Keadaan kelas sunyi dengan murid yang sibuk mencari jawaban atas soal ulangan harian yang diberikan Bu guru berkacamata minus didepan. Salah seorang siswi terlihat berdiri dan memberikan kertas ulangannya tanda selesai.
“Sudah Inge?”
“Sudah Bu.”
“Kalo begitu, ibu minta tolong ambilkan absen seluruh kelas 12 di ruang guru. Kamu tanya saja sama Pak Andi.”
“Baik Bu.”
Inge beranjak keluar kelas untuk memenuhi permintaan gurunya. Jika kelasnya sedang senyap, lain hal kelas-kelas yang ia lewati sekarang. Banyak diantaranya terdengar riuh entah karena menyahuti guru maupun karena jam kosong. Terakhir ia juga melihat kelas yang kosong dengan beberapa seragam tergantung di kursi. Sepertinya jam olahraga.
Seketika langkah kakinya terhenti. Di kelas paling pojok dekat toilet itu, dengan mata memanas berangsur berkaca-kaca, napasnyapun seakan sulit dihela. Di dalam sana, terdapat dua pelajar—cowok memangku cewek—yang Inge sangat hapal keduanya itu siapa. Tangannya mengepal kuat menahan rasa kecewa dan amarah.
Tidak. Ia tidak mau hilang kendali. Karena kalau sampai terjadi, justru akan ada yang merasa senang. Kembali, lagi dan lagi, Inge mengalah. Menghembuskan napas perlahan, menenangkan diri. Sebelum berlalu, menyempatkan melihat lagi dari balik kaca jendela, tatapannya berubah datar.
•••
Kriiiing...
Tanda berakhirnya proses belajar mengajar sementara alias waktunya istirahat yang ditunggu-tunggu para siswa-siswi akhirnya terdengar juga.
Muda-mudi itu berbondong-bondong keluar kelas setelah bel dibunyikan.
Inge memasukkan peralatan tulisnya sebelum mengikuti jejak teman sekelasnya yang sudah keluar secepat kilat.
“Lo bener udah jadian sama Sachio, Nge?” Inge menoleh pada teman sebangkunya itu lalu tersenyum mengangguk. Temannya itu menghela napas. “Cowok lo udah gak muat dijari gue.”
“Mantan Sekar,” koreksinya.
“Oh iya.” Sekar nyengir kuda.
Keduanya beranjak ke kantin untuk memenuhi kemauan cacing-cacing di perut mereka yang sudah ber-band ria.
Sekar menikmati semangkuk bakso sedangkan Inge lebih memilih pisang cokelat yang ditaburi kacang dan keju diatasnya.
Namun ketika tak sengaja pandangan Sekar menangkap pemandangan menjijikkan baginya, gadis itu membanting sendok dan garpu ke meja hingga menimbulkan gebrakan karena tangannya turut memukul.
“Lo kenapa?” tanya Inge bingung akan aksi temannya yang tiba-tiba itu.
“Pelakor gatal berulah lagi. Lo lihat ke belakang!” Inge menurut. Setelah melihat barulah ia mengerti. “Sumpah Nge, gue udah gak tahan lihat kelakuan cewek b***h itu. Kali ini lo gak akan diem ajakan?” Sekar menunggu reaksi temannya tersebut. Tapi justru gelengan lemah yang membuat Sekar malah makin tersulut emosi.
“Nggak bisa Kar. Kalo gue labrak, dia pasti makin senang dan berulah didepan gue.”
“Tapi kalo diem terus, mau sampai kapan lo bisa damai sama satu cowok? Bulan kemarin aja lo putus sama Rafael. Dan sekarang setelah pacaran baru kemarin, kemarin Nge, lo mau putus lagi?” tekan Sekar terlalu muak bercampur tidak habis pikir. Entah itu pada cewek nggak tahu diri yang suka merebut pacar Inge, ataupun temannya itu. Kenapa coba Inge tidak pernah tegas melabrak si jalang yang melihatnya saja sudah bikin naik darah .
“Mau gimana lagi? Gue cuma bisa diem dan ngalah.” Sekar menghela napas kasar. Hilang sudah napsu makannya. Temannya ini memang terlalu sabar. Dan itu yang terkadang membuatnya meradang dirundung kesal.
“Kar, lo marah sama gue?” lihat, Inge justru mempertanyakan kemarahannya? Apa dia tidak sakit hati melihat cowoknya—yang sebentar lagi jadi mantan—itu lagi kiss kiss-an gak jelas sama si jalang sekolah?
“Enggak Nge. Gue bukan marah sama lo. Gue itu cuma kesel banget sama pelakor onoh. Dan rasanya tuh ya, pengen gue uleg tuh mukannya Sofi rese!” makinya jengkel. Bertepatan dengan itu Sekar melototkan matanya ketika cewek yang dimaksud melihat kearah mereka ditengah-tengah adegan mesranya dengan Sachio. “Pake lirik-lirik lagi tuh jalang! Mau gue colok lo?!” emosinya semakin menjadi. Dan tahu rasanya kemarahan ditahan? Bikin greget!!!
“Udah Kar, gak usah diladenin.” ucap Inge menenangkan. “Lagipula gue berntung tahu semuanya lebih cepat. Dengan ada kejadian ini, gue jadi tau mana yang tulus dan mana yang enggak.” dalam hati Sekar membenarkan ucapan Inge. “
“Lo inget Danu?”
“Mantan lo yang... gue lupa. Kenapa?”
“Dia deketin gue supaya bisa dilirik sama Sofi. Karena dia tau, semua cowok yang berstatus cowok gue, itu pasti diminati Sofi. Dan Danu cuma salah satu dari beberapa.” Sekar semakin prihatin pada temannya itu.
“Lo yang sabar ya, Nge. Gue yakin, Tuhan itu Maha adil. Suatu saat nanti lo pasti dapet cowok yang bener-bener tulus dan setia sama lo. Gue yakin!” keduanya saling tersenyum.
Seperti yang Sekar bilang, ini memang bukan sekali dua kali dia prihatin akan nasib sial Inge yang terus-menerus diganggu si jalang. Bahkan jika menggunakan jari, Sekar jamin kejadian seperti ini lebih dari angka 10. Saking seringnya sampai Inge sendiri lupa dia punya mantan berapa. Intinya Si Rese akan berulah kalau Inge mulai dekat dan menjalin hubungan dengan laki-laki. Entah apa motif jalang gila itu.
Kelakuannya pun benar-benar bikin mual hampir rata-rata semua siswi di sekolah mereka. Bukan hanya seragam yang lebih cocok buat ke klub, Si Sofi rese itu juga punya wajah yang minta ditelan hidup-hidup. Bossy nya minta ampun. Belum lagi gaya sok kecantikannya. Setiap jalan lagaknya sudah seperti Miss Universe. Heh, Sekar rasa bumi akan hancur jika cewek jalang itu yang dinobatkan sebagai Miss Universe. Kalau tidak, mungkin penghuni planet bumi bukan lagi manusia. Melainkan kawanan setipenya.
Sekar tekankan, dia sama sekali tidak melebih-lebihkan tentang Sofi si jalang ini. Sebagai bukti nyata, pernah suatu hari Sekar yang izin ke toilet di jam pelajaran, tidak sengaja melewati toilet cowok yang memang bersebelahan dengan toilet cewek melihat sebuah pemandangan nista. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si Sofi.
Kala itu sayup-sayup ia mendengar suara desahan dan kekehan pelan antara Sofi dan—Sekar lupa namanya. Yang pasti itu target si jalang yang tak lain dan tak bukan pacar Inge.
Namanya juga jiwa kepo nya tinggi, meskipun jijik bercampur berdebar, ragu-ragu Sekar mencoba mengintip melalui cela pintu yang mungkin saking tak sabarnya sampai tak tertutup sempurna.
Tepat saat itu, dengan mata kepalanya sendiri Sekar melihat keduanya tengah berhubungan intim. Posisi Sofi duduk di samping wastafel, yang tiga kancing atas seragamnya sudah terlepas. Belum lagi rok abu-abunya yang sudah naik dengan sosok laki-laki yang masih berseragam lengkap berdiri memeluknya dari depan dan Sekar enggan menjelaskan lebih detail.
Tidak sanggup lagi mendengar rintihan yang semakin menjadi, Sekar memilih pergi sedikit berlari sambil bergidik-gidik ngeri.
Beruntung esok harinya ia tidak bintitan karena peristiwa tersebut.
Satu yang membuatnya tak habis pikir. Melakukan seperti itu di sekolah apa mereka tidak takut kalau sampai kepergok?
Tetapi sepertinya wajar mereka tidak takut. Untuk manusia-manusia yang mengedepankan hasrat pasti otaknya buntu enggan memikirkan hal lainnya. Seakan-akan hidup ini hanya untuk memenuhi hawa nafsu.
Sangat miris.