Part 1
Sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan sebuah bangunan besar yang berada di pinggiran Kota Bandung.
Para penumpang yang berjumlah tujuh orang itu segera turun dan membawa tas yang berisi perlengkapan masing-masing.
Izra, pria muda bertubuh tinggi dan berwajah tampan turun terlebih dahulu sambil memperhatikan sekeliling. Pria yang bernama lengkap Izrail Atharizz Calief, memang sangat cocok menjadi seorang pemimpin. Kecerdasan berpadu dengan gerakan terlatih dan sangat gesit. Kemampuan supranatural yang cukup tinggi, tetapi tetap rendah hati.
Emyr Salim Hauzan, atau biasa dipanggil Emyr, merupakan salah satu orang kepercayaan Izra. Dengan kecerdasan dan kemampuan supranatural yang hampir sama dengan Izra, Emyr mampu menjadi sayap pelindung bagi teman-temannya.
Pria muda bertubuh kurus dengan tinggi rata-rata itu adalah pribadi yang santun. Hubungan cintanya dengan Adiba Shakila Atmarini yang biasa dipanggil Rini, sudah berlangsung sejak mereka masih berstatus sebagai siswa di SMU beberapa tahun silam.
Rini yang awalnya penakut, lambat laun bisa mempunyai keberanian karena sering mengikuti sang kekasih ke tempat-tempat misteri. Rini adalah seorang perempuan muda bertubuh mungil, memiliki wajah yang manis dengan gigi gingsul di sebelah kiri. Sifatnya yang periang menjadi hiburan tersendiri bagi teman-temannya.
Gunther Hanif, seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar, merupakan orang kepercayaan kedua bagi Izra setelah Emyr. Sikapnya yang tenang dan irit berbicara, lebih cenderung tertutup bagi sebagian kawan, tetapi akan berubah menjadi beringas dan menyeramkan, bila mereka bertemu dengan makhluk tak kasatmata yang jahat.
Izra jalan ke belakang mobil, membantu Kenzie Hamizan untuk menurunkan barang bawaannya yang paling banyak dan berat.
Kenzie, pria muda berperawakan sedang, merupakan sosok paling cerdas di kelompok mereka. Kepintarannya dalam urusan teknis dan fotografi, menjadikan dirinya sebagai andalan operator di kelompok.
Sementara Galang Ramadhan, sahabat Izra sekaligus orang paling humoris di kelompok, turun dan langsung melakukan olahraga ringan di samping kiri mobil.
"Minggir!" titah Gwen. Perempuan berambut panjang yang bernama lengkap Gwen Faiha Amalia, memang sering beradu mulut dengan Galang.
Hal ini disebabkan karena Galang yang sangat sering mengganggu Gwen, hingga membuat perempuan berwajah cantik itu sering emosi.
Gwen memang sedikit temperamental. Hanya Izra dan Emyr yang sanggup menenangkannya. Kemampuan supranatural Gwen, merupakan yang paling tertinggi di kelompok ini.
Gwen paling sering melakukan pelepasan raga dan berkelana menembus lorong waktu. Bersama Gunther sebagai rekan kerja, keduanya menjadi sosok andalan untuk menghadapi makhluk halus yang kadang sangat kejam.
"Apaan sih? Aku kan lagi pemanasan," keluh Galang.
"Iya, tapi jangan di depan pintu dong. Ngalangin, tahu nggak!" Suara Gwen mulai meninggi.
"Ish, dasar cerewet." Galang bergegas menyingkir saat melihat Gwen mendelik.
"Udah, Gwen. Galang mah nggak usah ditanggapi. Rese emang dia," sela Rini.
"Hadeuh, lama-lama aku stres ngadapin dia." Gwen mengusap bagian tengah tubuh dengan wajah gusar.
Rini mengusap lengan temannya itu untuk menenangkan. Sebagai salah satu dari dua anggota perempuan di kelompok, Gwen dan Rini menjadi sangat dekat.
Keenam orang itu bergegas jalan mendekati bangunan. Sementara Kenzie bergerak memundurkan mobil hingga berhenti tepat di depan pintu besar, yang kemungkinan adalah pintu garasi.
"Seperti biasa, kita nyebar dari dua arah dan dua grup," ujar Izra.
"Oke, Bos, siap. Yang pasti aku nggak mau satu grup bareng tante cerewet," sahut Galang dengan wajah santai. Tak peduli Gwen mendelik ke arahnya.
"Ayo, kita lewat sana," ajak Emyr pada Rini. Galang mengekor di belakang mereka.
"Aku duluan," ujar Gunther. Pria itu memegang senter di tangan kiri, sedangkan tangan kanan mendorong pintu besar berwarna putih.
Krrriiieeetttt.
Derit pintu yang terbuka terdengar bergema di ruangan luas tersebut. Gunther melangkah masuk sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Izra menyentuh mikrofon yang ditempelkan di dekat telinga kiri. "Kedengaran nggak, Ken?" tanya Izra.
"Sip, Bro. Kameranya turunin dikit," titah Kenzie.
Izra menurunkan arah kamera yang dipasang di kepala. Menggeser benda tersebut hingga pas dan sesuai dengan perintah Kenzie.
"Udah bisa nyebar ini?" tanya Gwen, di tangannya ada botol kecil yang berisikan bubuk bidara.
"Simpan dulu, kecuali kalau kamu udah ngerasain yang nggak enak," sahut Izra.
Gwen mengangguk, memasukkan kembali botol itu ke saku kiri celana. Membetulkan letak senter kecil yang diikat di tali ransel. Kemudian, jalan menyusul Gunther yang telah lebih dulu beranjak ke bagian tengah ruangan.
"Oke, Gaes, kita mulai penyusuran dari sebelah kanan. Ruangan ini mungkin dulunya adalah lobby hotel. Bisa dilihat dari meja di ujung itu," ucap Izra sambil jalan mendekat. Pria berambut cepak tersebut memutar kepala dengan pelan untuk menangkap semua sudut ruangan.
Sementara itu, di bagian kiri rumah, Emyr, Rini dan Galang jalan berurutan. Pintu besar tadi ternyata terhubung dengan sebuah ruangan panjang, berbatasan dengan sebuah pintu di ujung kanan.
Emyr berjalan pelan sambil merapikan letak mikrofon di telinga kanan. "Tes, tes," bisiknya.
"Pesan apa, Mas?" Kenzie menjawab dari seberang sana.
"Mie ayam tiga, yang dua pedas, yang satu nggak pakai ayam," balas Emyr seraya tersenyum. Gaya Kenzie yang terkadang humoris itu memang menjadikan suasana tidak terasa tegang.
"Kameranya benerin, Myr. Aku cuma bisa lihat p****t Galang," canda Kenzie yang membuat Emyr menggigit bibir untuk menahan tawa.
"Apa? Pantatku disorot Emyr? Ish, pelanggaran!" protes Galang. Pria itu jalan dengan sedikit berlenggok dan membuat Rini mengikik.
"Woi! Stop dulu bercandanya. Pesanan baksoku mana?" timpal Izra dari saluran lain.
Tawa ketujuh orang itu akhirnya tidak sanggup ditahan lagi. Gema suara mereka terdengar sampai ke lantai dua, dan mengusik beberapa makhluk astral yang sejak tadi memperhatikan mereka.
***
Gunther berhenti di depan sebuah meja panjang. Tangannya menyentuh meja berdebu, dan menekan sebuah tombol di atas meja.
Tring!
Bunyi bel membuat pria beralis tebal itu sedikit terkejut. Tidak menyangka bila benda itu masih berfungsi dengan baik.
"Jahil sih!" omel Gwen yang ternyata sudah berdiri di sebelahnya.
Gunther menoleh dan menyunggingkan senyuman tipis, yang dibalas Gwen dengan juluran lidah.
"Udah beres berantemnya? Ayo, kita ke situ." Izra yang berada di sebelah kanan Gwen, menunjuk ke pintu yang terletak di belakang meja panjang.
"Nggak ke situ aja?" Gunther mengarahkan dagu ke tangga besar yang memecah menjadi dua bagian, yang berada di sebelah kanan Izra.
Izra menggeser tubuh dan mengarahkan kamera dengan pelan. Mengikuti instruksi dari Kenzie yang memintanya untuk bergeser lebih ke kiri.
"Di sini?" tanya Izra sambil membetulkan letak mic.
"Maju dikit, sekarang stop, putar pelan ke kanan," sahut Kenzie dari seberang sana.
Satu titik berwarna merah terlihat di bawah lekukan tangga. Izra memberi kode pada Gwen dan Gunther yang segera mendekat.