“Ya, Tuhan... Tolonglah, hamba. Tolonglah hamba.... Tolonglah hamba.... ” doa Moza dalam hati dengan penuh ketakutan ketika dia mendengar langkah kaki Rama datang mendekatinya lagi. Moza pura-pura tertidur. Meskipun sedang terpejam, samar-samar dia melihat pria itu sedang memperhatikan tubuhnya. Dirasakannya jemari Rama bermain di wajahnya. Mengusap kedua pipinya dengan lembut. Menyibakkan rambut yang menutupi keningnya. Sekuat tenaga Moza menahan dirinya untuk tidak bergerak agar tidak ketahuan. Moza harus berusaha terlihat lelap sesempurna mungkin. Dia juga berdoa semoga Rama tidak menciumnya. Kalau Rama sampai melakukan itu, bisa dipastikan kebohongannya akan terbongkar. Dan dia akan segera melompat menyelamatkan diri.
Tadi, saat Rama mulai mendekati wajahnya, tiba-tiba teman bisnisnya telepon. Rama lalu berbicara menjauh dengan duduk di sofa. Kesempatan itu Moza gunakan untuk cepat-cepat tidur dan menarik selimutnya. Kini setelah hampir satu jam, pria itu kembali lagi. Moza hanya bisa berdoa semoga dia nekat membangunkannya. Berharap Rama masih punya hati tidak merayunya lagi.
“Memang tak mudah mempercayai pria dengan reputasi buruk sepertiku. Andai kamu tahu, aku bukanlah pria pembohong. Aku pria yang tidak suka jika diragukan. Dalam menjalin hubungan seharusnya dua orang kekasih harus saling mempercayai dan menjaga kepercayaan satu sama lain. Dalam menjalin hubungan seharusnya demi membuktikan cinta dan kepercayaan pada kekasihmu, seharusnya kau serahkan yang dia minta. Apapun itu. Bukan malah meragukannya. Seperti aku telah memberikan banyak padanya. Semuanya. Seluruh hidupku,” ucap Rama bernada penuh kekecewaan sambil menaruh kepalanya menunduk di tepi ranjang.
“Enak saja. Tidak bisa begitu. Dalam hubungan itu seharusnya menghormati dan menghargai prinsip pasangannya. Bukan memaksanya. Hmm... Pria ini sepertinya suka memaksakan kehendaknya. Karena tingkahnya yang buruk itu, sepertinya dia tinggalkan kekasihnya,” sahut Moza dari dalam hatinya. “Ya, aku yakin pasti begitu.”
Tak berapa lama kemudian Rama meninggalkannya. Ia dengar dari suara langkahnya mulai menjauh. Moza membuka matanya dan melihat Rama masuk ke kamar mandi. Untuk beberapa saat hatinya merasa sangat lega.
***
Selama Rama di dalam kamar mandi Moza tetap tidak bisa tidur juga. Dia tetap terjaga untuk berjaga-jaga. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Rama keluar dengan hanya memakai handuk saja untuk menutupi bagaian bawah badannya. Lalu berjalan ke ranjang lagi. Moza segera memejamkan mata.
“Aduh, ngapain dia kemari dengan masih hanya memakai handuk saja begitu? Semoga dia tidak akan langsung memelukku nanti,” doa Moza dalam hati.
Rama sudah dekat. Dia berjalan ke sisi lain ranjang berukuran jumbo super mewah itu. Setelah menyingkap selimut yang sebagian juga dipakai Moza lalu dia melepaskan handuknya melemparnya ke ujung ranjang. Dengan hanya memakai celana pendek Rama langsung naik ke ranjang. Menarik selimut lalu merebahkan diri.
Sementara itu, dalam hati Moza sedang dilanda geram teramat sangat. “Ya, Tuhan... Bagaimana ada manusia tidur dengan tidak sopan begitu. Tolonglah selamatkan hamba.”
Moza semakin tegang, karena Rama memiringkan tubuh menghadap ke arah Moza. Namun tak lama kemudian dia mendengar suara napas Rama sangat pelan dan teratur. Moza sedikit lebih tenang. Dia yakin Rama sudah tak berhasrat menggodanya. Pria itu mungkin sudah lelah dan memejamkan mata.
Hampir lima belas menit berlalu, Moza yakin Rama sudah tertidur. Perlahan dia merubah posisi tubuhnya jadi terlentang. Badannya pegal sekali sejak tadi tidur dalam posisi miring.
“Huff... Nyaman sekali,” gumamnya.
Moza melirik ke arah Rama. Sepertinya dia benar-benar telah tertidur lelap. Mata Moza tertuju pada bagian atas badannya tidak tertutup oleh selimut. Lengannya terlihat berotot menutupi dadanya yang bidang terlihat bergerak secara teratur seiring dengan pernapasannya.
“Apa tidak merasa kedinginan tidur tidak berpakaian begitu?”
“Bukk.” Sebelah tangan Rama tiba-tiba memeluk Moza.
“Aduh, bagaimana ini?” keluh Moza tersentak dan bingung.
Baru Moza akan memindahkan tangan Rama, pria itu justru menggeser tubuhnya lebih mendekatinya dan makin mempererat pelukannya. Tambah lagi sebelah kakinya juga. “Ellea, dingin sekali, El. Ayo, peluklah aku. Hangatkan aku malam ini, El.”
“Ihh, menjijikkan sekali! Bahkan saat mengigau pun otaknya tetap ngeres begitu,” ucap Moza kesal karena masih dalam pelukan Rama. “Apa di otaknya itu hanya ada wanita dan wanita dengan segala kehangatannya? Orang begini kok bisa memimpin Alrash Corp. Makanya posisimu sekarang terancam. Nggak pernah becus kerja. Hanya menghabiskan duit buat kencan dengan wanita melulu,” gumam Moza lagi. “Ya, Tuhan.... Tolong selamatkan hamba,” doanya kemudian.
Lalu Moza berusaha memindahkan tangan Rama dengan sangat hati-hati. Pelan-pelan dia mengangkatnya agar Rama tidak bangun. Karena jika bangun pasti akan lebih bahaya dari dia memeluk dirinya sekarang, pikir Moza.
Setelah berhasil memindah tangan Rama, Moza pun bangun. Dengan sedikit kesulitan dia memindahkan kaki Rama yang melilit kedua kakinya. Setelah berhasil dia pun turun dari ranjang. Melangkah dengan hati-hati tanpa alas kaki menuju sofa di ruang berbeda dekat pintu masuk. Dia kembali merasa lega, horor Rama akhirnya berakhir juga malam ini. Tanpa pikir panjang lagi, Moza pun merebahkan diri di sofa itu.
“Nami, jika besok mungkin Ibu dan kamu akan marah dan kecewa padaku, tapi semoga suatu hari kamu tahu betapa berat pengorbanan dan perjuangan yang telah Kakak tempuh demi menyelamatkan masa depanmu,” gumam Moza.
“Ayah, aku sudah berusaha melaksanakan wasiatmu untuk selalu menjaga Nami. Semoga kau selalu tenang di alam sana,” gumamnya lagi lalu meraih satu bantal sofa di belakang punggungnya untuk menutupi kakinya yang merasa kedinginan.
***
Alangkah terkejutnya Moza, ketika pagi-pagi dia bangun mendapati Rama sedang tersenyum menatapnya sambil menyesap kopi di cangkir.
“Rama!” Sebut Moza segera bangun. Namun dia kembali terkejut ketika menyadari dirinya telah berada di atas ranjang bersama Rama lagi. “Ba---- Bagaimana aku bisa kembali ke ranjang lagi? Apa kau telah menggendongku kemari?” tanya Moza.
“Memang semalam kamu di mana? Bukankah semalam kamu tidur di sini.”
Dengan cepat menunduk memeriksa barisan kancing baju piyama yang dia pakai. Dia merasa sangat lega. Deretan kancingnya tak satu pun yang terlepas.
“Kenapa? Apa kamu pikir semalam aku tega melakukan hal yang tidak baik padamu?” tanya Rama kesal. “Aku memang bukan orang baik. Tapi, aku tidak akan mengambil yang tidak diberikan padaku dengan tulus,” jelas Rama. Lalu beringsut turun dari ranjang meninggalkan Moza.
Moza tak menggubris ucapan itu. Dia malah mempertanyakan hal lain yang menurutnya lebih penting. “Jadi semalam kita tidur satu ranjang?”
“Menurutmu bagaimana? Aku ini tuan rumah di kamar hotel ini. Masak malah tidur di lantai.” Rama menoleh. Dia sesap lagi kopinya sambil memperhatikan Moza.
“Apa?? Jadi semalam kita tidur bersama?” tanya Moza dengan mata melebar tak percaya. “Untuk apa kamu pindah aku segala ke ranjang? Kamu tahu, mengapa aku pindah ke sofa itu? Karena saat tidur pun kamu sangat berbahaya. Kau sangat agresif,” protes Moza kesal.
“Oh ya, aku tidak percaya. Apa tidak sebaliknya?” Rama bertanya dengan tersenyum sinis.
“Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak begitu,” sangkal Moza.
“Kau perlu bukti? Semalam aku sengaja memasang kamera untuk berjaga-jaga. Mengingat reputasiku sangat buruk di matamu. Aku tidak mau kau tuduh yang tidak-tidak.” Rama lalu membuka ponselnya kemudian dia berikan pada Moza.
“Tidak! Ini tidak mungkin,” ucap Moza setelah beberapa saat mengamati rekaman video itu. Rasanya dia tidak bisa mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Dalam video itu Moza menyaksikan dirinya tidur dalam posisi yang berubah-ubah. Memeluk Rama. Menumpangkan kepalanya di d**a Rama. Kadang tengkurap, kadang miring. Seolah Rama adalah guling yang sangat nyaman. Beberapa waktu kemudian dia posisinya berubah dengan kaki berada di perut Rama. Sementara kepala Moza berada di ranjang. Moza jadi risih dan malu sendiri. “Mengapa tidurku jadi begini? Aku tidak pernah tidur seperti ini. Pasti ada yang salah semalam.”
“Oh, ya. Tapi kamu lihat sendiri ‘kan, kenyataannya tidak begitu.” Rama menyeringai kesal karena Moza masih mencoba membela diri.
“Ya------ mungkin semalam telah terjadi sesuatu. Misalnya aku mengigau atau mungkin ada yang mengganggu tidurku.” Moza terus berusaha membela diri.
Rama menyeringai sambil menggelengkan kepala. “Kau memang selalu punya alasan untuk membela diri.”
“Bukan begitu. Kalau tidurku sangat buruk, pasti Namira sudah protes sejak lama. Nyatanya dia nggak pernah protes atau mengeluh apa pun,” bela Moza lagi.
“Ya, ya, ya.... Aku menyerah. Orang baik sepertimu memang tidak punya cela,” ucap Rama seraya mengangkat kedua tangannya.
“Apa? Hei, kamu jangan salah paham begitu.”
Bel pintu berbunyi, Rama yang telah meninggalkan Moza di ranjang tanpa sepatah kata lagi. Dia berjalan ke ruang duduk dan membuka pintu. Pak Danu, yang datang kepala asisten rumah tangga sekaligus asisten pribadinya yang paling dia percaya.
Setelah Rama pergi, Moza pun turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi.
***
Cukup lama Moza di kamar mandi untuk membersihkan diri. Mungkin lebih dari satu jam lamanya dia di sana. Tapi, Rama dan pak Danu masih belum selesai mengobrol. Moza lama-lama jadi penasaran juga. Karena pembicaraan itu tidak terdengar. Moza curiga, sepertinya memang sengaja agar tidak terdengar olehnya. Dia berusaha mengintip dari balik dinding partisi yang memisahkan ruang ranjang dan ruang sofa juga area makan.
“Memangnya apa yang dirahasiakan denganku?” tanya Moza bingung. Moza yang masih memakai jubah mandi dan menutupi rambutnya yang basah dengan handuk, mengendap-endap mendekat di balik partisi paling ujung. “Hah, tidak! Jangan-jangan mereka punya rencana jahat terhadapku,” bisiknya ketakutan. “Ya, mungkin saja begitu,” ucapnya lagi. “Ya, Tuhan, selamat hamba. Tolong selamatkanlah hamba jika mereka ingin berbuat jahat padaku,” doa Moza kemudian sambil menengadahkan tangan dan wajah mendongak ke atas mondar-mandir di sekitar tempatnya berdiri.
“Brukk.” Moza dan Rama bertabrakan hingga membuat Moza akan terjatuh.
“Aahh, tidak... “ pekik Moza terkejut.
Untung, tangan Rama dengan sigap segera menangkap tangan dan pinggangnya. Namun bahu dan kepala Moza masih menjuntai ke belakang. Hingga membuat Rama membungkuk di atas tubuh Moza. Keduanya untuk beberapa saat bertatapan.
“Kenapa kamu berdoa memohon keselamatan, Moza? Siapa yang ingin berbuat jahat padamu?” tanya Rama.
Moza tidak menjawab. Dia berusaha berdiri dengan tegap kembali. Rama segera menariknya lebih mendekat lagi.
“Lepaskan, aku. Aku harus segera pulang,” ucap Moza kemudian berbalik ingin berganti pakaian. Ia ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu. Takut Rama benar-benar sedang merencanakan sebuah kejahatan besar terhadap dirinya seperti yang dia curigai tadi.
Namun Rama dengan cepat mengejarnya dan mencengkram salah satu lengan Moza. Moza terkejut dan langsung berusaha melepaskan cengkraman itu. “Lepaskan, Rama! Kenapa kau cengkram tanganku seperti ini?”
“Kamu tidak boleh pergi dari sini.” Tegas Rama terlihat emosi dengan sorot mata tajam.
Moza mengerutkan dahi dengan raut marah. “Kenapa tidak bisa? Kamu tidak boleh melarangku, Rama. Dengar, Ibuku pasti mencariku sekarang. Aku ini anak orang. Bukan anak hantu.” Moza berpura-pura seolah dia tak mengetahui apapun. “Kita akan membicarakan kesepakatan kita selanjutnya lain hari saja. Aku akan menghubungimu lagi saat waktunya sudah tepat,” tutur Moza dengan lancar. Ia merasa lega karena bisa menemukan alasan yang tepat. Moza berharap Rama tak menaruh rasa curiga jika dia sedang mencurigainya.
Tapi Rama malah menarik Moza ke dalam pelukannya.
“Kamu yang harus dengarkan aku, Moza. Mulai saat ini kamu tidak bisa pergi sesuka hatimu tanpa seizinku,” tegas Rama dengan bibir menipis, suara geram dan sorot mata tajam.
“Memang kamu siapa? Kamu tidak bisa melarangku Rama. Aku belum menjadi Istrimu.”
“Sekarang kamu tawananku, Moz.”
Moza terkejut dengan membelalakkan kedua matanya. Tapi belum sempat dia bicara, protes pada Rama, pria tampan itu justru melayangkan sebuah ciuman di bibir Moza yang membuat gadis makin terkejut.