Peluh keringat membanjiri pelipis Namira. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas malam, ia baru pulang dari kafe tempatnya bekerja. Namira harus pulang dengan cepat, tidak mau nanti ibu panti tempat dirinya tinggal, khawatir karena sudah larut malam ia belum pulang.
Namira biasanya pulang jam sepuluh malam. Tetapi kafe kebetulan ramai hari ini, terus temannya yang seharusnya shift sampai tengah malam. Tidak bisa datang karena sakit. Namira menggantikan temannya itu, lumayan gaji yang didapatkan olehnya hari ini.
“¡No me mates! ¡Te apuesto!”
Namira yang mendengar suara orang yang memohon, untuk tidak dibunuh. Perlahan mulai berjalan menuju gang sempit yang ada di depan sana. Namira tidak ada rasa takut, ketika gang itu gelap dan ntah apa yang akan ditemuinya di depan sana.
“Kau bilang jangan membunuhmu! Oh! b*****h ini. Kau sudah berani bermain dengan saya. Kau meminta untuk menyelamatkan nyawamu yang bahkan tidak berharga ini.”
Ucapan seorang lelaki memakai pakaian serba hitam dan sarung tangan hitam di tangannya, yang memegang sebuah pisau kecil yang begitu tajam. Menatap lelaki tua di depannya yang memohon, sudah bersimbah air mata. Bahkan lelaki tua itu sudah bersujud di kaki lelaki muda itu.
“I am guilty, sir. I'm sorry, I would never-.”
Srak!
Lelaki itu menyayat leher lelaki tua di depannya, sebelum lelaki tua itu menyelesaikan ucapannya. Urat nadi leher lelaki tua itu menjulur ke depan.
“AAAA!”
Teriakan membahana di gelapnya malam. Lelaki yang baru saja membunuh seorang lelaki tua, yang menjabat sebagai petinggi negara yang begitu penting. Membuat lelaki itu menatap pada seorang wanita yang berdiri dengan tubuh menegang dan d**a yang terasa sesak melihat semua kejadian itu.
Dengan cepat lelaki itu berjalan menuju wanita yang berteriak barusan. Mengacungkan pisaunya. “Namira, little baby. What do you see darling?” tanyanya bernada berat penuh intimidasi.
Napas Namira tercekat, melihat siapa lelaki yang berdiri di depannya sekarang. “Arsen Nicholas. My ex-husband.” Ucapnya kaku, dan merasa menyesal telah penasaran dan menuju kemari.
“Yes. Kau sudah melihat semua kejadiannya Namira. Ikut dengan saya. Atau kau memilih anak-anak yang kau asuh itu terbunuh di tangan saya.” Arsen menyeringai, ancamannya tentang anak-anak panti asuhan, tempat tinggal Namira menjadi momok sebuah ketakutan dalam diri Namira.
Namira menggeleng. “Jangan ganggu mereka. Saya mohon!” ucap Namira memohon pada Arsen.
“Tidak perlu memohon sayang. Kau semenjak bercerai dengan saya, tambah cantik. Bagaimana kau menjadi—My slave who satisfies my lust, darling.”
Air mata Namira semakin berjatuhan, malam ini adalah malam paling disesali olehnya untuk rasa penasarannya yang tidak bisa ditahankan. Ia kembali terjebak dengan mantan suaminya, ikut dengan lelaki itu sebagai tahanan dan terkurung bersama mantan suaminya yang psikopat. Tidak kenal dengan namanya belas kasihan.