Mi memutuskan mengikuti Om Tatak untuk hidup ke kota.
Mi menangis saat berpamitan dengan Ibu dan Adiknya di kampung. Tapi sebagai laki-laki, Mi merasa kalau ini adalah tanggung jawabnya. Karena itu, dia menguatkan hatinya dan bertekad untuk merubah nasibnya, demi mereka berdua.
Saat pertama kali tiba di kota, betapa Mi sangat takjub melihat semua perbedaan yang dia temui. Ini memang era digital dan smartphone, tapi Mi tak pernah mengenyamnya. Dia tak punya HP dan jarang menggunakan internet. Karena itu, dia tak begitu tahu menahu tentang perkembangan kemajuan di kota.
Mi hanya melihat kesana kemari dengan pandangan mata penuh kekaguman saat melihat hal-hal baru yang dia temui dalam perjalanannya kali ini. Hingga akhirnya, Mi dan Om Tatak tiba di rumah milik Om Tatak yang terletak di sebuah perumahan yang terlihat cukup rapi dan mewah di daerah pinggiran kota
Mi memang pernah berjumpa dengan keluarga Om-nya beberapa tahun lalu saat mereka datang ke kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga Mi. Tapi hanya sekilas, karena mereka tak bersedia tinggal di rumah Mi dan memilih untuk menginap di hotel yang ada di kota kecamatan. Jadi terus terang saja, Mi gugup dengan pertemuan ini.
Tak berapa lama kemudian, Om Tatak dan Mi sudah berdiri di depan sebuah pintu rumah yang lumayan megah dan mewah.
“Masuk Mi, ini rumah Om, anggap aja rumah sendiri ya?” kata Om Tatak dengan senyuman ramah.
Betapa kagetnya Mi, dia tak menyangka kalau Om-nya sesukses itu dan berhasil memiliki rumah semegah ini di kota. Mi dengan sedikit takjub dan gugup berjalan ke dalam teras. Mi melepas sandalnya di depan teras dan berjalan tanpa alas kaki ke dalam rumah.
Om Tatak hanya tertawa melihat tingkah keponakannya itu.
“Itu, pakai sandal yang disana!” kata Om Tatak sambil menunjuk sebuah rak sandal yang ada di balik pintu dan terdapat beberapa pasang sandal yang ditata rapi.
Mi lalu mengambil sepasang sandal yang berwarna putih dan membawa tas yang berisi barang-barangnya ke dalam rumah.
“Siapa Pi?” terdengar sebuah suara yang berasal dari lantai dua rumah itu.
Tak lama kemudian, seraut wajah cantik seorang wanita yang hanya mengenakan daster saja muncul dari salah satu pintu kamar yang ada disana. Ketika Mi melihat wanita itu, dia langsung tahu kalau itu adalah tantenya sendiri, istri Om Tatak, Tante Ita.
“Mi?” tanya Tante Ita sedikit keheranan dan berjalan turun ke lantai satu.
“Iya Tante,” jawab Mi lalu dia menyalami dan mencium punggung tangan Tantenya sebagai tanda hormat kepada yang lebih tua.
“Mi mau tinggal disini Pi?” tanya Tante Ita kepada suaminya, setelah melirik sekilas ke arah barang bawaan yang ada di tangan Mi.
“Iya Ma, nanti Papi cerita,” jawab Om Tatak kepada istrinya.
Sedikit raut muka tak senang terlihat di wajah Tante Ita untuk sesaat tapi lalu hilang kembali. Mi tak tahu apa yang terjadi tapi sedikit rasa kuatir muncul karenanya.
“Mi, kamu taruh barang-barang di kamarmu dulu ya. Nanti biar dibantu Mbak Sri,” kata Om Tatak sambil menggandeng tangan Tante Ita dan mereka berdua naik ke lantai dua tanpa menunggu jawaban dari Mi. Mi hanya bisa menundukkan kepala dan berdoa semoga saja usahanya untuk tinggal di kota dan merubah nasib keluarga tak menemui hambatan yang berarti.