Bella hanya diam menatap layar ponselnya, berharap Dimas menghubunginya dan memintanya kembali. Namun, sudah sehari berlalu tidak ada panggilan atau pesan darinya.
“Dimas benar-benar melupakan aku?” gumam Bella yang masih bisa didengar oleh sahabatnya yang bernama Nani.
Tangan Nani mengusap bahu Bella berucap, “Cowok seperti itu enggak usah di tungguin, lagian aneh banget si udah nikah masih aja ngetek ke ibunya. Si nenek lampir juga, udah tahu anaknya udah nikah masih aja pengen ngatur, kalau aku jadi kamu udah lama aku ceraiin!”
Bella menghela napasnya, seharian Bella terus mendengar ocehan Nani yang terlihat begitu kesal dengan semua cerita Bella tentang mertuanya itu. “Aku harap kamu enggak dapetin mertua kayak aku, Nan.”
“Ih amit-amit, aku mau nyari anak tunggal kaya raya,” jawabnya dengan lantang. “Jadi setelah ini kamu mau gimana?”
Bella terdiam, semalaman ia sudah berpikir akan apa yang akan dia lakukan. “Sepertinya aku akan kembali bekerja.”
“Bagus, jangan jadi cewek yang bergantung sama cowok atau cewek menye-menye yang bisanya nangis ketika harga dirinya diinjak oleh manusia biadab kek mereka itu.”
Sudut bibir Bella terangkat, di tengah kekecewaannya akan jalan hidupnya ternyata masih ada orang yang ngerti perasaannya. “Haruskah aku ngasih tahu orang tuaku?”
“Harusnya si, cuma gimana kamu aja. Kalau kamu masih bisa mengatasi semuanya lebih baik enggak usah ngasih tau, mereka pasti sedih banget ngeliat kamu seperti ini.”
Bella mengangguk apa yang dikatakan Nani benar. Jika di ingat lagi sudah banyak yang Bella lakukan agar bisa menikah dengan Dimas termasuk mengabaikan petuah kedua orang tuanya. Ya, Bella harus menentang orang tuanya karena status keluarganya yang kaya sedangkan Dimas hanya orang biasa. Namun, setelah menikah, orang tua Dimas lah yang sering menghinanya miskin karena orang tua Bella tidak memberikan pesta pernikahan yang meriah saat mereka menikah.
“Bengong aja, aku mau keluar dulu. Kamu mau diam di sini apa ikut aku?” tanya Nani.
“Aku mau ke apartemen, mengambil barang-barangku yang ada di sana. Makasih ya Nan, udah mau nampung aku disini. Aku nggak akan lupa dengan semua kebaikan yang sudah kamu lakukan buat aku.”
Neni menghampiri Bella dan memeluk tubuhnya dengan erat. “Sama-sama, apa aku harus menemanimu ke sana?”
“Enggak usah, aku bisa sendiri, lagi pula aku harus memastikan sesuatu. Kalaupun hubungan kita enggak bisa diperbaiki, setidaknya hubungan kami harus baik. Diawali dengan baik-baik, maka akhirnya pun harus baik pula.
Neni tersenyum, menempuk pundak Bella seolah memberikan kekuatan untuknya. “Kamu cewek yang kuat, aku yakin kamu bisa melewati semua ini.”
“Terima kasih, Neni.”
Tidak ada yang tahu akan isi hati Bella, dunianya sudah runtuh dan mungkin tidak bisa di perbaiki lagi. Hanya saja dia harus tetap terlihat kuat agar mereka tak merendahkan dirinya lagi.
***
Sementara di tempat lain, Dimas hanya diam mendengarkan Ami dan juga Toni yang terus mengoceh menyuruhnya untuk segera mengurus perceraiannya dengan Bella. Tidak hanya Ami yang tidak setuju dengan pernikahan mereka, Toni yang tak lain ayah Dimas pun mulai ikut memprovokasinya.
“Aku masih mencintai Bella, Mah,” ucap Dimas.
“Kamu harusnya sadar, istri kamu itu yang enggak mau lagi sama kamu. Bahkan dia berani keluar dari rumah, setelah kamu memperingatkan dia.”
Toni yang mendengar itu pun mencoba mendekati putranya lalu memegang bahunya. “Tahta tertinggi dalam rumah tangga itu ya suami, kalau kamu saja disepelekan seperti itu sama istrimu lalu kamu mau mempertahankan Bella gitu aja mengabaikan harga dirimu?”
“Pah, Bella itu penurut dan baik. Hanya saja kemarin dia emosi. Aku akan menjemputnya.”
“Buat apa kamu jemput lagi Bella. Pokoknya kamu harus cerai sama Bella titik, Mamah nggak mau punya menantu seperti si Bella itu. Udah mah numpang hidup, enggak becus jadi istri, kurang ajar sama mertua juga!”
Dimas menutup matanya mendengarkan semua ucapan yang terlontar dari mulut Ami dan juga Toni yang terus memojokkan Bella. “Dengar Dimas, wanita di dunia ini tuh masih banyak. Kamu bisa dapetin wanita yang lebih dari Bella,” ujar Toni.
“Udah kamu tenang aja, biar Mamah yang urus perceraian kamu. Papah dan Mamah pergi dulu. Nanti Mamah suruh bi Iyam buat beresin baju-baju Bella. ”Keduanya lalu pergi dari apartemen.
Dimas menyandarkan punggungnya di sofa, ia benar-benar bingung karena desakan orang tuanya yang tidak mau dirinya mempertahankan pernikahannya dengan Bella. Ditengah lamunannya, Dimas tersentak ketika mendengar suara seseorang yang membuka pintu apartemennya.
Sesaat Dimas terdiam ketika melihat Bella yang berjalan ke arahnya. “Bella.”
“Aku mau ambil barang-barangku,” ucap Bella lalu masuk ke dalam kamar mereka.
Dimas mengikuti Bella memperhatikan apa yang sedang ia lakukan di kamar mereka. “Bisa kita bicara?”
Bella menghentikan aktivitasnya lalu duduk di atas ranjang. “Apa pernikahan kita akan berakhir begitu saja?” tanya Dimas.
“Bukannya ini yang kamu inginkan? Aku harap kamu enggak ngasih tau orang tuaku kalau kita sudah pisah. Aku juga akan menandatangani semua berkas perceraian agar semua berjalan dengan lancar.”
“Bel-”
Bella tersenyum, tangannya terulur mengusap wajah Dimas yang sebentar lagi akan menjadi mantan suami. “Aku enggak apa-apa, Mas. Aku ikhlas kamu ceraikan.”
“Maafin aku, Bel.”
Bella berusaha tidak mengeluarkan air matanya melihat Dimas yang menangis hingga tersedu-sedu sambil mengucapkan kata maaf berulang-ulang.
Bella menangkup pipi Dimas dengan kedua tangannya, ia tersenyum lalu berkata, “Mungkin ini hari terakhirku menjadi istrimu, jadi ijinkan aku melayanimu dengan baik. Sebagai pengabdian terakhirku menjadi istrimu.”
Dimas menarik tubuh Bella, memeluknya dengan erat. “Kamu istri terbaiku Bella, maafkan aku yang enggak bisa mempertahankan kamu. Aku enggak mau melihat kamu terus-terusan disakiti oleh mamah,” monolog Dimas.
“Kamu pasti belum makan, aku buatin makanan kesukaan kamu ya?” Dimas mengangguk.
20 menit berkutat di dapur, Bella akhirnya selesai membuat ayam asam manis kesukaan Dimas. Ia lalu menyajikan nasi beserta lauk lainnya ke atas meja. Bella menyendok nasi serta ayam ke piring, kemudian menyimpannya di depan Dimas.
“Kamu enggak makan?” tanya Dimas.
“Enggak, aku cuma pengen lihat kamu makan, Mas. Semoga istrimu nanti pintar memasak dan mengurus rumah, enggak kayak aku,” cicit Bella sembari menunduk.
Suasana menjadi hening, Dimas pun tak berani menimpali ucapan Bella. Ia menyendok makanan ke mulutnya, sembari menepis air matanya yang tiba-tiba saja menetes.
"Makan yang banyak, dan jangan pernah menyesali perceraian kita," ucap Bella lalu beranjak dari kursi. Ia menarik koper yang berisi barang-barangnya.
Dimas pun hanya diam, membiarkan Bella pergi dari apartemen mereka karena Dimas sendiri terluka atas kepergian Bella. Namun, ia tidak bisa menahannya lagi.
Bella berusaha tetap tegar dan tak menangis. Namun, saat dia sudah berada di lift air matanya pun tak terbendung lagi. Bella menangis hingga suaranya menggema di dalam lift.
"Berhentilah menangis!"
Seketika Bella tersentak mendengar suara pria dan mendapati pria yang tak asing baginya sedang berdiri di belakangnya. "Kamu?"
Angga menghela napasnya lalu berjalan mendekati Bella. "Kalau kamu terus menangis seperti itu, sekuriti di luar akan mencurigaiku melakukan hal buruk sama kamu."
Angga merogoh sakunya lalu memberikan kepada Bella. Meski terkesan ketus dan bersikap seenaknya, tapi Angga memiliki sikap yang pengertian.
Bela mengambil sapu tangan yang di berikan Angga. "Terima kasih."
"Kalau sampai kita bertemu lagi dan kamu dalam keadaan menangis, berarti kita berjodoh." Bella berdecak, sudut bibirnya pun terangkat karena pria yang berdiri di sampingnya lagi-lagi membuatnya berhenti menangis. Ya meski sikapnya sering membuat Bella jengkel.
Pintu lift terbuka, tanpa permisi Angga merebut koper yang ada di tangan Bella lalu membawanya ke mobilnya.
"Tu-tunggu, kamu mau bawa kemana koperku?"
Angga menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuhnya menghadap Bella. "Aku akan mengantarmu pulang."
Bella mendelik lalu merebut kembali kopernya. "Enggak usah, terima kasih."
"Hei, tunggu!" Angga mengejar Bella kemudian memberikan ponselnya. "Tulis nomor ponselmu."
"Buat apa?" protes Bella.
"Kamu harus mengembalikan sapu tanganku. Asal kamu tahu sapu tangan yang ada di tanganmu itu harganya 12 juta."
Bella tertawa mendengar ucapan Angga. "Mana mungkin sapu tangan seperti ini seharga—" Bella menghentikan ucapannya ketika melihat merek brand ternama yang terukir di sana. "I-ini."
"Tulis saja nomormu, aku ingin sapu tanganku kembali. Jangan di cuci pake mesin, cukup pakai tangan saja dan jangan lupa memakai pewangi lavender."
Bella berdecak lalu menulis nomor ponselnya di ponsel Angga. "Kalau begitu aku permisi."
"Tunggu, aku belum selesai. Siapa namamu?"
Bella berpikir sejenak, ia tidak mau memberitahu nama aslinya kepada pria yang baru saja ia kenal. "Ara, panggil saja Ara."
Keduanya saling memandang, sebelum akhirnya sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka.