1. Perdebatan

1248 Words
"Oh my God! Apa dosa yang aku lakukan di kehidupanku sebelumnya hingga memiliki bos sepertinya? Apa mungkin kami musuh bebuyutan?" gerutu Aileen seraya berdiri di depan pintu kaca ruangan CEO, menahan napas sejenak. Jantungnya berdetak cepat, amarahnya membara, dan matanya memandang tajam ke arah pria bernama Aaron Smith yang sedang duduk tenang di balik mejanya itu, tidak tahu apa yang akan menimpanya sebentar lagi. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya dengan kasar, merapikan blazer, dan langkahnya mantap menuju pintu. Tanpa mengetuk, dia mendorong pintu dan melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Aaron, yang tengah sibuk memeriksa berkas-berkas di tangannya, mendongak sekilas. Kedatangan Aileen yang mendadak membuat alisnya terangkat, namun dia tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Dengan tenang, ia meletakkan berkas yang dipegangnya, dan menatap Aileen dengan pandangan dingin. "Ada yang bisa aku bantu, Nona Moretz?" tanyanya dengan nada tenang, nyaris mengejek. Karena sebenarnya ia sudah bisa menduga apa yang membuat gadis itu terlihat marah. Aileen mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak mengeluarkan kata-kata yang kasar. "Ya, jelas ada yang bisa kau lakukan. Kau bisa mulai dengan tidak mengganti desain lanskap ku seenaknya, Tuan Smith." Aaron menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresi wajahnya tak tergoyahkan. "Desain kau kurang efektif. Letak pohon besar itu akan mengganggu pandangan utama dari jalan masuk." Aileen menggelengkan kepala, tak percaya dengan arogansi Aaron. "Mengganggu pandangan? Tuan Smith, aku sudah mempertimbangkan setiap aspek dalam desain lanskap itu. Pohon itu justru menjadi titik fokus, memberikan karakter yang kuat pada keseluruhan konsep. Kau bahkan tidak mengonfirmasi atau berdiskusi lebih dulu denganku, dan mengganti letak pohon itu seenaknya." "Aku tidak perlu mengonfirmasi hal-hal yang, menurutku, bisa aku putuskan sendiri," balas Aaron sambil menatap tajam, sorot matanya penuh keyakinan. "Apa kau lupa, siapa pemilik perusahaan ini?" "Jadi, karena kau pemilik perusahaan jadi kau bisa bertindak seenaknya? Tanpa menghargai kerja keras orang lain?" Aileen balas menatapnya, nada suaranya meninggi. "Aku bekerja di perusahaan ini bukan hanya sebagai pelengkap, Tuan Smith. Aku ada di tim ini karena kemampuanku, dan kau tahu betul kemampuanku seperti apa, maka dari itu kau juga lah yang meminta asistenmu untuk merekrutku. Tapi ... kau seenaknya mengabaikan hasil kerjaku begitu saja sekarang!" Aaron mendengus, matanya tak beralih dari Aileen. "Ya, tapi kau di sini untuk bekerja sesuai standar perusahaan, bukan untuk mempertahankan egomu." "Ego?" Aileen tertawa sinis. "Yang aku pertahankan adalah desain yang sesuai dengan permintaan klien. Bukan sembarang rancangan yang asal diganti begitu saja. Apa yang kau lakukan justru menunjukkan betapa besarnya ego-mu, Tuan Smith!" Suasana ruangan semakin memanas. Aaron bersedekap, tampaknya mulai tak senang dengan serangan Aileen yang begitu frontal. "Aku hanya melakukan apa yang terbaik untuk proyek ini. Jika kau tidak bisa menerima penyesuaian dari atasan, mungkin kau yang perlu memikirkan ulang posisimu di sini." Aileen terdiam, namun bukan karena gentar. Dia menatap Aaron dengan tatapan yang penuh amarah dan kekecewaan. "Aku bisa menghormati pendapat atasanku jika atasanku juga menghormati hasil kerja kerasku, Tuan Smith. Tapi kau terus bertindak tanpa menghargai desainku, kau tidak akan pernah mendapatkan hasil terbaik dariku jika kau terus bertindak semaunya seperti ini. Aku yakin, desainer mana pun tidak akan ada yang sanggup bekerja lama-lama dengan atasan sepertimu." Mendengar kata-kata itu, Aaron merasa terusik. Dia bangkit dari kursinya, mendekati Aileen, berdiri tepat di depannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, tatapan mata mereka saling menantang. "Jadi, apa yang kau inginkan, Nona Moretz?" suaranya rendah namun tegas. Aileen menegakkan dagunya, menolak mundur. "Aku ingin kau menghargai hasil kerjaku. Jika ada perubahan, setidaknya diskusikan dulu denganku. Aku tidak ingin ada kejadian seperti ini lagi." Aaron menatap dalam ke mata Aileen, seolah menantang sekaligus menilai seberapa teguh wanita di hadapannya. Sejenak, ada kesunyian yang menegangkan di antara mereka. "Baik," katanya akhirnya, dengan nada yang sedikit lebih rendah. "Lain kali, aku akan memberitahumu sebelum membuat keputusan seperti ini. Tapi, kau juga harus lebih fleksibel dengan desainmu. Sebelum menentukan sesuatu, ada baiknya kau menemuiku terlebih dahulu." Aileen tersenyum sinis. "Dengan senang hati, selama kau masih bisa diajak berunding dengan baik." Aaron hanya mengangguk tipis, sedikit terkejut sekaligus kagum dengan ketegasan wanita ini. Tidak banyak orang yang berani menentangnya langsung, apalagi mempertanyakan keputusannya. "Apa ada lagi yang ingin kau sampaikan, Nona Moretz?" Aaron bertanya, mencoba mempertahankan nada datar. Aileen menatapnya untuk terakhir kali sebelum memutar tubuh dan melangkah keluar ruangan tanpa sepatah kata. Begitu pintu menutup, Aaron menyandarkan tubuhnya ke kursi, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya yang biasanya dingin. Siapa sangka, desainer keras kepala itu ternyata cukup berani menghadapinya. Aileen menghempaskan diri ke kursinya, tangan terlipat di d**a, matanya memandang tajam ke layar komputernya. Dalam hati, ia terus menggerutu, mengingat kembali percakapan sengit tadi dengan Aaron. "Dasar Bos menyebalkan," desisnya dengan nada kesal. "Seenaknya saja mengubah desain orang tanpa membicarakannya lebih dulu denganku. Coba kalau dia yang susah payah menyusunnya dari awal, pasti tidak akan terima jika desainnya ada yang merubahnya seenaknya." Aileen kembali menatap skema desain lanskap di layarnya. Jarinya bergerak cepat di atas touchpad, menggeser beberapa elemen, namun pikirannya masih terpaku pada perdebatan tadi. Perasaan kesal masih membara, sulit baginya untuk fokus. Ia merasa seperti seluruh jerih payahnya untuk menyusun desain itu seakan dianggap remeh. *** Di ruangan lain, Aaron yang tampak tenang di luar, menyandarkan diri di kursi kulitnya, wajahnya serius sambil menatap ke luar jendela gedung pencakar langit. Satu tangan mengangkat telepon kantor, "Liam, masuk ke ruanganku sekarang!" Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Liam, asisten pribadinya, masuk dengan raut wajah siap siaga. "Ada yang bisa aku bantu, Tuan Smith?" Aaron menatap Liam sejenak, lalu dengan nada tegas namun datar berkata, "Liam, cari desainer lanskap yang baru. Yang lebih bisa bekerja sesuai keinginan perusahaan dan tidak banyak berargumen seperti Nona Moretz. Kepalaku bisa pecah jika setiap hari harus berdebat dengan wanita itu." Liam terdiam, ragu-ragu, sebelum akhirnya memberanikan diri berkata, "Maaf, Tuan, tapi … kau tahu betul, Nona Moretz itu lulusan terbaik dari universitas ternama di bidang lanskap. Dia juga pernah memenangkan beberapa kompetisi desain lanskap berskala nasional. Dia bukan desainer baru biasa. Bahkan beberapa firma arsitektur lain sudah mengincarnya sebelum dia lulus dari universitas." Aaron mendengus pelan, sedikit tidak sabar. "Ya, aku sudah tahu, Liam. Tapi semua kemampuan itu tidak ada artinya kalau sikapnya terlalu keras kepala dan susah diatur." Liam memberanikan diri melanjutkan, "Tapi justru sikapnya itu yang membuatnya berbeda, Tuan. Desain-desainnya punya karakter yang unik dan menarik. Anda sendiri memilihnya karena portofolionya yang luar biasa." Aaron mengernyit, menatap Liam dengan alis terangkat. "Aku memilihnya bukan karena dia berbakat saja, tapi karena dia bisa membawa sesuatu yang baru untuk perusahaan ini," katanya, suaranya agak melunak. "Tapi aku pusing jika setiap hari harus ada drama di antara kami. Aku ingin desainer lanskap yang profesional saja." Liam menunduk, masih ragu, tapi tetap mempertahankan pandangannya. "Aku mengerti, Tuan. Tapi aku pikir Nona Moretz mungkin hanya perlu waktu untuk beradaptasi dengan ... cara kerja Anda." Aaron terdiam, merenung sejenak. Sebuah senyuman tipis hampir tak terlihat menghiasi wajahnya, namun dengan cepat ia meredamnya. "Baiklah," ucap Aaron akhirnya berkata dengan nada dingin, "aku akan memberikan dia waktu untuk beradaptasi di perusahaan ini. Jika dia masih bersikeras dengan caranya yang menyebalkan itu, kita bicara lagi tentang mempertahankannya di perusahaan ini atau tidak." Liam mengangguk, terlihat lega. "Aku akan mencoba bicara dengannya baik-baik, Tuan. Mungkin sedikit penyampaian yang … bisa mengurangi ketegangan di antara kalian berdua." Aaron hanya mengangguk, tanda diskusi selesai. Begitu Liam meninggalkan ruangan, Aaron kembali bersandar di kursinya, satu sudut bibirnya terangkat samar. "Aileen Moretz … gadis cantik dan berbakat, tapi ... kenapa sikapnya sungguh menyebalkan?" gumamnya pelan. Tanpa disadarinya, sebuah perasaan yang tak familiar mulai muncul dalam hatinya, membayangi ketegangan profesional yang baru saja terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD