Part 13

1771 Words
"Coba aja ni tempat nggak aneh, pasti seru banget." Geya berseru senang, sesekali Geya memainkan air di bathtub itu. Geya seolah membayangkan dirinya tengah berlibur santai dirumah ini dengan suasana Bali yang memikat jiwanya. Geya kemudian menoleh kearah Diah. Geya justru tersenyum kecut ketika mendengar ucapan Geya yang jauh sekali dari perkiraan. Diah dan Geya sama-sama merasakan menelan kekecewaan mereka yang tak bisa berangkat ke Bali. Diah membalas tatapan Geya dengan tatapan sendu milik Diah. "Tapi, ya lo tau kan tempat ini jadi nggak sesuai harapan." Diah kembali menyibukkan diri pada tubuhnya, Diah tengah menggosokan tubuhnya dengan sabun. Diah lalu menoleh kearah Geya yang tak menatapnya dengan tatapan penuh harap. "Kita harus keluar dari sini Ge," lanjut Diah dengab sungguh-sungguh. Bagaimana caranya mereka harus segera pergi dari sini. Mereka semua ingin bebas. Geya mengangguk mantap kearah Diah, membalas tatapan Diah tak kalah sungguh-sungguh. "Iya harus, gue nggak perduli lagi sama Ben yang bakalan dibayar Ben. Gue Geya bersumpah nggak bakalan mau pergi kalau di ajak Ben." Geya sudah bertekad dalan hati, Geya tak akan mau pergi bersama Ben lagi sehabis keluar dari rumah 'angker' ini. Diah hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah Geya itu. Hening menyelimuti, mendadak saja perasaan Diah menjadi tak tenang, gelisah tak mengerti. Diah merasakan merinding sekujur tubuhnya. Diah langsung menyelesaikan tugas bermandinya. "Ge cepat." Diah tampak terburu-buru, Diah langsung hendak pergi dari kamar mandi ini. Hal itu mendorong Geya ikut panik dan langsung ikut membereskan diri. Geya dan Diah dengan terbirit-b***t berlari keluar dari kamar mandi. Mereka langsung keluar, dan menutup pintu kamar mandi itu rapat-rapat. Diah langsung memelankan langkahnya, Diah memberi peringatan pada Geya seraya berkata, "Jangan ribut!" ucap Diah sambil menaruh jari telunjuk di bibir sebagai pertanda agar Geya tidak ribut yang bisa membangunkan Ben dan Aarav, apalagi ketika Geya dan Diah melihat para cowok yang mulai menggeliat tak nyaman disana. "Kalau mereka bangun kan malu." Diah menujuk ke arah di mana Ben dan Aarav masih tertidur dan juga menunjuk keadaan tubuhnya dengan Geya yang hanya menggunakan handuk sebatas d**a saja. Diah menatap Diah. "Gue ada cara untuk ke luar dari sini, maksudnya ide." jelas Diah, sedikit ragu. Mata Geya berbinar cerah, dia menatap Diah tak menyangka. "Apaan?" Geya berbicara dengan cepat. Diah menarik napas. "Nanti aja deh tunggu Ben dan Aarav bangun." Tentu saja Diah akan menjelaskannya apabila semua berkumpul. Mungkin tak lama lagi Aarav dan Ben bangun yang dari tidurnya. Diah menatap Aarav dan Ben sekilas. Diah dan Geya kembali diam, memfokuskan diri pada tubuh masing-masing. Diah dan Geya memang menganti baju bersama tapi tidak menampakkan badan mereka karena tertutup kain. Tidak lama kemudian, Geya dan Diah tubuhnya sudah terpasang di tubuh mereka. "Udah." Diah berseru pelan, ternyata Geya juga sudah siap diikuti oleh Geya yang membelakanginya. Geya dan Diah saling berbalik dan tersenyum senang, berpikir seru juga mereka seperti ini. "Lapar banget ni." Diah menepuk-nepuk perutnya yang berbunyi minta diisi, posisi Diah kini tengah duduk di tepi kasur. Kadang mereka harus mengontrol makanan dan mengurangi asupan agar makanan yang mereka bawa bisa menghemat sampai hari bebas tiba, makanya tiap kali mereka kadang-kadang tidak kenyang atau bahkan cepat sekali lapar. Geya hanya bisa menghela napas, tak tahu harus meresponnya bagaimana.  "Ayo bangunin mereka." ujar Diah ketika Diah menoleh kearah para cowok yang kebo banget. Diah sampai tak percaya, Aarav dan Ben sesusah itukah untuk dibangunkan. Diah menggeleng-gelengkan kepalanya, lucu dengan Aarav dan Ben. Ajakan Diah langsung mendapatkan persetujuan dari Geya. Geya dan Diah menuju mendekati mereka. "Bangun." Diah mengoyangkan tangan Ben, sedangakn Geya mengoyangkan tangan Aarav. Tetap saja tak terpengaruh, mereka semakin nyenyak saja. Geya dan Diah secara bersamaan menghela napas jengah hingga Geya menemukan ide cemerlang. "Siram pakai air aja." Geya berseru semangat kearah Diah. Diah yang berpikir itu bisa dicoba akhirnya menyetujui kemauan Geya. "Yaudha lo ambil di kamar mandi." titah Diah pada Geya. Geya langsung mengangguk mantap, dengan pede langsung pergi ke kamar mandi. Diah hanya menatap Geya yang pergi dalam diam. Akibat dari mimpi itu Diah jadi tidak terlalu berani ke kamar mandi. Tapi apa boleh buat Diah pasti akan pergi juga ke kamar mandi itu, Diah harus mulai kembali mengumpulkan keberanian. Diah tak mau dicap pengecut seperti ini.  Untuk Geya dan yang lain, Diah tidak akan menceritakan mimpinya karena pasti kalau Diah cerita yang ada mereka juga ikut takut, dan ketakutan mereka pasti akan merepotkan. Atmosfer pun menjadi lebih runyam tak terkendali, Diah tak ingin itu terjadi. "Ini." Geya menyerahkan segayung penuh kearah Diah. Diah langsung menyambutnya. "Makasih." ujar Diah pelan dan langsung mendapatkan anggukan pelan dari Geya. "Lo ambil ini air di mana?" tanya Diah. "Di dalam tempat air itu." Geya menjawab dengan santai. Diah menelan ludah susah payah. Pikirannya menjadi merinding ketika menatap air dalam gayung ini. Pikiran Diah random sekali, sampai-sampai Diah berpikir air ini bisa saja berubah warna menjadi merah. Diah menggeleng kepala cepat untuk menghilangkan kilasan pikiran tak masuk akal dalam benaknya. "Ini lo aja yang siram mereka." Tanpa basa-basi, Diah kembali menyerahkan gayung berisi air itu ke Geya. Geya dengan bingung tetap menyambut air itu, Geya perlahan bangkit dari duduknya dan mendekati arah Aarav dan Ben lalu menyiramkan air ke wajah mereka secara pelan-pelan. "Bangun oi, udah pagi." Geya memuncratkan sedikit-sedikit air ke wajah Aarav dan Ben secara bergantian. Aarav dan Ben mendengus kesal, ada saja yang menganggu tidur enakya. Aarav dan Ben menggeliat di tempatnya karena merasa sangat terganggu. Aarav dan Ben membuka kelopak mata berat mereka, menatap Geya dengan sinis kemudian menutup mata kembali. "Apaan sih kalian." Ben mendesis kecil. Geya tak kalah sinis membalas desisan Ben itu, dia memukul lengan Ben juga karena terlanjur kesal, bukanya berterimakasih dibangunkan tapi malah marah-marah. "Apasih Ben sekarang udah jam sebelas." tutur Geya tak santai  Ben bangun dnegan kesal menuju kamar mandi, sedangkan Aarav yang memang sudah bangun langsung membuka mata dan tidak berbicara setelah Ben keluar dari kamar mandi, Aarav yang akan masuk ke dalam lamar mandi. Geya dan Diah hanya bisa berdiam diri di atas sofa sambil memperhatikan Ben dan Aarav. Tidak pernah dibayangkan jika mereka akan tinggal satu kamar bersama. Was-was juga sebenernya karena Geya dan Diah adalah perempuan, jadi sedikit takut juga kalau ini bakal berjalan beberapa lama. "Di, gue bakalan mati kan pasti." Geya berujar pada Diah. Geya menatap kosong kearah dinding dengan pandangan menerawang entah kemana. Yang terpenting sekarang, otak Geya penuh dan rasanya sangat tidak nyaman. "Apasih jangan mikir yang kayak gitu." sentak Diah tak terima, ia menatap Geya dengan tatapan tak sukanya. Geya menatap Diah nanar, Geya mulai bercerita. "Sebelum ke sini gue nggak pamitan sama orang tua gue, lo taukan kalau gue ngekost. Lo tau gue nyesal, maunya gue minta maaf dulu." Geya menunduk dalam. Geya sebenernya ingin sekali sebelum berangkat kesini, Geya meminta izin pada orangtuanya. Sayangnya orangtua Geya jauh tinggal, tak bersama Geya. Geya anak merantau. Diah masih menatap Geya tak suka, dia bingung sekali dengan sikat Geya yang tiba-tiba tidak jelas seperti ini. "Lo kenapa si Ge, udah lah kita semua pasti bisa keluar dari sini dalam keadaan yang sehat." Diah tetap berusaha berpikir positif, meskipun berbagai pikiran negatif berkecamuk dalam benaknya.  "Kenapa lo yakin banget?" Geya bertanya pelan. Dia masih tak percaya, Diah masih berpikir seperti ini sedangkan di depan mata sendiri, sudah banyak kejadian yang terlihat. Diah memalingkan wajah kearah lain, menjawab tanpa melihat Geya. Diah menjawab setengah menunduk. "Ya harus yakin kalau nggak gue bakalan stress." cicit Diah menyakitkan. Geya justru membayangkan hal lain, ia menatap kearah dinding. "Pacar gue gimana ya di sana, gue kangen ni. Biasanya kalau hari gini kami pasti jalan-jalan." Geya bernostalgia sejenak. Sumpah demi apapun, Geya merindukan belahan jiwanya. Diah terkekeh kecil, dia menatap Diah. "Dalam keadaan susah begini lo masih pikiran pacar lo? Palingan dia udah punya cewek baru." Setelahnya Diah menghamburkan tawa puas dengan ucapannya sendiri dan ketika melihat wajah Geya, Diah semakin puas karena Geya kesal dengannya. Geya menatap sinis Diah. "Tapi ada benernya juga sih apa yang lo bilang." Geya juga sadar bahwa cowok yang selama ini berpacaran samanya banyak beberapa yang selingkuh. Jadi, Geya tak heran kalau pacarnya saat ini pasti sudah memiliki wanita lain, ditambah lagi Geya yang tak lagi bersama pacarnya itu. "Jadi kita makan dulu." Tanpa permisi, Aarav bergabung dengan Diah dan Geya yang kini tengah duduk diatas karpet. Aarav juga ikut duduk didepan Geya, disamping Diah. Dengan kompak, Diah dan Geya menjawab. "Oke."  Diah mengambil tasnya dan mengeluarkan beberapa makanan, ia mengambil empat roti isi keju dan beberapa air putih. "Kok cuman segitu, ambil satu lagi dong." Ben menatap kesal dengan roti yang terlalu sedikit baginya. Tentu saja perut Ben tak kenyang kalau cara makan terus begini. "Jangan gitu oi, harus berhemat." Aarav memberikan peringatan tegas, tak main-main. Tatapannya menghunus kedalam bola mata Ben yang juga tak terima dengan ucapan Aarav barusan. "Ya sekali-kali doang, gue pengen ni." Ben hendak mengambil banyak makanan, mereka nyaris ingin berkelahi. Diah yang menyaksikan muak seketika, Ben dan Aarav tak bisa akur apa sesekali saja? "Udah-udah." Diah menghentikan mereka yang sudah bersiap untuk berkelahi. Dan sudah memberi ancang-ancang untuk melampirkan kepalan tangan pada wajah Aarav dan Ben.  Menghela napas panjang, Diah memberikan selembar roti yang lebih kecil kepada Ben. "Gitu dong. Makasih." Ben berkata dengan santai, namun masih ditatap sinis oleh Aarav. Berbeda dengan Geya yang asik dengan dunianya sendiri. Nereka makan dalam diam, hingga Diah memecahkan keheningan. "Dulu aja bisa makan nasi, lihat ini gue bahkan nggak terbiasa makan roti." Diah berkata santai. "Makan tu keripik kentang." Geya berujar. Geya menujuk makanan ringan di dalam tas. Diah hanya diam. "Kita harus bisa keluar dari tempat ini segera, lo semua tau kan kita bisa mati karena makanan juga pasti bakalan habis." Diah mulai menjelaskan, ketika Diah juga sudah memperhitungkan makanan mereka saat ini dan untuk kedepannya bagaimana. "Iya harus." Ben mengangguk mantap. Beberapa menit kemudian mereka pun selesai dengan makanan mereka masing-masing. "Ayo kita ke luar liat isi kulkas." ajak Aarav santai. "Maksud lo?" Geya langsung menimpali. Ia tak salah dengar kan? dikira Aarav itu semua candaan apa. Segampang itu Aarav mengutarakannya. "Mungkin ada makanan bekas punya orang dulu yang ke sini." jelas Aarav menatap sahabatnya secara bergantian. "Tapi kalau yang punya setan gimana?" Ben merinding seketika. Takut kalau isi kulkas itu jauh dari ekspetasi, justru yang ada darah-darah peninggalan orang dulu disini yang mati. "Setan itu makan lo, bukan makanan manusia." Aarav langsung melemparkan sarkahan kepada Ben. Ben menatap kesal ke arah Aarav, tanpa membalas ucapan Aarav. Enak saja mengatakannya seperti itu. "Udah makan kan lo semua." Aarav bertanya. Tak lama kemudian, Geya, Diah dan Ben mengangguk saja. Aarav mengangguk mengerti kemudian pria itu mulai bangkit dari duduknya seraya berkata, "Ayo keluar liat isi kulkas!" Tanpa pikir panjang, Aarav langsung keluar begitu saja dari ruangan aman mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD