“Kakek kamu sudah kelewatan kali ini, Lou!”
Louisa—tunangannya hanya bisa menunduk, terisak. Halim mengusap wajahnya, “mengirim orang-orang untuk menculikku, lalu salah sasaran dan kembaranku terluka!”
“Maaf, hanya ini yang bisa aku lakukan… Halim.” Lirihnya.
Halim seketika merasa lidahnya kaku, semalam kembarannya di serang beberapa orang yang ternyata mengincar dirinya. Baru ia tahu adalah orang-orang yang dikirim Kakek Lou. Menyalahkan Lou pun tidak benar, karena Lou tidak bertanggung jawab atas tindakan kakeknya.
“Mau sampai kapan, Lou? Kakekmu masih belum bisa menerima diriku.”
Lou tidak punya jawaban untuk itu, selain menyeka air matanya.
“Dia tidak punya pilihan, ini untuk menyelamatkannya maupun nama keluarga kami.”
“Ayah dan keluargaku tidak akan melepasnya, pasti akan mempermasalahkan ini—” Halim tercengang ketika Lou meraih tangannya dan memohon. “—Lou! Kamu tidak mungkin mau aku dan keluargaku melepasnya, kan?”
“Demi aku, tolong bicaralah pada Ayah Kaflin untuk menarik laporannya.”
“Lagi, Lou. Kamu melakukan ini untuk melindungi kakekmu! Apa jangan-jangan kamu juga memilih untuk mengakhiri hubungan kita, dan setuju dengan pilihan kakekmu?”
Diamnya Lou membuat Halim berdecak.
“Lou, pernikahan kita sudah di depan mata. Kamu, tidak mungkin—”
Lou melepaskan cincin pertunangannya, Halim jelas langsung bediri. Menolaknya, “Lou, kamu sedang kacau!”
“Ini pilihanku, Halim…”
“Kenapa?”
“Kakek tidak akan berhenti berusaha membuatmu menjauh dariku, sampai aku sendiri yang memutuskan jauh darimu.”
“Kita saling mencintai, Lou.”
“Ya…” desahnya, mengangguk, “I love you so much, Halim.”
“Kita hadapi kakekmu, kita tunjukkan padanya. Pasti bisa bila kita tetap bersama.”
Lou menggeleng, “aku sudah menemui Ayah Kaflin. Aku berjanji padanya, tidak akan jadi penghalang kamu menyelesaikan pendidikanmu.”
“Ayah—”
“Ini yang terbaik untuk kita berdua, meski aku harus kehilanganmu.”
“Lou…” Halim merasakan matanya memanas sementara Lou sudah lebih dulu berbalik, Halim mencekal lengannya, “pikirkan baik-baik, Lou. Karena mungkin kali ini aku benar-benar akan menyerah mengejarmu lagi, jika kamu pilih mengakhiri hubungan kita, maka ini akan benar-benar berakhir. Aku tidak akan datang dan mengemis untuk hubungan kita lagi.”
Jantung Lou maupun Halim kali ini berdebar, bukan karena cinta yang sedang menggebu-gebu, melainkan tahu cinta mereka sedang diambang asa.
Lou menyeka air mata yang tidak mau berhenti, lalu ia berbalik. Halim berpikir Lou akan berubah pikiran, tetapi langkahnya mendekat hanya untuk merangkum wajahnya, menjadi tatapan lekat mereka yang terakhir, Lou melangkah melingkarkan tangannya. “I know… kamu akan bilang begini. Halim, dan aku akan tetap pada pilihanku… Lanjutkan hidupmu tanpa diriku.”
Halim memejamkan mata, air matanya jatuh dan ia mengeratkan pelukannya. Hanya Lou, wanita satu-satunya dalam hidupnya. Hubungan mereka dekat, selama dua belas tahun.
***
Kenangan itu lenyap saat mendengar seseorang memanggilnya.
“Dokter Halim?” sebuah sapaan lembut itu membuatnya mencari asal suara. Pasalnya selama tinggal di Jerman, panggilan khas hanya berasal dari sesama orang Indonesia.
Kening Halim mengernyit, coba mengingatnya. Lalu matanya beralih pada gadis kecil yang tangannya tengah di infus. Tangan lain wanita itu memegangi botol infus.
Halim berdiri, Halim coba mengingat nama wanita itu dan gadis kecil itu.
“Kikan, Pak dokter lupa ya?”
“Sorry,” Halim tersenyum tipis, wanita ini adalah kenalan kembarannya, Hamish dan istrinya, Lea. Sebelumnya pernah bertemu, sekitar dua bulan lalu tepat Hamish membawa istri dan anak kembarnya berlibur, mengunjunginya, “tapi saya ingat, Felora kan?” sambil menatap gadis kecil itu yang terlihat lemas. Menempelkan pipinya di bahu sang Ibu.
Kikan kembali mengulas senyum, “Felo kenapa?”
“Lagi turun imunnya, jadi nginap deh di sini.” Halim coba mengingat, usia Kikan dari info kembarannya, Hamish, sekitar dua puluh empat tahun.
“Duduk, Kikan” Halim menawarkan kursi taman yang ia tempati. Setelah selesai dengan pendidikannya, Halim belum ingin pulang ke Jakarta. Sehingga dia kini bekerja di Norbert Hospital yang ada di Hamburg.
Kikan memang sudah berat sejak tadi mengendong Felo yang sedang manja,
“Aku haus, Bunda.”
Panggilan Felo ke Kikan mengingatkan Halim yang juga memanggil ‘Bunda’ ke ibunya.
“Haduh Bunda tidak bawa arinya, di kamar sayang.”
“Felo tinggal di sini saja, saya yang jagain. Kamu bisa mengambilkannya minum,” saran Halim.
Kikan mengangguk, menatap Felo dan mulai membujuk putri kecilnya. Tatapan Halim lekat pada Kikan, “sebentar, Bunda lari deh biar cepat kembali ya?”
Felo menggeleng pelan, “No-no lari, Bunda. Nanti jatuh!”
Untuk ukuran gadis kecil berusia tiga tahun, Felo sudah pintar bicara dengan aksen jelas. Kikan tersenyum kikuk, lalu menaikkan tatapannya pada Halim yang terus memandanginya. “Maaf ya merepotkan, Pak dokter,”
“Halim saja, jangan terlalu formal.”
“Ya?” bingung Kikan karena Halim malam menanggapi dengan hal lain.
“Panggilnya, cukup dengan nama. Tidak usah dengan ‘pak dokter’ seperti itu.”
“Oh,” Kikan tersenyum tipis.
“Juga saya tidak sama sekali direpotkan,” lanjut Halim lagi.
Halim terkejut ketika ia pikir Felo akan duduk di sisinya, justru pindah dan duduk di pangkuannya. “Felo, duduk di bawah aja ya.” Kikan yang tidak enak.
Putrinya menggeleng pelan.
“Felo…”
“Tidak apa, selama buat Felo nyaman.” Halim juga tidak tega, di tambah Felo terlihat lemas sekali.
Kikan akhirnya berbalik pergi, Halim menatap punggung Kikan yang menjauh sampai suara kecil menarik atensinya, “Uncle dokter, kan?”
“Iya,” angguk Halim. Dia memang kaku, tetapi berusaha mencair setiap berinteraksi dengan anak-anak, terlatih dengan para keponakannya.
Felo mengangkat tangannya yang terdapat infus, “tolong lepas ini, bisa tidak?”
“Felo mau lepas infus?”
Kepalanya mengangguk, “Aku bosan, Uncle.”
Halim refleks mengusap lembut kepala gadis kecil itu, kemudian beralih ke lengannya, “belum boleh di lepas, supaya Felo sehat lagi.”
Halim menurunkan tangan kecil itu pelan-pelan.
“Felo,”
“Ya?” dia mendongak, detik itulah Halim terpusat pada netra indah berwarna coklat madu. Wajah bak malaikat kecil, sebab masih begitu polos di tambah harus menanggung sakitnya, membuat hati Halim ikut tersentuh.
Halim tersenyum, membelai pipinya, Halim coba mengajaknya bicara. Ternyata Felo anak yang cukup tanggap dan mudah berinteraksi. Sampai Halim menoleh dan menemukan Kikan kembali dengan langkah cepatnya. Tatapan mata mereka beradu, Kikan tersenyum
“Bunda kembali…” katanya. Kikan kembali duduk tepat di sisinya, sembari mengulurkan tangan. “pindah lagi ke Bunda,”
“No no, mau sama uncle dokter aja.” Tolak Felo membuat Kikan membulatkan matanya, terutama ketika kepala Kikan begitu saja bersandar pada Halim.
“Felo…” Kikan membujuk putrinya.
“Tidak apa-apa, biarkan. Dia maunya begini.” Halim dengan tenang berujar juga.
Kikan menghela napas, “Felo memang jadi manja, dan agak keras kepala setiap kali harus menjalani pengobatannya.”
“Itu karena dia ingin lebih dapat perhatian, mengalihkan dari rasa sakit juga khawatir di hatinya.”
Kikan menoleh, bertemu tatap lagi dengan Halim.
“Minum, Bunda…” rengek kecil Felo menyadarkan keduanya, Kikan segera membuka tutup minuman berwarna pink dengan karakter kartun favorit anak-anak perempuan, barbie. Mengarahkan ujung sedotannya ke bibir Felo.
“Kamu jaga Felo sendiri?”
“Iya, kadang gantian sama susternya pas saya sedang banyak kerjaan.” Kata Kikan. “Hm, saya tadi merasa familiar dari jauh. Ragu untuk menyapa, tetapi ingat kalau kembarannya Pak Hamish tinggal di Jerman, dan dokter di rumah sakit ini.”
Halim hanya tersenyum. Kikan kembali bicara,
“Dokter sudah selesai? Lagi tidak ada pasien, kok duduk di sini sendirian?”
Halim menatap ibu dari anak manis yang nyaman duduk di pangkuannya, ternyata Kikan Madelief cukup banyak bicara juga, Halim pikir dia pendiam seperti di pertemuan pertama waktu itu.