“Terima kasih teh hangatnya, dan—” Kikan menatap ke bahu Halim yang terkena air hujan, “sampai baju kamu basah, mengantarku ke sini.”
“Aku belum mandi, jadi ini tidak apa-apa.”
Kikan tersenyum sambil melambaikan tangan, tentu saja tidak dapat balasan dari Halim yang memilih memasukkan tangannya ke salah satu saku celana.
“Aku pergi,”
Halim mengangguk, “hati-hati, hujan buat jalan jadi lebih licin.” Pesannya.
Halim menatap mobil Kikan yang melaju, di tengah hujan ia berdiri sembari memegangi payung yang tadi dipakai berdua. Halim memilih berbalik, melangkah kembali ke apartemennya. Menutup pintu, ia melipat Payung dan menyimpan di gantungan dekat pintu.
Ia melangkah meraih cangkir di atas meja, kopi tadi tidak cukup membuatnya kenyang jadi Halim memutuskan membuat sarapan. Ya, begitulah kesehariannya selama bertahun-tahun tinggal di sana. Dulu, Lou juga melanjutkan pendidikan di universitas yang sama. Mereka tidak tinggal bersama, Lou di asrama wanita yang ada dekat universitas.
Namun, tidak jarang Lou menginap di tempatnya. Sampai hubungan mereka berakhir, Halim menjaga Lou dengan baik meski sebagai pria biasa sudah pasti ada sisi ingin menyentuhnya, terutama Lou yang lebih sering mulai lebih dulu.
“Kita akan menikah, Halim. Kenapa kamu masih menahan diri? Teman-teman kita bahkan sudah tinggal dengan pacarnya, aku sudah siap kalau kamu mau—”
“Ssttt!” Halim menutup mulut tunangannya, mereka baru saja berciuman panas, foreplay bahkan Lou ada di atas tubuhnya, menduduki perutnya. “Tidak, Lou.”
“Aku kurang menarik?” tanyanya sambil mengerjapkan mata.
Halim tersenyum, membelai pipi tunangannya, menyingkirkan helai rambut panjang ke sisi telinganya. “Aku mencintaimu, jadi aku tidak akan merusakmu. Kita akan melakukannya setelah menikah.”
“Halim…”
“Biarkan saja jika teman-teman kita sudah melakukannya, prinsip hidup mereka memang khas orang barat. Kita dari timur. Ada banyak cara untuk menunjukkan cinta selama hubungan kita masih bertunangan.”
Lou mencebikkan bibirnya, alih-alih menyingkir justru kedua tangan di bahunya tertuju menekan pipi Halim. “Kamu yang kayak gini, buat aku makin cinta!”
“Oke, bisa turun sekarang?”
“Kiss dulu!”
“Lou!”
“Sadarlah Halim, semua sudah masa lalu, Lou bahkan sudah menikah sekarang!” gumamnya. Dia berpegangan pada sisi meja, erat. Dia tidak pernah menyesal sudah menjaga Lou, tidak menyentuhnya melebihi batas.
Dua belas tahun, dia menjaga Lou dengan baik. Kalau kata kembarannya, definisi menjaga jodoh orang lain. Ya, sebutan yang amat tepat untuknya.
Halim mendesah, lalu mengernyit saat mencium bau gosong.
“Ckck!” Karna melamun, telur yang sedang ia masak gosong. Halim segera mematikan kompornya.
Ia menatap telur yang tidak layak makan itu, “aku merindukan masakan Bunda,” gumamnya.
Sudah malas masak lagi, akhirnya dia pilih makan roti gandum dengan selai. Menyelesaikan itu dan pilih kembali berbaring lagi di ranjangnya, ia memainkan ponsel. Mengirim pesan pada Bunda Amira.
[Bun, aku kangen makan masakan Bunda]
“Juga kangen rumah,” bisiknya. Apa yang sebenarnya dia tunggu? Hamish benar, Lou sudah benar-benar memilih hidupnya. Lalu, Halim? Masa ia akan terus meratapi kisah cintanya yang sudah kandas? Namun, move on pun tidak semudah itu sebab satu-satunya wanita yang dekat dan dia cintai selama dua belas tahun ini hanya Lou.
Halim menyimpan ponselnya, memejamkan mata. Ketika itu wajah Felora terbayang dengan suara riangnya, ‘Uncle dokter!’
Sudut bibir Halim tertarik, matanya terbuka lagi. Anak manis itu memang seolah punya sesuatu yang membuat suasana hatinya membaik. Melupakan sejenak rasa sakitnya. Bahkan terlalu mudah untuk membuat seorang Halim tersenyum hanya karena melihat senyumnya.
“Ternyata pintar bicara anak manis itu, berasal dari Kikan.” Halim salah menilainya di awal, ia pikir Kikan gadis yang kalem, pendiam. Ternyata, ada saja yang wanita itu bahas. Halim rasa bukan cara bicara saja yang menurun dari Kikan, kuatnya Felora menghadapi garis semesta, berasal dari Kikan.
Dua wanita yang tak asing, seolah menjadi teman baru dalam kehidupannya.
Halim akhirnya mengambil ponsel lagi, mengirim pesan pada Kikan.
[Kikan, Sabtu ini aku libur. Aku rasa, waktu yang tepat untuk berkunjung ke rumahmu.]
Kikan pasti masih menyetir, belum sampai kantornya, dia bekerja di sebuah Wedding Planner. Halim jadi ingat pembicaraannya tadi.
“Kamu bekerja di mana?”
Kikan mengambil sebuah kartu nama, “Wedding Planner. Jangan ketawa ya, orang yang pernikahannya gagal, justru membantu pasangan lain untuk mewujudkan pernikahan Impian mereka. Lucu, kan?”
“Tidak, justru saya yakin dari kegagalan kamu, kamu ingin orang lain berhasil.”
Kikan meminum tehnya dengan elegant, “ya,”
“Kenapa tidak melanjutkan usaha orang tuamu?”
“Saya hanya memegang beberapa persen sahamnya, orang lain yang terpilih gantikan Pipi. Sebenarnya cukup sekali untuk pemasukan tiap bulannya, tetapi, dengan kondisi Felora, semakin tahun, pengobatannya semakin lumayan. saya harus punya tabungan yang menjamin hingga suatu hari nanti Felora dapat pendonor jantungnya.”
Setiap kali membahas Felora, Halim melihat mata berkaca-kaca Kikan. Tampak kuat dari luar, aslinya Kikan rapuh. Dia hanya berusaha kuat demi putrinya yang manis.
“Ayah dari Felora juga tidak pernah turut membiayai? Sorry kalau pertanyaanku terkesan ingin tahu.” Lanjut Halim hati-hati.
Kikan menggelengkan kepala pelan, “dia bahkan tidak pernah menanyakan keadaan Felora.”
Halim kemudian diam, Kikan meletakan cangkirnya.
“Teh buatan kamu enak, kopimu juga aromanya enak. Sayang saya tidak suka kopi.” Kikan mengalihkan pembahasannya. “sudah siang, saya pergi ya. Thank buat tehnya.”
Halim mengangguk, “payungnya hanya satu, kamu mungkin mau pakai—”
“Keberatan kalau saya diantar saja?”
Kening Halim mengernyit, “ya?” tidak mengerti maksud ucapan wanita di depannya.
“Pakai payung berdua.”
Itu tadi permintaan yang terdengar aneh dan pastinya menimbulkan rasa canggung. Namun, Halim tetap mengiyakan. Memastikan Kikan tidak terkena basah, membiarkan bahunya dan belakang punggung Halim sendiri terkena percikan hujan tetap basah.
Drrtttt! Drrrttt!
Pesan balasan Bunda Amira dan Kikan masuk bersamaan. Halim membalas pesan dari Bunda Amira, dengan menanyakan keadaannya dan Ayah.
Ujungnya Halim tidak jadi tidur dan memilih untuk bersih-bersih rumah, udara yang dingin membuatnya tidak berkeringat meski sudah banyak yang dikerjakan. Hingga waktu tidak terasa, Halim segera bersiap-siap untuk ke rumah sakit. Tahun depan, mungkin Halim baru siap untuk kembali ke Jakarta, sekarang ia hanya akan terus melanjutkan hidupnya dengan segala aktivitas di sana yang jika bisa bantu melupakan masa lalunya.
Halim melihat ke luar jendela, “hujannya sudah reda.” Tepat dia akan berangkat.
Halim ada mobil, tetapi lebih suka bersepeda sampai halte bus atau stasiun kereta bawah tanah.
***
Beberapa hari kemudian…
“Kamu belanja, Oma sudah buat daftar belanjanya.”
“Iya, Oma.” Kikan mendekat, membaca catatan Oma yang dikirimkan melalui pesan, mendapati daftar yang panjang buat Kikan berdecak, “banyak sekali? Ini cuman dinner, tambah satu orang, Oma! Sudah seperti akan tambah sepuluh orang!”
“Sekalian buat stok, kita masak makanan indo saja, dokter Halim pasti rindu makanan Indo.” Kata Oma.
Kikan menatap putrinya yang sedang memainkan Barbie, “Felo mau temani Bunda belanja?”
Felora langsung menghempaskan bonekanya dan melompat-lompat, “Mau… ikut! Ikut!”
Kikan mengangguk, segera menggantikan pakaian putrinya.
“Oma tebak, pasti kamu tidak jadi bicara dengan dokter Halim tentang membatasi kedekatannya dengan Felo, kan?”
Kikan hanya mencebik, “bukan tidak jadi, tapi belum.” Bantahnya.
Oma jelas mengenalnya, hanya menggelengkan kepala saja, “Kamu tidak bisa bohong sama Oma.”
Felora kembali membawa ikatan rambut dan sisir, Kikan langsung memintanya duduk dan tangannya lihat mengikat rambut Felora. Lalu dia menunduk, “bagaimana kalau sekalian kita ke salon, potong rambut Felora, ya?”
“Ndak mau!”
“Eh, Sabtu ini Uncle dokter datang lho. Felora bisa tunjukkan wajah baru. Pasti Uncle dokter bilang cantik.”
“Iya, Bunda?”
“Iya, Uncle bilang datang dari siang, biar bisa main sama Felora.”
Felora bersedekap, dengan satu jari mengetuk-ngetuk dagunya, “lihat gayanya seperti orang dewasa.” Decak Oma.
Kikan tersenyum, yakin kali ini akan berhasil. Ketika kepala putrinya mengangguk. Kikan dan Oma saling tatap.
“Waw, sepengaruh itu ya Uncle dokter.” Kata Oma, “sampai-sampai kamu membujuknya dengan berbagai cara saja gagal.”
Kikan menghela napas dalam, “entah ada apanya dokter Halim ini, Felora seperti tersihir.” Cibirnya, Felora sudah duduk tenang lagi sampai Kikan selesai mengatur rambutnya.
“Terpenting bawa dampak positif lho buat Felo. Dia semangat control ke rumah sakit, sekarang mau dirapikan rambutnya.” Oma mendekat, mencium pelipis Felora.
“Ya,” angguk Kikan, “Bunda ambil tas dulu.” Kikan berlalu ke kamarnya lagi.
Oma menatap Felo. “Fel,”
“Ya, Omaaa!”
“Felo mau sering bertemu sama Uncle dokter?”
Kepala Felora mengangguk, “iya Oma!”
“Kalau Uncle dokter jadi Ayah Felora, mau?”
Felora mengerjap, “Ayah?”
“Iya, tinggal bersama Felora. Jagai Felora dan Bunda.”
Anak itu terdiam, kemudian tersenyum dengan menunjukkan deretan giginya yang rapi dan bersih. Oma mengusap kepalanya, “tapi, jangan bilang ke Bunda, Oma yang bilang ya…”
Kepala Felora kembali mengangguk, entah dia mengerti atau tidak yang Oma katakan. Anak itu diam saat Kikan kembali, mata Kikan memicing curiga, “apa yang kalian bicarakan?”
“Tidak ada, Oma hanya bilang Felora jangan minta cokelat nanti. Kemarin dia sudah makan cokelat.” Jawab Oma.
“Iya, Fel?”
Felora mengangguk. “Iya, tapi es krim boleh Bunda?”
Kikan dan Oma menghela napas sama-sama.
“Sedikit aja, Bunda.”
Kikan meraup tubuh anaknya, dalam gendongannya. “Sedikit itu seperti apa memang? coba jarinya?”
Anak manis itu menunjukkan jarinya semula satu jadi lima. Kikan gemas menciumi pipi dan leher Felora sampai anak itu tertawa, kewalahan menjauhkan kepala Kikan, “dah, Bunda!”
“Bolehnya satu, kalau lima artinya banyak bukan sedikit.”
“Iya, eh mau dua deh, Bun!” Putrinya mulai pandai menawar.
“Dua? Buat Bunda ya satunya?” tebak Kikan.
Kepalanya menggeleng, “Uncle dokter, Bunda beli sendiri aja!”
“Lho kok begitu? Felora lebih sayang Uncle dokter sekarang nih?”
Felora melingkarkan tangan kecilnya di leher Kikan, lalu menciumi pipi ibunya, “Muaccchh! Muacchhh! Sayang bunda banyak-banyak!”
Kikan tersenyum, mencium balik putrinya kemudian menurunkan Felora di kursi mobil. Begitu saja dia sudah bahagia, apalagi bila ada keajaiban Felora bisa sepenuhnya sehat.
“Nanti beli es krimnya tiga eh empat. Buat aku, Bunda, Oma dan Uncle dokter.” Sepanjang jalan Felora menghitung berapa banyak es krim yang harus ia beli untuk orang-orang yang disayanginya.
"Aku suka es krim rasa cokelat, bunda suka vanila. Kalau Uncle dokter suka rasa apa, Bun?"
Kikan menggeleng, "Bunda tidak tahu."
"Telepon aja, tanya Uncle dokter!" Pinta Felora.
"Uncle pasti lagi sibuk, kerja. Kita beli rasa cokelat saja. Umumnya orang-orang suka rasa cokelat." Pasti Halim juga, pikir Kikan. Di banding ia harus menelepon hanya untuk menanyakan rasa favorit es krim Halim.
"Sama kayak Fel, suka cokelat!" Pekik Felora dengan semangat.