"Bu Jennie?" panggil Beha membuat Jennie yang sedang menatap Beha dan membandingkannya dengan Chandra—direktur marketing Bank NCB, teralih.
"Eh, iya kenapa?" tanya Jennie, mengalihkan pandangannya, dia tidak mau Beha salah sangka atau sejenisnya gara-gara, dia menatap Beha intens.
"Mau minum s**u sekarang? atau minum teh? atau mau pulang diantar driver?"
"Ng...aku mau istirahat dulu di sini, bikinin teh s**u boleh deh."
"Saya buatkan dulu ya, Bu."
"Eh, kamu keujanan ya?" tanya Jennie saat melihat rambut Beha basah dan wajah segar yang tadi membuatnya terpesona karena pria itu baru saja mandi, aroma sabun tercium jelas dan Jennie merasa aroma ini membuatnya sangat nyaman.
"Iya tadi waktu mau balik eh, tiba-tiba ujan deres."
"Maaf ya, aku ngrepotin sampe kamu kehujanan."
"Nggak apa-apa Bu," ucap Beha sambil tersenyum. "Saya bikin minumannya dulu." Beha meninggalkan Jennie, melangkah ke kitchen set dan sibuk meramu teh s**u sesusai request dari Jennie.
"Ini teh susunya, Bu." Tidak lama kemudian Beha kembali membawa segelas teh s**u hangat.
"Taruh sini aja, makasih." Jennie menunjuk meja kecil di sisi sofa, dan Beha menuruti perintah Jennie, meletakkan teh s**u di meja.
"Oh iya, ini kembaliannya," ucap Beha sambil merogoh kantong celananya, mengambil uang kembalian dari mini market.
"Kembaliannya buat kamu aja," balas Jennie. Bagi Jennie uang kembalian itu tidak seberapa, apalagi Beha sampai harus basah kuyup kehujanan demi membeli s**u untuknya.
"Oh? makasih Bu," balas Beha malu.
"Iya sama-sama, lagian itu nggak seberapa dibanding sama kamu yang sampai kehujanan dan terpaksa mandi malem-malem gini."
"Nggak apa-apa kok Bu, malah seger mandi jam segini," ucap Beha.
"Kamu enak," balas Jennie, dan kemudian ia merasa canggung dengan apa yang dikatakannya. Agaknya, ia masih dalam mode ngelindur.
"Eh, maksudnya baunya enak seger gitu, kayak wangi sabun yang aku pake...," koreksi Jennie lagi, yang kemudian lagi-lagi merasa ucapannya kurang pas. "Ngg...ya maksudnya itulah baunya sabun yang kamu pake seger. Hehehe." Jennie tertawa garing dan merutuki dirinya sendiri mengapa dirinya seperti bicara tanpa kendali seperti ini di hadapan Beha. Mungkin efek minuman keras yang membuat ia kurang bisa bicara dengan lebih terarah.
"Iya Bu, emang baunya seger, makanya saya suka pakai," balas Beha mencoba mencairkan suasana yang agak canggung.
"Nggak usah manggil Ibu, kayaknya aku malah lebih muda dari kamu, panggil Jennie aja."
"Nggak apa-apa Bu? takutnya nggak sopan?"
"Nggak apa-apa, aku yang pengen dipanggil nama aja kok."
"Baiklah kalau gitu, Bu, eh Jen."
"Nah gitu manggil Jen atau J, atau Jennie aja."
"Iya," balas Beha. "Ibu, eh Jennie mau makan?"
"Nggak usah repot deh, ujan-ujan gini mau beli makan di mana."
"Kalau mau, ada mi instan."
"Boleh deh, kalau ada, kebetulan aku laper nih."
"Saya masakin dulu ya kalau gitu." Beha berjalan ke kitchen set, mengambil sebungkus mi instan dari lemari penyimpanan dan menyiapkan panci untuk merebus mi instan itu.
Sementara Beha sibuk memasak mi instan, Jennie meminum teh s**u yang Beha buatkan untuknya. Rasa hangat manis mengaliri tenggorokannya membuat Jennie merasa lebih nyaman.
Tidak lama kemudian, Beha membawakan semangkok mi instan panas yang aromanya menggugah selera, air liur Jennie terbit saat aroma mi instan kuah menyapa hidungnya.
"Makasih ya...kayanya enak banget nih." Mata Jennie berbinar melihat mi instan kuah yang hangat mengepul dan menguarkan bau sedap.
Jennie menyuapkan mi instan itu dan merasakan rasa sedap di lidahnya, melebihi rasa mi instan biasanya. Jennie tidak mengerti mengapa rasa mi instan bisa seenak ini. Mungkinkah karena suasana yang berbeda? Makan mi instan di pantry kantor pada jam satu malam, bersama office boy yang menjadi topik pembicaraan sahabat-sahabatnya, di luar hujan mengguyur, suasana makan mi instan yang jelas berbeda dari biasanya.
"Kok kamu nggak pulang?" tanya Jennie sambil mengunyah mi instannya.
"Saya emang sering tidur di kantor Bu, eh Jen."
"Kenapa gitu?"
"Untuk hemat ongkos transport," sahut Beha malu. Ah, kemampuan ekonominya yang receh terasa menertawakannya saat hatinya merasakan debar halus pada Jennie.
"Oh...." Jennie mengangguk-angguk.
"Emang rumahnya jauh ya?"
"Lumayan."
"Eh, Mas, kenapa dipanggil Beha sih? Geli tau."
"Itu, singkatan nama saya."
"Hah? Kok bisa? Namanya siapa emang?"
"Benny Harapan."
"Jadi Beha ya...." Jennie tertawa geli.
"Eh sorry...sorry, ga maksud ngetawain cuma lucu aja gitu namanya."
"Enggak apa-apa kok." Beha tersenyum. Ia senang jika Jennie bisa tertawa lepas.
"Duh, mi-nya enak banget nih." Jennie menyuapkan mi terakhir di mangkok. "Bisa gitu ya, kalau dibikinin jadi enak."
Beha hanya tersenyum simpul, terselip rasa bangga bisa memasak untuk Jennie dan Jennie memuji masakannya enak meski hanya mi instan yang sebenarnya tidak memerlukan skill khusus memasak.
"Abis makan jadi ngantuk banget. Boleh enggak numpang tidur bentar aja." Jennie melihat jam tangannya, udah jam dua dan dia ingin tidur satu jam atau dua jam, pulang ke rumah, lalu jam tujuh pergi ke bandara buat ketemu Mr Tjong sebelum pebisnis itu berangkat ke Hongkong.
"Boleh sih tapi...tempat tidurnya nggak ada. Cuma ada sofa...." Beha menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Gapapa deh, cuma buat tidur bentar aja kok." Jennie membaringkan tubuhnya di sofa. "Nggak apa-apa ya, aku di sini?"
"Nggak apa-apa."
"Nanti kamu tidur di mana?"
"Di bawah ada ruang tidur, saya bisa tidur di sana sama temen-temen."
"Oh...ya udah deh."
Jennie hendak memejamkan mata, namun lalu dia ingat kalau ada beberapa cerita seram di kantor ini.
"Eh Mas!" Jennie memanggil Beha, hingga Beha yang sedang jalan ke wastafel membawa mangkok kotor menoleh.
"Ya?"
"Kamu jangan tidur di bawah deh. Bisa nggak tidur di sini? Aku takut hantu soalnya." Jennie cepat-cepat menambahkan, takut Beha salah paham.
"Ng...tapi nggak ada tempat buat kamu tidur ya...." Jennie baru menyadari bahwa permintaannya konyol. Jika sofa satu-satunya yang bisa digunakan sebagai alas tidur dia gunakan, di mana lagi Beha bisa tidur? Di lantai?
"Nggak apa-apa, saya bisa tidur di lantai, ada tikar kok."
"Jangan, keras, nanti badan kamu sakit."
"Aku pulang aja deh kalau gitu." Jennie memutuskan, meski tubuhnya masih ga enak dan matanya berat.
"Nggak apa-apa istirahat aja dulu di sini, saya bisa tidur pakai tikar atau pakai kursi. Tenang aja, udah biasa kok."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya nggak apa-apa. Istirahat aja," ucap Beha sambil membuka keran dan mencuci alat makan.
Jennie yang udah ngantuk setengah mati kembali merebahkan tubuhnya dan begitu sofa menyambut tubuhnya, Jennie jatuh ke alam mimpi.
Beberapa jam kemudian, Jennie tersentak dari tidurnya akibat alarm handphonenya yang berbunyi nyaring mengusik telinganya dan membuat Jennie segera duduk tegak meski kepalanya masih pening dan matanya lengket. Tangannya meraba-raba sofa tempatnya duduk mencari handphone yang menjadi sumber keributan.
"Hah!" Jennie menjerit histeris saat melihat bahwa sekarang sudah pukul enam, satu jam lagi, Mr Tjong nasabahnya akan segera check in dan meninggalkan Jakarta. Gawat!
Teriakan histeris Jennie membuat Beha yang sedang bersiap-siap mengenakan seragam office boy di kamar mandi terkejut. Sontak, lelaki imut itu berlari keluar dan menemukan Jennie sedang panik.
"Bu...eh Jennie, kenapa?"
"Aduh, mampus gue, udah jam enam!" seru Jennie heboh sambil mengambil bedak dari tasnya dan memperbaiki wajahnya yang terlihat berantakan secepat yang dia mampu.
"Kenapa J?" tanya Beha lagi.
"Gue harus cepet ke bandara ngasihin dokumen Mr. Tjong, tapi gue kesiangan bangun. Kalau nggak kekejar, bisa mampus gue nyari target kredit lagi dan ...." Jennie tidak bisa meneruskan kata-katanya, tubuh dan pikirannya terlalu sibuk, bagaimana membereskan pagi yang berantakan ini.
"Mana pagi gini pasti macet ke bandara. Sial!" Jennie membetulkan sepatunya.
"Gimana kalau saya antar pakai motor? Bisa lebih cepat." Beha memberikan ide.
"Motor?" Jennie menatap Beha dan merasa ide yang diberikan Beha cukup masuk akal.
"Boleh deh, ayo buruan!" Jennie bergegas, berjalan terburu-buru ke basement parkir, sementara Beha menyambar jaket yang ada secepat tangannya bisa, mengekori Jennie.
Tidak lama, mereka sudah berada di atas motor, menyusuri jalan ibu kota yang perlahan mulai padat. Motor matic yang dikemudikan Beha menyelip di sana sini, mencoba mempersingkat waktu tempuh sampai ke bandara demi Jennie bisa menemui Mr. Tjong nasabahnya.
Angin sejuk menerpa wajah Jennie, terasa mengasyikkan dan seru, karena Jennie sangat jarang mengendarai motor, maka, perjalanan ke bandara bersama Beha si office boy ini jadi pengalaman yang baginya cukup menyenangkan, terlebih saat motor bergerak lincah menyelinap di lautan kendaraan, Jennie merasa dia menjelma jadi anak geng motor yang menguasai jalanan. Oke, itu berlebihan, tapi, itulah yang Jennie rasakan.
Motor yang dikemudikan Beha akhirnya masuk ke pelataran parkir bandara dan Jennie segera turun, menelpon sekretaris Mr. Tjong di mana bisa menemui pebisnis itu. Tatkala mendengar bahwa Mr. Tjong masih menunggu di VIP Lounge, Jennie menghembuskan napas lega. Kekacauan pagi ini sepertinya bisa diatasi dengan baik. Thanks to Beha. Jennie berlari secepat yang kaki pendeknya bisa dari area parkir ke VIP Lounge, tapi beberapa langkah mencapai VIP Lounge, sepatu high heelsnya patah, dan membuat Jennie jatuh terjerembab.
Rasa sakit menjalar di hampir keseluruh tubuh Jennie, karena posisi jatuh Jennie yang tertelungkup, tapi malu adalah rasa yang paling dominan. Di saat bandara sedang berada dalam fase sangat ramai, dia terjatuh dan menjadi pusat perhatian.
"Arggh! Damn!" Jennie mengumpat kecil, bersamaan dengan seorang sekuriti menghampiri dan menawarkan bantuan.
"Makasih, Pak," ucap Jennie saat sekuriti itu membantunya bangkit dan membereskan dokumen yang berserak.
"Sama-sama, Kak. Ada hal lain yang bisa dibantu?"
"Nggak Pak, makasih." Jennie menepuk bajunya, membersihkan dari debu lantai yang menempel. "Duluan ya Pak!" Jennie segera melangkahkan kakinya ke VIP Lounge, selain untuk menutup rasa malu, juga karena dia mendengar pengumuman bahwa penumpang tujuan Hongkong bisa segera check in.
Saat Jennie sampai di VIP Lounge, Mr. Tjong dan sekretarisnya menatap Jennie yang ada di hadapan mereka membawa sejumlah dokumen perbankan yang harus ditandatangani dengan tatapan heran. Penampilan Jennie sangat kacau, rambutnya kusut dan sangat kentara kalau dia belum sempat mandi. Aroma parfum yang harum dari tubuhnya—akibat dia menyemprotkan banyak-banyak cairan wangi itu, cukup menyamarkan bau badan yang belum terbasuh air dari kemarin, tapi tetap saja tidak bisa menyamarkan penampilan kucelnya. Mr. Tjong dan sekretarisnya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan Jennie, karena sebagai staf bank besar seperti NCB Bank, penampilan Jennie sangatlah kacau, tetapi Mr. Tjong tidak mengatakan apapun.
"Mr. Tjong, maaf saya sedikit terlambat, silahkan ditanda tangani dokumennya." Jennie segera mengeluarkan dokumen dan meminta Mr. Tjong segera menandatangani tanpa basa basi.
"Oke. Saya harap urusan kredit ini segera selesai saat saya pulang dari Hongkong." Lelaki muda yang dipanggil Mr. Tjong oleh Jennie itu mengeluarkan pulpen. "Di mana saya harus tanda tangan?"
"Sebelah sini." Dengan cekatan Jennie menunjukkan, hingga semua dokumen ditandatangani.
"Semua sudah selesai?"
"Ya, ini semua sudah selesai. Terima kasih waktunya Mr. Tjong."
Tjong Xiumin tersenyum. "Kalau begitu, saya harus pergi." Lelaki itu beranjak dan berjalan keluar VIP Lounge.
"Jennie, penampilanmu sangat berantakan. Apa kamu mabuk semalaman? Ini buruk sekali. Kamu kan staff nasabah prioritas bank NCB, kenapa penampilan kamu bisa sepayah ini?" cecar Selina, sekretaris Mr. Tjong. "Kalau Pak Chandra tahu...."
"Tutup mulutmu nenek sihir!" hardik Jennie. Dia sangat tahu jika Selina sangat menyukai Archandra, Direktur Marketingnya dan Selina suka mencari perhatian Chandra, termasuk melaporkan apapun tentang Jennie pada Chandra.
Selina tertawa. "Aku sangat bersemangat menceritakan ini pada beliau. Bye, Jennie, sebaiknya kamu mencuci mukamu, dan menggosok gigi, penampilanmu persis gembel yang tidak mandi tiga tahun." Selina terkikik seolah apa yang dikatakannya sangat lucu.
"Selina!" Mr. Tjong berbalik saat menyadari sekretarisnya tidak mengikuti langkahnya.
"Yes, Sir! Aku di sini," balas Selina.
"Oke Jennie bye, sorry aku nggak punya waktu buat ngasih tips dan trik buat kamu biar nggak keliatan kayak gembel." Selina kembali tertawa, mengibaskan rambut panjangnya dan berjalan penuh percaya diri mendekat pada Mr. Tjong. Jennie mengumpat dalam hati, berharap Selina setidaknya terpeleset dengan high heels dua belas centi-nya itu sayangnya apa yang Jennie harapkan tidak terjadi.
***
Jennie kembali ke parkiran di mana Beha setia menunggu di bawah pohon agar tubuhnya tidak terlalu kegerahan karena matahari sudah mulai menguarkan hawa panasnya. Saat melihat Jennie, senyum mendadak terbit begitu saja di bibir Beha. Dia segera beranjak dari tempatnya duduk dan menghampiri Jennie.
"Gimana? Udah ketemu nasabahnya?"
Jennie mengangguk tanpa semangat.
"Apa ada masalah lain?" tanya Beha.
"Nggak ada sih. Cuma gue bete aja."
"Bete?"
"Ya udahlah...yuk cabut!" Jennie malas menjelaskan pada Beha perihal Selina kelakuan k*****t yang membuat darahnya mendidih.
Beha mengangguk dan berjalan menghampiri motor matic yang diparkir, menyerahkan helm pada Jennie dan setelah Jennie naik ke boncengan, Beha segera melajukan motornya keluar dari area bandara.
"Kita kemana? Balik ke kantor atau kemana?" tanya Beha di antara deru angin saat mereka berdua melaju di jalanan.
Kembali ke kantor adalah hal terakhir yang ingin Jennie lakukan dengan penampilan seperti ini. Moodnya hancur berantakan terutama karena ucapan Selina, dia pikir lebih baik pulang ke apartemen.
"Anterin gue ke apartemen aja. Gue perlu mandi dan whatsoever."
"Oke kalau gitu." Beha menjalankan motornya ke arah apartemen Jennie setelah Jennie memberitahu alamat apartemennya. Dari spion dia bisa melihat wajah Jennie yang nampak suram, entah apa yang terjadi pada Jennie, mungkin, nasabah yang ditemuinya marah besar karena Jennie terlambat datang? Atau hal lainnya? Beha ingin sekali menghibur Jennie dan membuat senyum kembali terukir di wajah perempuan yang duduk di belakang punggungnya itu, sayang, Beha tidak punya keberanian mengajak Jennie bicara saat ini. Menghabiskan malam dengan makan mi instan dan tidur bersama di pantry, tidak otomatis membuat jarak status sosial ekonomi antara Jennie dan Beha terkikis. Jennie tetaplah staff berpangkat tinggi di NCB dan Beha hanyalah office boy. Perih rasanya, tapi itulah kenyaataan yang ada.
Beha tidak ingin terlalu melankolis, dia mengabaikan rasa tidak nyaman dalam hatinya, melajukan maticnya menembus padatnya lalu lintas, sambil bersenandung pelan. Sebuah lagu yang mengungkapkan tentang rasa cinta yang hanya bisa dipendam.