Awal Bencana

2035 Words
            Lintang nggak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan.             Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia nggak punya nomor ponselnya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan nggak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas.             Elang Yudhistira, masalalunya. Ah, boleh kan Lintang menyebut Elang sebagai masa lalunya? Iya, Lintang mengenal Elang. Lintang sangat mengenalnya. Dan Lintang benci harus bertemu Elang lagi. Bahkan di SMA Gajah Mada? Tempat Ali? Lintang menggeleng keras, belok kanan menuju ujung koridor tempat kantin SMA Gajah Mada berada. Itu pasti ulah Bumi, Elang tahu dari Bumi tentang dirinya yang ada di Gajah Mada, dan sekarang pasti dengan sengaja juga Elang mengikutinya. Apa rencana Elang  sebenarnya? Kalau itu ada hubungannya dengan Gedung Tua, Lintang tetap nggak akan menandatangani dokumen itu. Lintang akan memastikan kalau Elang nggak akan bisa memaksanya. Sebisa mungkin Lintang akan menghindari Elang, dan tentunya tanpa melibatkan Ali. Lintang nggak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan melibatkan Ali dalam masalah.             Langkahnya berhenti di depan pintu kantin. Ramai sekali, tiba-tiba saja ingantannya kembali ke masa lalu, sejenak lupa tentang Elang. Ah memang sekolah ini selalu sukses merebut perhatiannya. Dulu dia hanya melewati kantin ini tanpa pernah masuk ke dalam. Dulu Lintang terlalu takut, dia nggak mau terlalu dekat dengan Ali. Toh tujuan dia sekolah disini karena untuk hal yang nggak baik. Dia hanya bisa melihat sekilas Ali yang duduk di pojok kantin. Ali yang selalu terlihat serius mengerjakan tugas sekolah dan selalu ditemani sahabat-sahabatnya. Lalu terkadang dia juga sempat melihat Ali tertawa hanya karena celotehan adiknya, Aisyah. Lintang selalu menahan tawanya kalau melihat ada siswi yang berusaha mendekati Ali. Kalau boleh waktu diulang, Lintang nggak akan datang ke sekolah ini dan mengenal Ali. Punya kenangan tentang Ali seperti itu, bukanlah hal yang menyenangkan.             Mata Lintang mengerjap, menarik napas dalam-dalam masih terus menatap meja yang berada di pojok kantin. Mengatakan pada dirinya sendiri untuk kesekian kalinya kalau semua itu adalah masa lalu, semua sudah selesai. Nggak akan ada lagi cerita buruk tentang dirinya dengan Ali. Yang harus Lintang lakukan saat ini cuma fokus dengan pekerjaannya dan segera pergi dari sekolah ini.             “SAKA!” teriak Lintang, meski nggak terlalu keras, tapi berhasil membuat hampir seluruh murid yang berada di kantin menoleh ke arahnya, termasuk Saka yang duduk di pojok kantin. Meski sesaat Lintang merasa aneh dengan reaksi murid-murid, dia nggak peduli, baginya kehebohan yang terjadi di kantin nggak sebanding dengan masalah yang akan dia hadapi nantinya.             Saka yang melihatnya langsung berdiri menghampiri, diikuti bisik-bisik murid khususnya kaum cewek Gajah Mada yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Siapa yang berani-beraninya memanggil Saka dengan berteriak selain Ali. Ah iya, Lintang belum tahu kalau Saka ini pentolan sekolah, preman nomor wahidnya Gajah Mada angkatan tiga tahun lalu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap pentolan SMA Gajah Mada akan selalu punya fans fanatik yang kebetulan juga senang sekali menobatkan diri jadi pemeran antagonis yang siap membuly murid lain yang mencoba mendekati si pentolan. Mereka berada tepat di tengah meja kantin, memasang muka murka saat dengan santai dan penuh senyum Saka menghampiri Lintang.             “Hai, Lintang. Baru aja mau gue samperin.” Saka nyengir mengusap pucuk kepala Lintang, berhasil membuat Lintang melotot terkejut. Beraninya bocah ingusan mengelus kepalanya? Di depan banyak orang? Bukannya memerah tersipu diperlakukan manis oleh sang preman tapi Lintang memerah karena pengen banget menonjok muka Saka yang ahhh iya sialnya memang ganteng.             “Lo, kena¾”             “Iya, gue tahu kok, yuk cabut!” potong Saka merangkul Lintang begitu saja mengajaknya keluar kantin meninggalkan kehebohan yang nggak berhenti sampai nanti bel sekolah bunyi. Bahkan teriakan Riko dan Iqbal yang memanggil Saka nggak terdengar, ahhh cewek-cewek selalu histeris lebay saat malaikat Gajah Mada mulai melancarkan aksinya. ***             Saka nggak melepas rangkulannya dengan tetap menebar senyum seolah mereka ini pasangan baru di SMA Gajah Mada. Saka sengaja, dia ingin mengumumkan secara nggak langsung kalau Lintang adalah miliknya, hmmm akan menjadi miliknya. Lintang berusaha melepas rangkulan Saka. Tapi sial, Saka malah mempereratnya, membuat mereka seperti sedang berpelukan. Baru setelah sampai di gedung belakang sekolah, Saka melepas rangkulannya, nyengir menatap Lintang tanpa sedikit pun merasa bersalah meski sudah bertindak nggak sopan dengan yang lebih tua.             “Lo nggak waras hem?” tanya Lintang sinis menatap tajam Saka.             Saka menggidikan bahu, lalu mendudukkan Lintang di kursi yang biasanya dia pakai untuk tidur kalau sedang membolos.             “Iya gue tahu kak, lo cari kamera kan?” tanya Saka balik seolah tahu maksud Lintang tadi memanggilnya.             “BUKAN eh iya itu juga, tapi bukan itu yang gue maksud SAKA!” Lintang kesal sendiri, awalnya memang itu tujuannya mencari Saka. Lintang mengacak mukanya frustasi, sudah ada Elang yang tiba-tiba datang masih ketambahan sikap nggak jelas bocah ingusan di depannya ini.             “Terus apa dong?” tanya Saka santai, sekarang sudah duduk di samping Lintang masih terus tersenyum, menikmati muka mungil Lintang yang sedang kesal karena ulahnya, menggemaskan. Sesaat Lintang berhasil mengalihkan perhatian Saka, tapi langsung tersadar begitu ponsel yang ada di saku celana seragamnya bergetar. Ada pesan masuk, Saka segera membalas pesan itu dan kembali memberi Lintang perhatian penuh.             “Pertama, ...” Saka mengangguk, pura-pura mendengarkan serius perkataan Lintang. “Lo panggil gue Lintang? Gue lebih tua dari lo, lo berani?” Saka mengangguk lagi, membiarkan Lintang melanjutkan, “Kedua, lo berani ngelus kepala gue? Gue lebih tua dari lo Saka!” Dan Saka tetap mengangguk. “Ketiga lo rangkul gue seenak jidat? Gue lebih tua dari lo, itu nggak sopan Saka!” Saka masih mengangguk.             Saka berdiri lalu sedikit mencondongkan tubuhnya di depan Lintang yang masih duduk, “Udah protesnya?”             Begonya, entah kenapa Lintang cuma mengangguk cemberut menatap Saka. Bagaimana bisa gadis seimut ini usianya tujuh tahun lebih tua dari Saka? Saka kembali tersenyum tipis teringat hal itu.             “Gue panggil lo Lintang, ya emang nama lo Lintang kan? Gue ngelus kepala lo? Abis lo manis sih. Gue rangkul lo? Astaga, sorry khilaf, gue pikir lo pacar gue. Eitt eittt, dengerin dulu gue ngomong ...,” ucap Saka buru-buru saat Lintang akan mengayunkan tangan ke kepalanya, Saka menahannya dengan tangan kiri, lalu telunjuk tangan kanannya menyentuh kening Lintang, “Cuma umur doang Kak yang tua, gue nggak peduli. Lo tetap manis di mata gue. Tunggu ya, gue ambilin kameranya di kelas. Jangan kemana-kemana.”             Sumpah demi apa, kalau Lintang punya kekuatan hulk, pasti dia akan berlari mengejar Saka yang sudah keluar gedung dan melemparnya ke luar planet ini. Lintang cuma bisa menelan ludah, menunda keinginannya untuk mengomeli Saka yang kurang ajar. Lintang terlalu lelah hari ini, jadi lebih memilih duduk saja menunggu Saka mengembalikan kameranya. Urusannya dengan Saka, lain kali saja. Lintang pikir Saka bukanlah orang yang akan membahayakan keberadaannya disini. Saka hanya bocah ingusan yang sepertinya senang sekali menjailinya. ***             Lima menit sudah berlalu sejak Lintang meninggalkan ruangan Ali. Cuma suara denting jam dinding di ruangan yang memecah sunyi. Tanpa dipersilakan Elang sudah duduk di kursi tamu, Ali tetap berdiri. Tatapannya datar, nggak bersahabat.             “Long time no see you Al, udah berapa tahun?” Elang buka suara, alisnya terangkat sebelah nampak benar-benar berpikir sudah sejak kapan mereka nggak bertemu. Iya Ali mengenal Elang.             “Lo sadar sekarang dimana?” tanya Ali balik mengabaikan pertanyaan Elang. Ali memang mengenal Elang, tapi mereka bukan teman. Sahabat yang jadi musuh? Nggak usah berharap. Musuh dari awal? Ali nggak pernah menganggapnya begitu. Hanya, Ali nggak ingin melihatnya, lagi. Saat itu seharusnya cukup untuk yang terakhir kalinya.             Elang tersenyum menopangkan kaki kirinya di atas kaki kanan, seolah kalau dia sama sekali nggak salah tempat, “Gue kesini bukan mau cari masalah, Al.”             Ali masih diam, tatapannya nggak beralih sedikit pun dari Elang.             “Gue cuma sebagai konsultan aja. Dan itu nggak ada hubungannya sama lo.” Elang berdiri menghampiri Ali.             Kali ini tatapan mereka beradu, iya memang Elang kesini bukan mau berurusan dengan Ali. Elang sudah mengumpat berkali-kali, bahkan menolak mentah-mentah ide Bumi untuk memintanya masuk ke Gajah Mada. Tapi demi Lintang, dia harus mau. Sekali lagi Elang tersenyum menepuk bahu Ali pelan sebelum meninggalkan ruangan, “Gue nggak akan bikin masalah sama Gajah Mada. Urusan kita udah selesai dari dulu Al. Lo bukan fokus gue lagi.” ***             Setelah sekian lama SMA Gajah Mada tenang, tentram, damai aman sentosa, akhirnya kehebohan terjadi pagi ini. Tepat di jam istirahat yang akan berakhir sepuluh menit lagi, hampir di seluruh koridor sekolah nampak ramai. Bahkan teriakan histeris yang lebay, benar-benar membuat Pak Joko selaku penegak disiplin kehabisan suaranya karena harus balas berteriak meminta para murid untuk masuk kelas.             Elang dengan tampang di atas rata-rata tanpa dosa turun dari lantai dua ruangan Ali, memakai kaca mata hitam, melewati beberapa koridor menuju gudang belakang sekolah, menimbulkan decak kagum, rasa penasaran, fans dadakan merapat dipinggir kanan kiri seolah sedang menyambut kedatangannya. Oke fix ini lebay, karena beberapa guru pada akhirnya ikut berjalan di belakang Elang, hendak mengantarnya atau mungkin menjaganya dari fans dadakan yang fanatik? Entahlah.             Elang menghentikan langkahnya tepat di ujung koridor, lalu balik badan melempar senyum mematikan ke dua guru yang mengawalnya itu.             “Terimakasih, pak, sampai disini saja, saya harus mengurus pekerjaan saya.” Ucapnya lembut, sopang banget. Ah kalau saja mereka tahu siapa sebenarnya Elang. Pasti nggak akan ada yang sudi membuntutinya seperti itu. Membuntuti iblis? Yang benar saja.             Elang melanjutkan perjalanannya setelah dua guru itu pamit kembali ke ruang guru. Suara riuh perlahan menghilang, berganti dengan derap langkah sepatu Elang yang terdengar memasuki gedung.             Nggak butuh waktu lama, matanya berhasil menangkap sosok yang tengah duduk, tertidur. Wajahnya nampak lelah, sepertinya lagi-lagi dia kurang tidur. Elang merindukannya. Elang mengepalkan tangannya erat, menahan keinginannya untuk merengkuh tubuh mungil itu kepelukannya. ***             Malam itu hujan turun cukup deras. Secepat apapun Elang membawa jipnya, tetap saja macetnya kota Bandung nggak bisa membuatnya datang ke minimarket tempat kakeknya menunggu lebih awal. Sampai hujan berubah jadi gerimis, dua jam berlalu Elang baru sampai. Menghentikan jipnya di seberang minimarket, mendapati kakeknya tengah duduk memakai jaket warna biru yang entah milik siapa lagi. Tanpa banyak pikir panjang, Elang langsung menghampirinya.             “Kek kenapa pergi sendiri lagi sih? Bumi kemana? Bukannya tadi berangkat sama Bumi?” cecar Elang kesal, duduk di depan Kakek menuntut penjelasan. Kakeknya ini sangat sehat, bukan orang tua yang punya penyakit demensia. Bahkan setiap harinya beliau masih bisa mengurus masalah di perusahaannya. Itulah kenapa Elang selalu kesal setiap Kakeknya bikin ulah dengan sengaja pergi sendiri tanpa membawa uang sepeser pun. Buat apa coba?             “Maaf, permisi ...” suara seseorang menginterupsi, membuat Elang seketika menoleh, mendapati gadis muda tengah berdiri di belakangnya membawa mie instan yang sudah diseduh, “Mas Elang?” tanya gadis itu lagi.             Dan untuk pertama kalinya Elang terdiam untuk sepersekian detik, baru di sapaan kedua Elang tersadar.             “Mas Elang?”             “Iya, gue Elang, lo?” tanya Elang balik bangkit berdiri, fokusnya berubah sepenuhnya ke gadis yang sepertinya sedang kedinginan.             “Tadi saya yang menelpon, pakai ponselnya Kakek Erlangga, oh ini tadi Kakek minta mie lagi, saya taruh sini ya...” ucap gadis itu segera menaruh mie yang baru saja dia seduh di minimarket lantas langsung pamit pergi. Tapi baru saja gadis itu akan menyeberang, Elang memanggilnya.             “Nama lo siapa? Jaket yang dipakai Kakek punya lo?” Elang menunjuk Kakek yang juga sudah ikut berdiri melepas jaket yang beliau kenakan. Tapi gadis itu langsung mencegahnya, membuat si Kakek mengurungkan niatnya.             “Nggak usah Kek, dingin. Kakek pakai aja, saya nggak apa kok.” Ucap gadis itu buru-buru mengabaikan pertanyaan Elang yang sejak tadi menunggunya.             “Gue tanya nama lo siapa?” ulang Elang mulai kesal juga, kenapa gadis itu nggak menanggapinya? Giliran bicara dengan kakeknya bisa manis sekali.             Baru gadis itu menatapnya, menarik napas dalam-dalam, “Saya Lintang Mas, jaketnya bisa dipakai Kakek Erlangga nggak papa, nggak usah dibalikin.” ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD