Tersudut

1730 Words
Sejak awal ini memang tentang perebutan kekuasaan antara dua keluarga besar, Erlangga dengan Yachio Dragon. Mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan Gedung Tua. Tempat dimana kakek Erlangga menyimpan semua kekayaannya di dalam sana, yang konon katanya bisa untuk dijadikan modal menguasai pasar ekonomi dunia. Dulu Kakek Erlangga memang sempat akan bekerja sama dengan Yachio Dragon. Tapi sejak istrinya meninggal dia berubah pikiran. Kakek Erlangga ingin mengubah haluan bisnisnya. Dia ingin Gedung Tua menjadi pusat bisnis legal. Dia ingin menghapus nama black shadow dari keluarga Erlangga. Dan itulah alasan kenapa dulu Kakek Erlangga memilih Ali juga Lintang menjadi pemilik sah Gedung Tua untuk sementara. Tentu keputusan yang tepat saat dia menyerahkan kekuasaannya itu pada Ali, meskipun pada akhirnya Ali menolak. Tapi untuk Lintang? Itu jelas keputusan yang salah. Kakek Erlangga nggak memperhitungkan kemungkinan batalnya pernikahan Lintang dengan cucunya Elang. Kakek Erlangga nggak memperhitungkan kalau Elang saat itu akan lebih memilih Gedung Tua daripada mempertahankan Lintang. Tiga tahun lalu, setelah Elang berhasil merebut 50% kepemilikan Gedung Tua dari Ali, dia juga mendepak Lintang dari hidupnya tepat pada hari dimana Kakek Erlangga wafat. Lintang terus memaksa Ali untuk menghentikan mobilnya sebelum masuk ke sekolah. Bahkan Lintang mengancam akan loncat dari mobil kalau Ali nggak menurutinya. Jadi terpaksa Ali menurunkan Lintang di perempatan sedikit jauh dari sekolah. Ali membiarkan Lintang berjalan sendiri menyusuri trotoar dengan dirinya mengikuti Lintang, pelan mobilnya melaju nggak jauh dari belakang Lintang, sambil terus menahan tawa karena Lintang berjalan begitu cepat sambil sesekali menoleh ke belakang. Astaga kalau begini Ali jadi terlihat seperti penculik beneran. Sampai di sekolah pun Lintang langsung menuju lokasi proyek, berusaha menjauh dari Ali. Yah, dia masih malu dong dengan tingkahnya kemarin. Sampai makan malam pun Lintang harus menunggu Ali keluar rumah. Tapi langsung lari naik ke lantai atas saat terdengar mobil Ali kembali memasuki halaman. Napasnya ngos-ngosan, duduk di salah satu kursi yang ada di luar lokasi proyek, sambil mengawasi para pekerja yang sudah mulai mengerjakan bagian pondasi. Sepertinya ini nggak akan makan waktu lama kalau Lintang menerapkan lembur setiap hari. Mungkin dua bulan sudah bisa selesai, dengan begitu dia juga bisa segera pergi dari rumah Ali. Apa itu mungkin? Apa Lintang mengajukan saja proposal baru, untuk mempercepat pekerjaan dengan menambah jumlah pegawai? Sepertinya bukan ide buruk, nanti dia akan mampir kantor dan minta persetujuan bosnya. Tapi sebelum itu Lintang kan juga harus konsultasi dulu dengan rekan kerjanya? Seketika dia membatalkan rencananya itu. Ya ampun, Lintang meraup mukanya frustasi. Selain Ali, Lintang juga ingin menghindari Elang. Banyak sekali cowok yang harus dia hindari? Bahkan saat memikirkannya pun nama Elang langsung muncul di ponselnya. Mukanya kusut seketika, enggan mengangkatnya, Lintang menolak panggilan Elang. Tapi bukan Elang namanya kalau menyerah begitu saja. Nama Elang muncul lagi, ponselnya kembali berdering dan berhenti saat terdengar suara derap langkah sepatu tepat di belakang Lintang. Membuat Lintang refleks berdiri ingin segera lari karena dia hapal betul suara langkah itu. Lintang bisa tahu siapa dia hanya dengan mendengar derap langkahnya. Hebat kan Lintang? No! Dia benci itu. Benci saat tahu siapa dia, dan benci saat dari belakang, tasnya ditarik membuatnya hampir terjungkal. Untung saja dua tangan besar menahan kedua bahunya dari belakang. Lantas pindah berdiri di depan Lintang. "Kenapa nggak lo angkat?" suara Elang menginterupsi. Iya, yang tengah berdiri di hadapan Lintang itu Elang. Dengan muka dinginnya menatap Lintang tajam. Dan apa yang barusan Lintang dengar? Elang bilang 'lo'? Karena nggak ada jawaban, Elang melepas paksa tas yang dipakai Lintang. Mengambil dokumen gambar dan melempar kembali tas itu pada Lintang. Kasar sekali. Batin Lintang terkejut. Belum sempat Lintang protes dengan perubahan sikap Elang yang drastis menuju ke tingkat termenyebalkan. Elang mengambil sembarang helm proyek lalu melemparnya ke arah Lintang. Melihat Lintang yang hanya bengong, Elang kembali menghardiknya. "Mau bengong sampai kapan? Lo disini kerja kan? Bisa, nggak buang-buang waktu gue? Kalo lo nggak mampu, gue bisa minta ganti pengawas lain!" omelnya tanpa menunggu jawaban Lintang, Elang langsung menuju ke lokasi. Hanya beberapa detik Lintang terdiam dan segera membuntutinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mendadak sikap Elang jadi dingin? Dan menyebalkan? Hei, yang harusnya marah kan mestinya dia? Lintang menggerakkan tangannya geram di belakang Elang seperti akan memukul kepala Elang, tapi langsung diturunkan saat Elang menoleh menatap sinis ke arahnya. Tatapannya itu lho, seperti ingin menguliti Lintang. Dia belum pernah melihat Elang seperti sekarang ini. "Ini kurang lima senti? Lo becus kerja nggak sih? Liat!" lagi, Elang mengomel menunjukkan hasil ukurannya pada begisting pondasi yang sudah dirangkai para tukang, nggak sesuai dengan gambar. "Bongkar lagi!" perintahnya pada tukang yang baru saja dipanggil Lintang. Elang melempar dokumen gambar yang ia bawa ke Lintang, lalu pergi setelah memberi perintah, "Perbaiki semuanya, cek setiap begisting yang sudah dibuat. Kalo besok setelah dicor dan ukurannya beda dari gambar, kalia harus bongkar semua dan nggak ada dana tambahan untuk itu!" *** Mungkin cuma satu cowok yang nggak akan Lintang hindari, satu-satunya cowok yang Lintang biarkan membuntutinya meski sebenarnya dia kesal juga, mendengar cowok itu ngomel. Kenapa semua cowok harus mengomelinya? Kemarin Ali, tadi pagi Elang dan kali ini si bocah ingusan Saka ikut-ikutan? Lintang menghempaskan dirinya ke kursi kantin paling pojok, singgasana Saka cs. Oh iya, sepertinya cuma Lintang yang berani duduk disana. Karena yang lain nggak akan berani, mereka lebih memilih cari aman daripada harus diusir paksa Saka. Meski Saka sangat manis tapi tetap saja dia itu badboy yang nakal. Memang ada badboy baik? "Jawab Kak, kenapa lo mau pindah ke rumahnya Bang Al? Bang Al itu cowok!" ucap Saka untuk kesekian kalinya setelah membawa dua mangkok bakso. "Siapa bilang Bang Al itu cewek, Saka! Gue juga nggak buta! Thanks!" Lintang menerima mangkok bakso itu, dan langsung melahapnya setelah memberi tambahan tiga sendok sambal, tanpa menambah saos dan kecap. "Kan gue bisa jagain lo di kontrakan." Saka masih membantah. "Itu lebih nggak masuk akal lagi. Ngapain gue dijagain bocah kayak lo! Jaga diri sendiri aja lo nggak bisa, itu kepala lo!" Lintang menunjuk kepala Saka yang masih diperban dengan garpu. Meski Lintang mengejek Saka, tapi sebenarnya Lintang kagum dengannya. Bocah ingusan di depannya itu memang pantas dijadikan preman sekolah nomor wahid. Tangguh sekali dan keren, kecuali bagian dia yang selalu merengek seperti anak kecil. Dulu Lintang nggak pernah melihat tingkah itu pada Ali. "Jadi apa yang sebenarnya lo bawa kak, sampai Erlangga jadiin lo target. Bentar-bentar ...," Saka menghentikan ucapannya sendiri karena teringat sesuatu, "Elang itu cucunya Kakek Erlangga kan? Elang itu temennya Bumi? Ah jadi dia ada disini buat targetin lo? Ini nggak bisa dibiarin, gue harus bilang Bang Al buat usir Elang darisini." Saka beranjak berdiri tapi langsung ditarik Lintang untuk kembali duduk. "Lo pikir segampang itu? Kalo iya udah dari dulu Bang Al usir Elang darisini, Saka. Nggak ada bukti kalo p*********n itu terjadi karena perintah Elang. Dan meskipun pernyerangan itu dilakukan Erlangga pun nggak bisa dijadikan alasan buat pecat Elang dari kerjaannya sebagai konsultan." "Apa yang lo bawa kak?" ulang Saka, kali ini dia jadi lebih serius. Bagaimanapun juga Saka mengkhawatirkan keadaannya. Dia nggak mau hal yang terjadi pada Tiara terjadi juga pada Lintang. Lintang menggidikkan bahu, lanjut melahap sisa bakso di mangkoknya nggak berniat menjawab pertanyaan Saka. Bahkan dia sendiri nggak tahu apa yang dia bawa, kalau semua berkas kepemilikannya terhadap Gedung Tua masih ada disana, Lintang nggak membawanya. Bisa saja Elang menculiknya dan memaksa Lintang menandatangani dokumen itu. Tapi sampai sekarang pun Elang nggak melakukannya. "Gue punya rencana Kak." "Apa?" "Gue juga akan menginap di rumah Bang Al!" "SAKA, jangan b**o!" PLAKKK "Aduh sakit kak!" "Ngapain lo ikut-ikutan!" "Gue nggak suka lo deket-deket sama Bang Al! Kalo kalian cuma berdua, yang ketiganya setan tahu nggak!" "Ya elo setannya, pe'a!" *** Mata dibalas dengan mata. Sudah lama Ali nggak memakai istilah itu. Tapi kali ini Ali nggak akan tinggal diam. Sekali peringatannya diabaikan, dia juga nggak akan peduli lagi kalau akan ada korban dengan tindakannya itu. Dikawal dengan dua puluh anak buah Eza, Ali memaksa masuk kantor Elang. Dia membiarkan anak buah Eza membereskan para penjaga yang mencoba menghalanginya untuk naik ke lantai teratas tempat dimana Elang berada. Baru saat pintu lift terbuka Ali turun tangan, menarik cepat pistol yang ditujukan ke arahnya lalu membuangnya sembarang, membuat beberapa karyawan yang ada di lantai itu lari ketakutan menuju ruangan masing-masing, mengunci rapat pintu. Ali memiting salah satu lawan, sambil menendang lawan lain yang datang dari arah kanan. Memukul tekuk lehernya hingga pingsan, dan memberikan tendangan pada d**a lawan saat Ali sudah berada di depan ruangan Elang. Tempatnya masih sama seperti tiga tahun lalu. Ali mendobrak pintu ruangan itu. Terlihat dengan santai Elang duduk di kursinya tersenyum menyambut kedatangan Ali. "Lo balik lagi Al? Ada yang bisa gue bantu?" tanya Elang basa basi. "Lo udah melanggar kesepakatan kita." Ali menghampiri meja Elang, sorot matanya seolah bisa menerkam Elang dalam sekejap. Kemarahan Ali nggak bisa ditahan lagi. "Gue nggak pernah melanggar kesepakatan apapun." Elang ikut berdiri beralih ke jendela kaca besar. Dari situ dia bisa melihat beberapa anak buahnya yang berkelahi dengan anak buah Eza. Sepi disana, para karyawan yang tadinya berada disitu sudah dengan sendirinya masuk ke ruangan masing-masing. Mereka tahu apa yang terjadi. Karena mereka juga tahu siapa bosnya, dan hal-hal semacam ini bukan hal baru lagi di kantor yang ditempati Elang. Semua pegawainya baik laki-laki maupun perempuan sudah dilatih untuk menghadapi situasi semacam ini. "Serahin dokumen milik Lintang." Elang menoleh lagi-lagi tersenyum, permintaan lucu pikirnya. "Lo siapa? Lo udah nggak punya hak sejak tiga tahun lalu, Al." "Jangan pernah lukai Lintang. Kalo lo mau Gedung Tua itu, turutin permintaan Kakek Erlangga." Ada gurat kecewa di wajah Elang. Dia sadar betul kalau dirinya memang b*****t. Tapi sungguh dia nggak pernah ingin Lintang terluka. Apa dia memang harus melukai Lintang baru mereka semua berhenti menuduhnya. "Gue nggak pernah lukai dia, bahkan tiga tahun lalu. Dia mantan tunangan gue. Dan lo bukan siapa-siapanya, Al." Ali mengangguk juga ikut tersenyum, sepertinya Ali memang harus bersikap b*****t juga untuk menghadapi orang seperti Elang. "Jadi lo tetep nggak mau menyerahkan dokumen itu? Lo tetep akan mempertahankan perusahaan ilegal ini?" Ali mengeluarkan beberapa dokumen dari tas yang ia bawa. Dia lempar kertas-kertas itu ke meja Elang. "Penyelundupan, pencucian uang, jual beli senjata ilegal, copy buku besar keluarga Erlangga. Dan denah Gedung Tua. Foto-foto transaksi jual beli n*****a. Penggelapan dana beberapa proyek pembangunan real estate. Yang terakhir ...," Ali diam sejenak, menghampiri Elang yang raut wajahnya sudah mulai geram, tangannya mengepal menahan emosi untuk nggak menonjok Ali saat itu juga. "Lima tahun lalu, paman Lintang. Bukan lo pembunuhnya kan?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD