Cinta yang Habis

1635 Words
“Lou…” Sebuah teguran membuat gadis cantik berada bersamanya tersenyum tanpa rasa bersalah sudah mengganggu. Sambil meraih buku tebal yang sedang Halim baca. Mereka sedang di perpustakaan kampus. “Kamu tidak bosan baca terus?” Satu alis Halim naik, “really? Aku dengar kalimat ini dari mahasiswa kedokteran?” Lou terkekeh, lalu ia menyelipkan satu tangan di lengan Halim juga melekatkan kepala di bahunya, “aku jadi dokter juga karena kamu,” “Aku?” “Ya, juga keluargaku.” Tatapan mata mereka melekat satu sama lain, lalu jemari Lou mencubit ujung hidung Halim, “Halim,” “Hm?” “Pernah tidak, kamu membayangkan suatu hari nanti kita berdua tidak bersama?” “Tidak pernah.” Halim menjawab langsung. “Ya ampun jawabannya kaku sekali.” “Aku jujur, aku memang tidak pernah membayangkan wanita lain yang akan jadi pasanganku.” Lou tersipu mendengarnya, meski Halim mengatakan dengan ekspresi kaku. “Bisa banget buat aku merasa begitu dicintai.” Halim mengulurkan tangan, menguap pipinya, “aku sudah jawab pertanyaan kamu, sekarang kembalikan bukunya,” Kepala Lou menggeleng pelan, “mending kita pacaran sebelum kelas jam dua nanti,” “Lou—” Halim tidak bisa menghentikannya, terutama saat Lou berdiri dan menarik tangannya. Drrttt! drttttt! Dering dan getaran ponsel membangunkan Halim, kelopak matanya belum terbuka saat tangannya mencari keberadaan ponsel. Ia meraihnya barulah membuka mata hingga menemukan panggilan video dari kembarannya. Hamish. Halim segera menjawabnya, wajah bantalnya membuat orang di layar ponsel tersebut langsung bisa menebaknya, “aku mengganggu tidurmu?” “Ya,” tidak perlu berbasa-basi bila dengan Hamish. “Jam berapa pulang?” Hamish juga tak akan langsung batalkan telepon meski Halim bilang begitu. “Malam, kenapa?” suara Halim agak serak. Hamish tidak langsung menjawab saat seorang wanita cantik yang dinikahi saudara kembarannya itu muncul membawa seorang balita, “Lea, apa kabar?” “Hei Halim, aku baik.” Lea tersenyum, turut membungkuk untuk bisa menyapa Halim, “kamu?” “Lagi masa-masa jadi zombie.” Jawabnya. Membuat Lea terkekeh. “Jaga kesehatan ya,” “Perhatian banget.” Hamish mencebik, membuat Lea mencubit bibir suaminya hingga mengaduh sebal. Halim jadi saksi kisah keduanya yang bak musuh dulu, kini jadi saling butuh dan mencintai. “Masih aja cemburu,” decak Halim menanggapi juga. Sayangnya Lea harus pamit ketika mendengar tangisan balita lainnya, kembaran dari anak balita yang ada di pangkuan Hamish. “Nanti kita bicara lagi ya, Halim. Izz lagi agak rewel.” “Oke, titip sayang buat Izz.” Angguk Halim. “Hei,” suara Halim membuat anak kecil manis di pangkuan Hamish menatapnya dan tersenyum. Kemudian tangan-tangannya itu bergerak ingin merebut ponselnya. “Izz kenapa?” “Flu dan demam, makanya lagi LDR sama Hansika.” Jawab Hamish khas dirinya yang suka sekali bercanda. “Biar tidak tertular,” “Iya, padahal ini saja udah mulai demam.” Kata Hamish. Putrinya tidak mendapatkan ponsel ayahnya, memilih sibuk memasukkan tangan ke mulutnya hingga basah. Sangat menggemaskan. “Kenapa?” tanya Halim, yakin ada tujuan Hamish meneleponnya. “Hm, kamu sudah dengar tentang Lou?” Beberapa bulan lalu Halim mendengar kabar duka akan kematian Kakek Lou, satu-satunya penghalang hubungannya dan Lou hingga kandas saat pernikahan mereka sudah dirancang, bahkan sebelum kembarannya menikah, Halim dan Lou sudah tunangan dan mempersiapkan pernikahan. “Halim, belum terlambat jika kamu dan Lou memutuskan kembali.” Halim mungkin bisa menyembunyikan perasaan dari siapa pun, keadaan hatinya, tetapi Hamish meski punya sikap yang bertolak belakang dengannya, mereka tetaplah saudara kembar identic. Bisa merasakan satu sama lainnya bila ada yang sedang tidak baik-baik saja. “Aku tidak bisa,” tolak Halim. “Kamu masih mencintainya,” “Aku sudah mengatakan pada Lou, pada hari ia memutuskan menyerah pada hubungan kami. Aku akan berhenti mengejarnya, memintanya kembali.” Ujar Halim sambil kembali mengingat titik luka dihatinya berada hingga sekarang. Termasuk Halim sudah berjanji pada ayahnya. “Halim—” “Kenapa hanya harus aku yang berusaha?” Halim mempertanyakan, jika memang Lou berpikir masih ada kesempatan, setelah kakeknya tiada, wanita itu harusnya mencari dia. Menghubunginya. Tetapi, tidak sama sekali. Bahkan pesan Halim menyampaikan duka saja tidak dibalas. Hamish diam karena tidak punya jawaban. “Sudahlah, berhenti membahasnya—” “Minggu ini pernikahan Lou dan Ardi Prasetyo, Lou datang menemuiku di kantor. Dia sendiri yang mengantar undangannya, Ayah dan Bunda juga di undang. Ketika kutanya berapa persen perasaannya siap jalani pernikahan ini, yang bukan denganmu, dia justru terdiam. Aku yakin diamnya karena sebenarnya ia pun masih mencintaimu, Halim.” Pegangan pada ponsel mengerat, ia menahan napas sejenak ketika dengar info dari kembarannya. Sementara Hamish menghela napas dalam juga setelah mengatakannya. Ia melihat mata saudaranya yang justru menghindar. “Halim, dua belas tahun kalian bersama. Aku sungguh menyayangkan akhirnya seperti ini.” Hamish memang dekat dengan Lou juga. “Lou sudah memilih jalannya, bukan bersamaku.” jawab Halim dengan suara yang serak. “Kalau mau menangis—” “Aku tidak cengeng,” bantah Halim. Hamish terkekeh, coba mencairkan suasana. “Ya, kalau kamu mau menangis, aku siap menyaksikan. Kapan lagi lihat kamu menangis?!” “Aku tidak cengeng sepertimu.” “Aku menangis hanya saat Papa Putra sakit dan Lea melahirkan, itu bukan cengeng tetapi bentuk menghargai perasaanku. Aku gini-gini kan manusia,” “Tumben sadar diri jadi manusia, bukannya buaya?” balas Halim. Membuat Hamish mengumpat. “Astaga, Hansika… lihat Papi disangka buaya. Ganteng begini juga?!” Hamish mengadu pada putrinya. Hansika hanya menatap papinya tidak mengerti. Ketika masih bicara dengan Hamish, berhasil menyamarkan perasaannya yang sakit mendengar pernikahan Lou yang akan di lakukan minggu depan. Tetapi, ketika Hamish menyudahi panggilan karena Hansika yang mulai bosan, menangis, panggilan berakhir, rasa sakit kembali menemaninya. Halim menatap layar ponselnya, menatap sederet nomor sang mantan tunangan. Cinta seorang Halim seperti sudah dihabiskan untuk wanita itu, ia yakin tidak akan bisa mencintai wanita lainnya. “Dua belas tahun, Lou…” bisiknya, beralih pada potret maupun video kenangannya bersama Lou, “bukan aku yang meninggalkanmu, menyerah pada hubungan kita. Tapi, kamu… andai, kamu bisa bersabar sedikit saja, mungkin kita sekarang sudah bersama dan menikah.” Halim memejamkan mata, mengeratkan pegangan di ponsel dan air mata yang ia pikir tidak akan pernah luruh pun jatuh. Ia menarik napas dalam demi bisa menyingkirkan rasa sesak yang begitu memenuhinya. Halim punya janji pada Bunda Amira, jika ia tetap akan menjalani hidupnya. Salah satu yang buat Halim terus melangkah. Walau orang bilang ia hanya menjalani hidup. Dia terus bergulir menggeser foto di ponselnya sampai ke foto terbaru dan satu-satunya yang berbeda. Foto gadis manis yang tengah tersenyum. Foto itu di ambil dua minggu lalu saat Halim bertemu dengan Kikan dan gadis manis tersebut. Mereka berjalan-jalan di taman. Tiba-tiba Felora minta foto bersamanya, Halim tidak keberatan dan Kikan lah yang mengambilkan foto mereka berdua. “Gadis kecil ini, entah mengapa aku seperti langsung tidak asing.” Malah kini Halim merindukannya, ingin bertemu dengan Felora. Seolah senyum Felora punya sihir, perasaan Halim membaik. “Apa aku harus menghubungi Kikan? Untuk bisa bicara dengan Felora?” bisiknya mempertimbangkan. Halim mencari kontak Kikan, belum pernah ada ruang chat karena mereka tidak berkomunikasi selain hanya saling simpan nomor. Sayangnya niatnya itu terhalang rasa bingung. Halim pilih meletakan ponsel kembali, baru akan memejamkan mata ponselnya berdering. “Siapa lagi?” bisiknya dan kembali meraihnya. Kening Halim mengernyit melihat nama Kikan dengan potret mereka berdua. Halim segera menjawabnya, “Hallo, dokter Halim…” suara lembut Kikan menyapa. “Ya,” “Hm, maaf bila saya mengganggu—” “Bunda… Uncle jawab teleponnya? Felo mau.. mau!” suara Felora terdengar jelas seolah menegaskan berada disisi Kikan. Sepertinya Halim tahu tujuan Kikan menelepon, sama sepertinya yang merindukan gadis kecil nan manis itu, begitu pun sebaliknya. “Sebentar ya sayang, Bunda pastikan dulu dokter Halim tidak sedang sibuk. Kita tidak boleh mengganggunya.” Kikan memberi penjelasan pada putrinya. Halim mendengarkannya. “Dokter Halim, begini—” “Mana Felora? Dia mau bicara dengan saya?” “Apa tidak mengganggu?” “Tidak sama sekali, saya sedang santai. Kikan, videocall saja.” “Oh iya, sebentar ya…” Kikan langsung mengalihkan ke panggilan video. Halim menjauhkan ponsel dengan jarak yang pas dan tidak lama wajah Kikan lebih dulu yang muncul. Tanpa make up dan masih memakai baju tidur, Kikan tersenyum dan mengucapkan, “terima kasih, dokter.” Lalu ponsel berpindah pada Felora, “Uncle dokter!” Sudut bibir Halim seketika tertarik membentuk senyum yang lebar. Gadis itu bagai malaikat kecil yang punya sesuatu dalam tatapan polos juga murni, serta senyumannya. Tidak sulit untuk Halim menyayanginya. “Felora, kangen sama Uncle?” “Iya, iya! Kangen banget. Felo mau telepon dari kemarin, tapi Bunda larang terusss.” Katanya dengan semangat bercerita. Kikan yang masih di sisinya tampak merengut, “Bunda larang karena takut mengganggu dokter Halim.” Ibunya itu langsung meluruskan. “Aku memang ganggu?” tanya Felora dengan mata bulat bersinarnya. Halim menggeleng pelan, “tidak sama sekali, Uncle justru senang dapat telepon dari Felora.” “Tuh kan, Bunda! Uncle senang juga!” katanya. Usianya baru memasuki empat tahun tapi sudah sangat pintar bicara. “Uncle, besok aku ke rumah sakit. Felo mau ditemani uncle dokter.” “Felo…” tegur Kikan yang tampak terkejut putrinya tiba-tiba meminta hal itu pada Halim. Kikan menatap Halim, memberi ekspresi sungkan, “Besok kita bertemu di rumah sakit, kamu bisa kabariku jam berapa Felora bertemu dokternya?” Dokter yang menangani Felora, salah satu dokter seniornya. “Kamu serius mengiyakan Felora? Tidak usah, dokter. Saya tidak enak, Felora minta yang aneh-aneh.” Kikan takut Felora semakin manja pada Halim yang belum lama mereka kenal. “Jika kehadiran saya bisa buat Felora semangat menjalani pengobatannya, buat dia semakin berani dan kuat, saya siap mengiyakan segala permintaan Felora.” Kikan tampak terkejut mendengarnya, begitu juga Halim yang kalimat tersebut begitu saja keluar dari mulutnya. Namun, tentu saja dengan tulus dari hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD