“Bukankah mencari uang sangat sulit?”
Pertanyaan itu terlontar dari bibir seorang perawat yang sudah lumayan berumur, seraya mengusap-usap tangan wanita yang duduk di sisinya, di halaman samping rumah sakit yang lumayan ramai.
Beberapa pasien yang sudah lumayan sehat duduk di kursi-kursi panjang yang tersedia untuk menghirup udara segar. Entah bersama perawat, rekan, atau keluarganya yang datang. Wajah-wajah pucat dengan berbagai raut dan tatapan mata yang berbeda. Namun, satu hal yang pasti, berdiam diri di halaman itu membuat tatapan mereka lebih hidup.
Memang tempat tersebut sengaja ditata sedemikian cantiknya agar para pasien merasa tenang setelah mungkin berhari-hari mendekam di bangsal. Dengan berbagai macam bunga yang tumbuh di sepanjang jalur yang dibuat khusus, beberapa pohon palem dan pohon-pohon kersen yang tangkainya melebar dengan daun yang begitu lebat, juga air mancur dari mulut patung ikan koi. Siapa pun yang berpikiran untuk menciptakan tempat tersebut, hatinya pasti tulus.
“Lihat, tangan kamu menjadi kasar seperti ini, Ze. Oh, gadis cantik yang malang,” gumam si perawat kembali. Membuat wanita berkemeja biru bernama Zefanya tersenyum simpul. “Kamu pintar dan cantik. Kamu bisa mencari pria kaya dan menikah dengannya ketimbang harus kerja kasar seperti ini, Sayang.”
Zefanya hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan perawat baik hati yang mengetahui sebagian kesulitan yang dirinya alami sejak muda. Dia orang pertama yang memeluk Zefanya saat dirinya nyaris putus asa ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah sakit, ketika ayahnya ditangkap atas tuduhan korupsi, dan ibunya terkena serangan panik yang hebat.
Kala itu, seluruh dunia terasa mengejeknya. Teman-temannya hilang, keluarganya lenyap, dan tatapan nyalang penuh penghakiman ditunjukkan padanya seolah dia ikut andil atas kesalahan yang ayahnya perbuat.
Zefanya tidak memiliki siapa-siapa lagi, tetapi perawat itu… dia menepuk pundak Zefanya muda yang bergetar hebat di depan ruangan ibunya. Dia tersenyum tipis, tetapi terasa begitu tulus sehingga air mata yang Zefanya tahan-tahan akhirnya meluruh.
“Kamu anak yang kuat. Tidak apa-apa. Kamu bisa melaluinya. Pundakmu mungkin sempit, tapi dia kuat. Dia bisa menanggung beban sebesar apa pun, percayalah….”
Pada detik itu, Zefanya tahu, dia tidak sendirian. Dia memiliki dirinya sendiri, juga memiliki orang lain yang juga peduli. Meski sulit, dia tetap menegakkan bahu, dan menghadapi dunia dengan langkah berani.
“Saran sesat macam apa itu, Mbak Ran?”
Zefanya dan Mbak Rani—perawat tersebut—menoleh ke belakang saat suara bariton yang mereka kenal menginterupsi pembicaraan mereka. Senyum keduanya terbit begitu melihat siapa gerangan yang datang dengan tiga cup kopi di tangannya.
“AH!” Mbak Rani tiba-tiba berseru. “Bagaimana kalau kamu menikah dengan Dokter Raka saja?”
Zefanya dan Raka saling melempar pandang seketika. Kemudian, gelak keduanya terdengar.
“Saya tidak kaya, Mbak,” jawab Raka sembari menyerahkan kopi yang dia bawa, satu pada Zefanya, satu pada Mbak Rani.
Mbak Rani sedikit memicing jenaka. “Jangan bohong,” katanya. “Ayahnya Mas Raka, kan, mantan direktur rumah sakit ini? Belum lagi punya bisnis lain di luar sana. Mana mungkin tidak kaya,” tukas Mbak Rani ringan, kemudian meniup kopinya dan menyeruputnya sedikit.
“Ya, itu kekayaan ayah saya, bukan saya,” balas Raka dengan senyuman tipis beserta lesung pipinya yang manis. “Pendapatan saya, ya, seperti dokter spesialis pada umumnya.”
Pria berusia 32 tahun itu mengangkat bahu santai. Lantas menghidu aroma kopi dari cup yang dia pegang. Terlihat sangat tenang, seolah tengah mencumbui seluruh rasa dan aroma yang memikat di balik pahitnya kopi tersebut. Dengan caranya sendiri, Raka menjadi tampak begitu mengagumkan di mata orang-orang. Bagi sebagian perempuan, mungkin dia adalah cinta pertama yang bayangannya saja tak mampu mereka gapai. Raka bagaikan keindahan di atas awan, hanya mampu dikagumi, tanpa bisa disentuh, apalagi dimiliki.
“Bukannya kekayaan ayah Mas Raka sama saja punya Mas Raka, ya? Toh, Mas ‘kan, pewaris tunggal?”
Ketika Raka akhirnya terdiam kelu, kekehan geli Mbak Rani terdengar. “Tuh, kan? Ayo, Ze, mending nikah saja dengan Dokter Raka. Hidup kamu pasti terjamin, biaya pengobatan Ibu juga sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi.”
“Mbak Rani ini, bisa saja,” komentar Zefanya, tersenyum lebar menatap Raka yang juga tengah menatapnya. “Aku sudah punya banyak hutang pada Dokter Raka. Bagaimana bisa aku menikah dengannya? Lagi pula, dia sudah seperti teman bagiku.”
“Apakah teman tidak bisa menikah?” kejar Mbak Rani, membuat Zefanya menghela napas dalam-dalam.
“Astaga, Mbak ngebet sekali mencomblangkan aku dengan Dokter Raka.”
“Soalnya kalian berdua cocok.” Wanita berusia sekitar awal 40-an itu tersenyum.
Zefanya sendiri hanya berdecak. “Cocok dari mananya? Ngaco nih, Mbak Rani!”
“Kalian sama-sama berpenampilan menarik, tapi tidak terlihat punya ketertarikan untuk berpacaran.”
Uhuk! Zefanya tersedak kopi yang baru dia seruput sedikit. Lantas melirik Mbak Rani dan Raka sebentar.
“Sudahlah, sudah. Pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya.” Raka melerai, berusaha menghentikan Mbak Rani sebelum dia semakin jauh dan membuat Zefanya mau pun dirinya kehabisan kata-kata. “Bagaimana dengan pekerjaan yang aku sebutkan kemarin di telepon, Ze? Tante Dara sudah bertanya lagi soal ketersediaan kamu.”
“Ah, iya. Itu … kamu tidak bohong, kan, soal upah yang kamu sebutkan?” Zefanya tanya.
“Memangnya aku bisa berbohong terkait hal itu?”
“Ya, tidak, sih. Tapi tidak masuk akal saja, hanya menjadi asisten tapi bayarannya lumayan besar. Belum lagi tidak mementingkan latar belakang pendidikan. Di zaman sekarang, rasanya itu mustahil.”
Raka terkekeh. “Nathan bermasalah dengan sesuatu yang disebut kepercayaan. Makanya itu, dia lebih memilih seseorang yang memiliki karakter baik daripada berpendidikan tinggi.”
“Lalu, apakah mungkin aku dapat dia percayai?”
“Kenapa tidak? Iya, kan, Mbak Rani?” Raka melirik Mbak Rani, meminta persetujuan darinya.
“Betul. Mas Raka pasti merekomendasikan kamu karena kamu wanita yang baik, Zefanya. Dia percaya kinerja kamu baik, dan kamu tidak mungkin menghancurkan kepercayaan orang lain.”
“Benarkah? Apa aku dapat dipercaya dan diandalkan?” Zefanya melirih, lebih ke mempertanyakan hal itu pada dirinya sendiri. Tapi baik Raka mau pun Mbak Rani masih bisa mendengar hal itu.
“Tentu saja. Dan kamu tidak usah khawatir, Nathan orang yang baik. Dia akan memperlakukan kamu dengan layak.”
“Ah, baiklah. Semoga benar seperti itu.”
“Semangat, Zefanya!”
“Yes, semangat!” Zefanya ikut mengepalkan tangan dengan antusias. Lalu tertawa bersama dua orang yang selama ini menemaninya melewati masa-masa sulit.
***