"Kamu udah ke dokter?"
"Udah."
"Apa kata dokter?"
"Ya suruh istirahat aja, kan aku nggak sakit sebenernya." Jennie tertawa kecil. "Ke dokter cuma minta surat keterangan sakit doang."
"Jangan suka gitu, takutnya jadi sakit beneran."
"Iya...iya...abis, kalau nggak gitu nggak bisa cuti, mana sebentar lagi ada gathering nasabah prioritas. Tahu sendiri, aku lagi nggak mood banget di kantor."
Sejenak, Beha di seberang sana terdiam. Dia sangat mengerti bahwa sakit yang dialami Jennie bukan sakit fisik, tapi lebih pada sakit mental. Mungkin psikolog bisa membantu, tapi dia nggak berani menyarankan, takutnya Jennie tersinggung karena menganggapnya gila atau sakit mental.
"Apa aku boleh main ke apartemen nanti?"
"Kamu mau datang?" tanya Jennie, entah mengapa merasa senang.
"Boleh dong!"
"Mau dibawain apa?"
"Nggak usah repot."
"Martabak mau?"
"Apaan sih, udah dibilang nggak usah repot, kamu datang aja aku udah seneng," ucap Jennie karena dia merasa kesepian di apartemen.
"Ya udah ntar aku datang ya."
"Makasih ya, udah mau repot terus demi aku."
"Nggak repot kok."
"Kalau gitu, aku tutup telponnya ya, sampai ketemu nanti."
"Iya."
Sambungan telpon terputus dan tanpa terasa, sebuah senyum tersungging di bibir Jennie.
Sejak bicara dengan Beha di telpon, Jennie berulangkali menatap jam dinding, berharap agar waktu cepat berputar dan mempertemukannya dengan Beha.
Jennie menyisir rambutnya, dan melihat pantulan wajahnya di kaca. Dia mengoleskan lipstik berwarna coral, tapi lalu menghapusnya, dia nggak pengen terlihat terlalu bermakeup, tapi juga nggak pengen terlihat kucel saat Beha datang nanti. Sebuah keinginan yang membuatnya repot sendiri karena Jennie jadi berulangkali masang makeup terus dihapus lagi.
Selain itu, dia juga berulangkali milih baju, buat dipakai, padahal tadi pagi, dia biasa aja tuh berpenampilan buluk depan Beha, dan kayaknya Beha juga nggak kenapa-kenapa, tapi sekarang rasanya Jennie nggak pengen terlihat buruk rupa di depan Beha. Alasannya apa? Jangan nanya, karena dia juga nggak tahu kenapa cuma Beha mau dateng aja dia heboh sendiri.
Kegiatan Jennie pada akhirnya terhenti saat bel terdengar.
"Bentar!" Dia teriak, karena lagi ganti t-shirt. Tadi dia make t-shirt crop top sama skirt jeans, cuma dia ngerasa terlalu too much, akhirnya ganti t-shirt agak oversize gambar The Simpson, yang dibeli tahun lalu pas dia sama temen-temennya ke Thailand, sama bawahan hotpants. Jennie masih sempet ngaca memastikan mukanya terlihat segar tapi nggak lebay kayak mau dangdutan sebelum berlari kecil ke pintu.
Dia membuka pintu dan Beha ada di balik pintu, sejenak mereka berdua justru saling diem, cuma saling menatap.
"Eng...masuk?" tanya Jennie setelah sejenak hening.
"Oh iya."
"Ini." Beha memberikan sebuah kotak, isinya martabak seperti yang dia janjikan.
"Makasih ya...udah dibilang nggak usah repot." Jennie tersenyum menerima pemberian Beha.
"Gimana tadi di kantor?"tanya Jennie basa basi, soalnya nggak tahu mau nanya apa lagi.
"Ya biasa Je. Kerjaan sehari-hari, bersih-bersih," balas Beha, sambil duduk dan membayangkan kembali suasana ini sebagai masa depannya. Kedekatannya bersama Jennie belakangan ini, membuat Beha kadang merasa nggak tahu diri, menghayal terlalu tinggi. Tapi ya mau gimana lagi, namanya orang lagi jatuh cinta, bawaannya halu dipiara.
Jennie memindahkan martabak ke piring dan membawa ke ruangan di mana Beha duduk.
"Kamu mau minum apa?"
"Udah, nggak usah tadi abis minum kok."
"Kalau mau minum ambil aja ya...."
"Gampang."
"Eng...mau nonton film?" Jennie menawarkan pasalnya, suasana terasa canggung tiba-tiba dan dia nggak tahu mesti ngapain berada di apartemen berdua sama Beha.
"Film apa?"
"Ya, kamu maunya film apa? Ada banyak sih...."
"Ng...." Beha nggak tahu film apa yang sekiranya bagus karena dia jarang nonton film.
"Ada film action atau heroes gitu. Suka nggak?"
"Aku ngikut aja."
"Em...apa ya...." Jennie memencet remote memilih tayangan yang akan mereka tonton.
"Ada sih film agak lama tapi. Avengers, Valak, Deadpool?" Jennie menyebutkan beberapa judul film yang sama sekali asing buat Beha.
"Yang mana aja Je. Aku jarang nonton film."
"Oh...okey." Jennie kembali sibuk memilih film yang sekiranya asyik ditonton oleh orang yang jarang nonton seperti Beha.
Tengah memilih film, suara bel pintu terdengar membuat perhatian Jennie teralih.
"Siapa ya?" Jennie berjalan ke pintu sambil menggumam.
Saat dia membuka pintu, Jennie nggak bisa menyembunyikan rasa kagetnya, karena kehadiran Sherly. Dia nggak nyangka Sherly datang ke apartemennya tanpa mengabari lebih dulu. Biasanya, sobatnya itu selalu mengabarinya dulu.
"Lo...."
"Hai...gue boleh masuk?" Sherly masuk ke apartemen, seperti kebiasaannya, saat Jennie membuka pintu, tanpa bisa Jennie cegah dan saat dia masuk ke dalam ruangan dia merasa kaget karena keberadaan Beha.
"Oh my God...!" Dia bener-bener nggak nyangka Beha ada di apartemen Jennie, terutama setelah tadi siang dia dan Lisa ngomongin kalau Jennie naksir Beha. Sepertinya, omongan Lisa soal ini ada benernya.
"Bu Sherly...." Beha juga nggak kalah kaget ngelihat Sherly.
"Oemji, lo, kok bisa di sini sih?"
"Je...Beha kok bisa di sini? Ada apa nih antara kalian?" Sherly menatap Jennie dan Beha bergantian.
"Tenang aja, gue orangnya bisa dipercaya kok, gue nggak bakalan ngember." Sherly berpura-pura mengunci mulutnya.
Jennie berpikir keras, dia nggak mungkin ngomong soal Chandra. Bukannya apa-apa, dia nggak mau kejadian kemarin menjadi besar dan membuat masalah baru. Tapi, sekarang Sherly, bertanya-tanya bagaimana bisa Beha ada di apartemennya.
"Jadi...karena gue sakit, gue minta Beha buat bawain martabak." Jennie beralasan.
"Kan bisa pesen delivery?"
"Ng...ya...gue soalnya...." Jennie beneran bingung harus jelasin gimana.
"Hayoloh...hayoloh...." Sherly makin semangat mengolok.
"Coba ah, nanya Beha." Sherly duduk di deket Beha.
"Lo...kok bisa sampai sini sih, ganteng?" tanya Sherly dengan gaya kemayunya.
"Ngh...anu...bawain martabak buat Bu Jennie." Beha mengulang pernyataan Jennie.
"Ya elah. Jawabannya kopi paste amat sih. Gini aja deh kalian berdua jujur. Gue tuh ya biar gini bukan tipe penggosip kok. Sebenarnya kalian berdua ada hubungan apa?" Sherly menatap Beha dan Jennie serius.
Jennie menghela napas, duduk di dekat Sherly. "Nggak ada hubungan apa-apa."
"Ah masa?" tanya Sherly nggak percaya.
Sementara Beha cuma diam, merasa nggak berhak ngomong apapun, dan takut salah ngomong, apalagi di hadapannya ini Sherly, yang di kantor juga punya posisi tinggi.
"Gue kemarin dianter Beha pulang, karena udah kemaleman banget. Nah hari ini, karena gue nggak masuk, dia berbaik hati nengokin gue gitu, kebetulan juga, gue lagi pengen martabak jadi sekalian aja."
"Udah gitu doang?"
"Ya udah gitu doang. Apa lagi emang?"
Alih-alih menjawab, Sherly malah terlihat tersenyum-senyum dikulum.
"Apaan sih Sher!" Jennie menepuk lengan Sherly gemas.
"Gue lihat sih ya ada love love di udara," ucap Sherly, tangannya meraih-raih udara, seolah ada sesuatu di sana.
"Enggak ada apa-apa ih! Tanya aja Beha! Iya kan Be?" Jennie meminta dukungan Beha.
"Iya...." jawab Beha, meski bertolak belakang sama hatinya. Ya...cinta hanya dirasakan olehnya, tapi tidak dengan Jennie.
"Kalian ini mencurigakan. Tapi ya udah deh kalau masih belum mau go public, gue nggak maksa."
"Ya udah daripada jadi kikuk, mending kita makan aja. Gue tadi mampir beli bento nih." Sherly membongkar tas yang dibawanya.
"Nih, Be, ada teriyaki, ada katsu lo pilih deh yang mana." Sherly menawarkan.
"Eh, Je, ambilin minum kek, aus nih gue!" seru Sherly.
"Halah, biasa juga ambil sendiri."
"Ya...kan lagi ada Beha ganteng, jaga image dong gue. Ya nggak, Be?" Sherly mengerling, dan Beha hanya bisa tersenyum, bingung mau nanggepin apa. Dia kayak ikan yang tersesat ke habitat lain. Semacam lele yang tiba-tiba tersesat ke kolam arwana, rasanya nggak nyaman dan terasing. Perasaan ini membuat Beha sadar bahwa kehaluannya beberapa hari ini memang sudah sepatutnya diakhiri. Dia dan Jennie terlalu jauh berbeda, untuk urusan makanan aja, apa yang dimakannya sama Jennie dan temen-temennya beda sama yang dia makan. Dia nggak ngerti apa itu bento, katsu dan teriyaki?
"Em...Bu Sherly...."
"Yup?" Sherly menoleh. "Panggil Sherly aja ga papa kalau nggak di kantor. Dipanggil ibu berasa tua, gue."
"Eng...iya...aku mau pamit."
"Eh pamit kenapa ganteng? Belum juga makan. Keganggu gue ya? Kalau gitu, gue aja deh yang pulang kalau ganggu kemesraan kalian."
"Eng...enggak...bukan gitu, memang masih ada kerjaan."
"Kerjaan apa malem-malem gini? Hayo...jangan alesan mengada-ada ya. Jangan harap bisa kadalin gue...karna gue ini buaya. Hihihi."
"Anu...disuruh sama Pak Kai buat bersihin ruang arsip." Beha beralasan, dan emang bener, Pak Rakai, Kepala Divisi Logistik nyuruh dia bersihin ruang arsip, tapi besok sih sebenernya, jadi nggak bohong tapi nggak jujur juga.
"Malem-malem gini?"
"Iya."
"Wah, Rakai keterlaluan deh, masa malam-malam suruh bersihin ruang arsip, mana kan ruangan itu horor."
"Ng...." Beha cuma menggumam tidak jelas.
"Horor, gimana?" Jennie bertanya penasaran.
"Gue pernah denger ya, ada yang lembur kan, nah pas itu dia denger kaya kertas disobek-sobek, tadinya dia cuek aja tapi itu suara nggak berhenti, akhirnya dia penasaran, siapa sih yang lembur nyobekin kertas? Taunya apaan? Kuntilanak dong."
"Kuntilanaknya ngapain?"
"Mana gue tahu, yang cerita udah kabur duluan."
"Emang siapa yang cerita?"
"Anak teller."
"Dia yang ngalamin?"
"Bukan, yang ngalamin orang khazanah. Dia lagi nunggu setoran cabang."
"Wih, kenapa serem ya?"
"Nah, makanya tuh Be, lo daripada ke kantor serem, mending di sini, sama Jennie, indehoy." Sherly omongannya benar-benar bebas, membuat Beha tersipu.
"Nggak usah malu sama gue. Gue orangnya biasa malu-maluin kok."
"Ng...tapi nanti saya dimarahin Pak Rakai kalau nggak laksain perintahnya."
"Gampang, ntar gue yang bilang ke Rakai."
"Nggak usah Bu, makasih. Saya pamit dulu ya...."
"Eh...gimana sih, malah kabur!" ucap Sherly saat melihat Beha bersiap dengan jaket dan membawa helmnya.
"Pamit dulu ya, Bu Sherly, Bu Jennie." Beha berpamitan dan secepat mungkin melangkahkan kakinya keluar dari apartemen Jennie.
"Apaan?" Jennie bertanya saat Sherly menatapnya dengan senyum yang dikulum.
"Lo, sama Beha jadian?"
"Enggak."
"Kok bisa dia di apartemen lo?"
"Kan gue udah bilang kalau dia kemarin malam nganter gue, dan hari ini, dia nanya kenapa gue nggak masuk, dan ya...gitu dia inisiatif buat datang nengokin."
"Mencurigakan."
"Ya udah kalau nggak percaya." Jennie mengambil kemasan bento yang dibawa Sherly. "Gue makan ya?"
"Huum."
"Dia naksir lo menurut gue." Sherly berkata tiba-tiba.
"Siapa?"
"Beha."
Jennie mengedik. "Kalau iya, gue juga nggak bisa ngelarang. Love is free."
"Lo naksir dia enggak? Jujur!"
Jennie menghentikan kegiatannya membuka bento, membayangkan Beha dan dia merasa nyaman kalau di dekat Beha, tapi soal cinta? Dia nggak tahu, dan belum ingin jatuh cinta lagi setelah kisah cintanya kandas menyisakan rasa sesak yang nggak mudah hilang.
"Beha tuh baik lagi Je."
"I know."
"Ganteng lagi kayak oppa Korea."
"Ya terus?"
"Kalau lo suka sama dia, nggak apa-apa."
Jennie tertawa. "Maksudnya apaan nih? Lo jodohin gue sama Beha?"
"Nggak jodohin, cuma kalau emang kalian saling suka, gue dukung aja gitu."
"Gue sama Beha cuma temen aja, Sher, dan emang sih, gue akuin dia baik, perhatian, tapi ya...gitu aja."
"Ati-ati, dari temen jadi demen. Hihihi." Sherly tertawa renyah.
"Lo, sebenernya sakit apaan? Kayaknya sehat-sehat aja."
"Lagi M."
"Menstruasi?"
"Males." Jennie nyengir dan tertawa.
"Yaelah, kalau gitu caranya gue juga pengen nggak masuk kerja. Capek banget akhir-akhir ini kerjaan numpuk banyak. Eh, lusa ada gathering prioritas lho, lo masih nggak masuk?"
Jennie mengedik. "Nggak tahu, liat entar."
Sherly menepuk punggung Jennie tiba-tiba. "Je, kalau ada sesuatu, lo bisa ngomong ke gue."
Jennie menanggapi dengan senyuman, sayangnya, dia tidak bisa menceritakan tentang apa yang dilakukan Chandra padanya. Jennie tidak punya keberanian untuk itu, dan dia nggak ingin membuat teman-teman yang mendukungnya jadi kesusahan karenanya. Bisa saja, Sherly mendukungnya, melaporkan tindakan Chandra ke divisi kode etik, tapi pasti Chandra tidak akan diam. Dia punya kekuatan lebih dari dirinya dan teman-temannya. Jennie berpikir, mungkin ada baiknya dia sebaiknya menghindari Chandra, meski hal itu memang tidak mudah.
"Thanks, ya Sher."
Sherly menangguk dan melempar senyum, membuat Jennie merasa bersyukur memiliki seorang teman yang selalu mendukung seperti Sherly, meski sekarang, dia belum bisa menceritakan apapun pada sahabatnya itu.
Obrolan Jennie sama Sherly terus berlanjut, sambil nonton serial s*x Life di Netflix. Tengah asyik nonton, bel pintu apartemen Jennie kembali terdengar.
"Siapa tuh?" Sherly menghentikan kunyahan kripiknya.
"Enggak tahu deh." Jennie beranjak ke pintu.
"Lisa kali ya."
"Emang Lisa mau ke sini?" Jennie menoleh sejenak sebelum kakinya kembali melangkah ke pintu.
"Enggak sih, dia ada acara di rumahnya, cuma siapa tau acaranya udah selesai dan dia mampir?"
"Oh...." Jennie menggumam dan melanjutkan langkahnya membuka pintu. Saat dia membuka pintu, ternyata seseorang yang nggak dia sangka ada di depan pintunya.