baiklah. Tunggulah sebentar.” Rama kemudian bergegas ke dapur. Di sana memang telah tersedia kopi dan teh yang dibuat sendiri. Sebenarnya Rama bisa meminta bantuan layanan kamar yang siap sedia dua puluh empat jam. Namun dia tidak mau terganggu kebersamaanya dengan Moza. Dengan membuatkan minum sendiri untuknya tentu juga jadi salah satu cara membuat hati gadis itu meleleh makin terpesona dengannya. Tak lama kemudian Rama datang dengan secangkir teh hangat. “Cobalah kamu minum teh ini. Mungkin bisa lekas lebih baik.” Rama mengulurkan secangkir tehnya. Kemudian dia duduk di samping Moza. “Terima kasih.” Moza kemudian bangun dan meminumnya. Diam-diam sedang berpikir keras, bagaimana harus memulai pembicaraan ini. Sebelum Rama lebih dulu melancarkan aksi untuk merayunya diajak naik ke atas ranjang. Jantungnya kembali berdebar keras. Moza takut sekali gagal. Tapi jika tidak dicoba, tentu tak akan tahu hasilnya. Ini adalah pertaruhan terakhirnya. Jika gagal dia tidak tahu harus bagaimana lagi. “Istirahatlah sekarang. Atau perlu aku panggilkan dokter?” Rama menatapnya dengan sedikit cemas. “Tidak perlu. Sudah agak mendingan sekarang. Sebentar lagi pasti akan sembuh.” Tolak Moza sembari meletakkan cangkirnya di meja lampu di dekat ranjang. Kemudian dengan tenang dia bersimpuh di lantai. Matanya menatap Rama dengan penuh harap. Kemudian dia menunduk. Rama sangat terkejut dan bingung. “Hei... Apa yang kamu lakukan, Moza?” “Menikahlah denganku, Rama. Aku jamin aku masih perawan. Gadis baik-baik dari keluarga baik-baik. Mandiri, punya usaha sendiri tidak akan mengincar uangmu. Aku juga pekerja keras, tidak manja. Setelah menikah, kamu boleh berbuat sesuka hatimu. Silakan tetap menjadi buaya, playboy atau apa nama lainnya, aku tidak masalah Rama. Aku janji tidak akan meminta nafkah lahir batin padamu jika kamu tak menginginkannya,” ucap Moza dengan cepat dan padat. Wajahnya memelas memohon pada pria yang duduk di tepi ranjang itu. Rama menyipitkan kedua matanya dan menatap Moza dengan tersenyum sinis. Walaupun dalam hati sebenarnya dia merasa geli melihat tingkah gadis itu. Karena baru kali ini ada gadis bertingkah aneh padanya. “Apa kamu sedang melamarku?” “Benar. Sebenarnya aku tidak tahu apa namanya ini. Karena aku seorang wanita pasti terlihat aneh bagimu. Melamar, mengajak menikah atau apa namanya. Tapi itulah maksudku. Zaman sudah modern, bukan? Bukan suatu yang aneh jika seorang wanita melamar pria,” jelas Moza. Rama tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. “Memang benar, Moza. Bagiku hal ini sudah wajar.” Rama menjatuhkan diri bersimpuh di lantai juga. Kemudian tangannya menyentuh wajah Moza yang halus dan lembut itu dan menatap gadis itu dalam-dalam. “Tidak bisa, Moza. Karena kamu melamar seorang playboy,” tegas Rama. “Pria sepertiku tidak bisa diikat dengan tawaran selonggar apa pun.” “Terimalah, Rama. Kumohon... Kumohon... Bukankah sudah kukatakan aku tidak akan mengikatmu,” jelas Moza terus memelas. Rama membuang muka ke samping menyeringai kesal yang khas setelah sekian lama menatap Moza. “Kecuali kamu bersedia berjanji padaku untuk tidak menyentuh Namira adikku dan meninggalkan dia selamanya,” kata Moza dengan mengangkat kepalanya lagi dan sorot mata dingin. Rama terkejut dan menoleh pada Moza lagi. Rama mengerutkan dahinya, mengingat orang yang baru disebut namanya itu. “Namira?” “Ya, Namira. Dia Adikku, Rama,” jawab Moza dengan tegas dan dingin. Rama terdiam dan mengerutkan dahinya memperhatikan Moza dan juga mengingat wajah gadis yang bernama Namira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD