Tekad yang Berseberangan

1691 Words
Amaya Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa bertunangan denganmu. Mengenai alasanku, Tante Laksmi lah yang paling tau. Aku pergi untuk mencari kebahagiaanku yang mungkin masih tersisa. Kuharap, kamu pun juga. Melangkahlah untuk kebahagiaan yang baru. Kamu pria yang baik, Mas. Kamu tidak seharusnya bersanding dengan wanita sepertiku. _________ Dengan wajah memerah, Arjun bertanya, “Tante bisa menjelaskan semuanya? Termasuk, alasan Maya meninggalkan saya?” Ia juga menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan pesan Amaya. Saat Arjun mencoba menghubungi tadi, nomor Amaya sudah tidak aktif. Arjun lacak pun, hasilnya nihil. Sepertinya Amaya telah membuang sim cardnya. Arjun ditinggalkan oleh Amaya dengan bukti sebuah pesan yang amat menyakiti hatinya. Baru kali ini Arjun merasakan sakit hati yang benar-benar sampai membuatnya tak bersemangat melanjutkan hidup. Namun, dari lubuk hati Arjun yang terdalam, Arjun masih mencintai Amaya. Selalu. Akan seperti itu. Tidak hanya Arjun, Laksmi yang membaca pesan Amaya juga turut murka. Laksmi menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. Wanita licik itu mencoba menahan diri untuk tidak meledakkan amarahnya saat ini juga karena di sini ada Nana dan Gunawan. Kedua orang tua Arjun turut menanti penjelasan dari mulut Laksmi karena dalam pesan sialán yang Amaya kirimkan pada Arjun, Amaya menyebut nama ‘Laksmi’. ‘Sialán kamu Amaya! Kamu melimpahkan semuanya padaku! Awas kamu Amaya! Tidak akan aku biarkan kamu bahagia!’ teriak Laksmi yang hanya mampu tersuarakan melalui batin. “M—mari kita duduk bersama, Bu Nana, Pak Gunawan, dan Nak Arjun. Saya bisa menjelaskan semuanya.” Melihat istrinya tertimpa masalah akibat kaburnya Amaya, Setyono yang diam-diam sebenarnya terlibat bahkan membantu Amaya kabur, merasa bersalah pada istrinya yang jahat itu. Setyono pun membantu Laksmi menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum itu, Setyono menggenggam tangan Laksmi. Mengisyaratkan pada Laksmi agar diam. Setyono memberi penjelasan bahwa Amaya belum siap menjalin hubungan yang serius dengan seorang laki-laki. Apalagi sampai menuju jenjang pernikahan. Mengingat masa lalu Amaya bersama seorang pria, berjalan sangat burùk. Selain itu, Setyono juga meyakinkan bahwa kesalahan bukan terdapat pada diri Arjun. Karena Amaya pernah mengatakan padanya bahwa Arjun pria yang sangat baik dan memperlakukannya dengan baik. Maka dari itu, Amaya merasa Arjun terlalu baik untuknya. Laksmi yang mendengar itu hanya bisa menyunggingkan senyum miring. Wanita itu mengakui kehebatan suaminya dalam berkata-kata. Tidak tahu saja Laksmi, bahwa apa yang Setyono ungkapkan merupakan kebenaran. Kebenaran yang Setyono dengar sendiri keluar dari bibir Amaya sebelum Amaya melarikan diri. “Saya mengerti, Om. Sejak awal, menaklukkan hati Maya memang tidak mudah. Tapi saya selalu berjuang untuk itu. Saya benar-benar tidak menyangka bila akhirnya Maya mengambil keputusan untuk meninggalkan saya.” Dengan ekspresi sedih, Arjun menggeleng. Mulai merasakan pahit yang teramat akibat ditinggalkan wanita yang sangat dicintainya. Dan, diharapkannya di masa depan menjadi ibu dari anak-anaknya. Kini, harapan itu pupus. Amaya pergi meninggalkan pesan yang menyayat hati Arjun.. Setyono yang melihat Arjun sedih, berusaha menghibur dan mencoba melepaskan Amaya dari keinginan besar Arjun. “Jangan sedih, Arjun. Maya pergi untuk mengejar bahagianya. Om harap, kamu berbesar hati bersedia melepaskan Maya. Kejarlah bahagiamu sendiri. Cinta tak harus memiliki bukan?” ‘Tapi bila tidak bersama Maya, saya tidak bisa, Om. Saya akan mencari Maya walau sampai ke ujung dunia!’ tekad Arjun dalam hati. Muak sejak tadi menahan diri, Nana yang sudah tidak sabar untuk pergi dari sini segera menyembur putranya itu dengan sederet kalimat pedas. “Sudahlah, Jun. Kita pergi saja! Di sini kita sudah tidak ada kepentingan apapun. Wanita itu sudah mempermalukan keluarga kita! Mau ditaruh mana muka Mama, saat w************n itu sanggup meninggalkanmu!? Padahal kamu itu terlalu sempurna untuk dia!” Dengan berani Nana juga menghina Amaya yang telah pergi. Tapi putranya mendadak butà dan tulí, tetap membela Amaya. “Ma, jangan berbicara seperti itu..” “Halahh! Mama berbicara fakta, Arjun. Dia memang wanita murahàn ‘kan? Pernah hamil di luar nikah sepulang merantau!?” Memijit dahinya sendiri, Nana pusing karena rencana bahagia putranya gagal total. “Astaga..Tuhan sepertinya sangat menyayangi keluarga kita sampai menjauhkan kita dari wanita burùk itu.” Nana menangkup kedua tangannya di depan. “Terima kasih ya Tuhan..” Ada rasa syukur dibalik kaburnya Amaya, Nana tidak jadi mendapat menantu mantan wanita penghibur. Atau, kepergian Amaya untuk kembali melakoni pekerjaan seperti itu? Entahlah, yang mendominasi pikiran Nana saat ini adalah pikiran burùk! Padahal sebelumnya Nana begitu mendambakan Amaya menjadi menantunya, mengesampingkan bagaimana masa lalu kelam Amaya. Demi kebahagiaan putranya. Tapi kini, kebahagiaan Arjun hancur karena wanita rendahàn seperti Amaya. Tentu saja Nana murka. “Kali ini Mama kamu benar. Ayo kita pergi.” Seketika, Nana tersenyum penuh kemenangan. Sang suami alias Papa Arjun mendukungnya. “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya Pak Gunawan, Bu Nana, Arjun,” ucap Setyono sekali lagi. Kali ini Setyono menangkup kedua tangannya di depan, benar-benar menyesali kegagalan rencana baik berupa pertunangan yang pasti akan dilanjut ke jenjang pernikahan itu. Tapi kebahagiaan Amaya mungkin tidak ada pada Arjun. Meski Arjun pria yang sangat baik dan mencintainya. Nana pergi lebih dulu. Disusul Gunawan yang berdiri dari duduknya. Namun sebelum pergi, Gunawan sempat mengatakan kata-kata tajam menusuk. “Maaf saja tidak akan bisa mengembalikan kehormatan keluarga kami yang sudah diinjak-injak Maya, Pak Setyo. Kami permisi..” Arjun masih betah duduk sambil mengedarkan pandangannya ke ruang tamu sederhana rumah peninggalan kedua orang tua Amaya ini. Beberapa hari yang lalu, Arjun dan Amaya duduk manis di sini. Melihat-lihat referensi kebaya dan kemeja di ponsel Arjun yang sekiranya cocok untuk dikenakan saat pertunangan. Siapa sangka hari ini Amaya pergi meninggalkan Arjun. Meninggalkan pula segala kenangan indah yang pernah mereka lalui, bersama. Arjun tersentak tatkala mendengar seruan mamanya dari luar. “Ayo Arjun! Kamu enggak pantas sedih karena ditinggal pelacùr itu! Kamu harusnya bersyukur! Masih banyak wanita baik-baik yang tentu akan pantas denganmu, karena kamu pun pria baik-baik! Lupakan Maya-Maya itu!” ‘Maaf, Ma. Arjun akan tetap mencari Maya.’ Pria patah hati itu pun berdiri dari posisi duduknya. Berpamitan baik-baik pada Laksmi dan Setyono. “Saya permisi, Om, Tante. Maafkan segala perkataan Mama dan Papa saya..” Serta, menyatakan tekadnya yang di luar perkiraan Laksmi dan Setyono. “..dan, saya berjanji akan mencari Maya sampai ketemu.” “Apa!?” Setyono sangat terkejut dan tidak menyukai hal itu. Berbanding terbalik dengan Laksmi yang begitu bahagia. “Terima kasih, Nak Arjun. Terima kasih banyak.” Laksmi menggenggam kedua tangan Arjun dan mulai menunjukkan aktingnya, mengkhawatirkan Amaya. “Kasihan Maya, dia pasti sedang kesusahan di luar sana. Maya tidak mempunyai sanak saudara selain kami. Tante do’akan, semoga kamu segera menemukan Maya.” Padahal dalam hatinya Laksmi mengata-ngatai Arjun. ‘Arjun-Arjun.. Kamu terlalu bodóh! Cocok sekali bersanding dengan Maya. Sama-sama bodòhnya. Jodoh memang cerminan diri.’ Sementara Setyono mendo’akan yang sebaliknya. ‘Semoga kamu tidak bisa menemukan Maya, Arjun. Maaf, Om ingin Maya bahagia dengan pilihannya. Aku harus mencari cara untuk menghubungi Maya, memberitahukan bahwa Arjun bertekad mencarinya. Arjun dan obsesinya memiliki Maya tidak bisa disepelekan.’ Setyono merasa Arjun tidak beres. Arjun bukan lagi mencintai Amaya. Melainkan, terobsesi pada Amaya. Semakin sulit saja hidup Amaya, Setyono merasa iba pada keponakannya itu. Tapi Setyono yakin, Amaya pasti bisa menjaga dirinya baik-baik. Masa lalu kelam Amaya akan menjadi pelajaran berharga untuknya. Untuk melangkah ke arah yang lebih baik. “Enggak salah, aku pilih Arjun..” gumam Laksmi seraya menatap kepergian mobil Keluarga Arjun. Setyono langsung menegurnya, “Kamu salah, Laksmi. Salah besar! Jangan mengusik kebahagiaan keponakanmu. Dia—” “Apa!? Dia apa!? Kamu tuh ya, Mas, enggak tau yang namanya bisnis! Kita bisa sekolahin Echa di sekolah kejuruan keperawatan kalau rumah ini dijual! Untuk itu, tentu sebelumnya kita harus menempatkan Maya di keluarga Arjun. Sebagai Nyonya Arjun. Dengan begitu, Maya bisa kita bujuk untuk menjual rumah ini atas namaku. Tantenya. Kalau perlu nanti setelah dia jadi istri Arjun, dia bisa membantu sisa biaya sekolah keperawatan Echa. Mikir kamu, Mas!! Biaya sekolah Echa banyak! Kamu mampu memangnya, hah!? Sedangkan, uang kiriman Wisnu selalu habis untuk kebutuhan kita sehari-hari karena toko furnitur kayu kamu enggak seramai dulu dan tempat karaoke aku yang di sini sudah tutup total karena didemo orang-orang. Terus uang kiriman Ali habis buat uang sekolah Echa. Kedua anak laki-laki kita banting tulang buat kita, terus kita cuman diam aja? Maaf Mas, aku enggak bisa!” Segala uneg-uneg Laksmi akhirnya meledak. Membuat Setyono diam, mempersilahkan, bukan menerima semua hal tak benar yang ada di pikiran Laksmi. Karena sesulit apapun kehidupan mereka, tetap tidak dibenarkan bila mereka merecoki hidup keponakan sendiri. Apalagi, mereka juga memiliki seorang anak perempuan. “Tahun depan, Mas. Tahun depan Echa harus masuk sekolah kejuruan keperawatan! Waktu kita enggak banyak, Mas.” Laksmi mengingatkan tenggang waktu yang mereka miliki. Hening beberapa saat, Setyono yang masih berpikir keras untuk mendapatkan uang lebih banyak, tiba-tiba dikejutkan dengan tekad istrinya. “Aku akan berusaha bantu Arjun buat cari Maya. Aku akan pergi ke kota untuk menghidupkan lagi tempat karaokeku di sana. Siapa tahu, masih ada yang mau datang buat bersenang-senang. Aku bakal rekrut anak-anak gadis sini yang cantik-cantik. Mereka pasti tergiur dengan uang yang aku iming-imingi. Asal mereka mau disentuh-sentuh, uang bakalan mengalir deras dan tempat karaokeku bakalan rame kayak dulu! Aku juga yakin, anak kuráng ajar itu pasti kaburnya enggak jauh.” “Berhenti Laksmi! Aku tidak akan mengizinkan kamu untuk menjalankan bisnis haram itu lagi. Cukup! Kita masih bisa mengharapkan uang dari hasil penjualan toko furniture kayuku.” Sebagai suami, Setyono tentu menghentikan aksi istrinya yang tidak benar itu! Mereka sudah tua, sudah saatnya fokus memperbaiki diri daripada mengejar duniawi. Malaikat pencabut nyawa bisa datang kapan saja. Akan tetapi, Laksmi tak peduli pada nasihat suaminya. Laksmi malah semakin menjadi, mengungkit-ungkit asal mula bisnis furniture kayu suaminya. “Apa? Haram kamu bilang!? Toko furniture kayu kamu itu enggak bakalan ada kalau enggak ada tempat karaoke plus-plusku! Kamu enggak lupa ‘kan kalau dulu aku yang modalin kamu sampai kamu bisa buka toko furniture? Jangan sok deh, Mas! Pokoknya, aku bakal buka lagi tempat karaokeku yang di kota. Aku yakin, bakalan ramai asal bunganya cantik-cantik.” “Langkahmu sudah terlalu jauh, Laksmi. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menghentikanmu..” lirih Setyono dengan raut wajah sedih sekali. “Ya sudah, jangan coba-coba menghentikan aku! Alangkah baiknya, kamu dukung istrimu yang cerdas dan pekerja keras ini. Oke, Suamiku Sayang?” “Ini salah, Laksmi..” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD