Sekarang Waktunya

1768 Words
Tragis. Saka duduk di trotoar. Darah tak hanya mengalir dari belakang kepalanya, tapi juga di pelipis. Goresan pisau memenuhi kedua lengannya. Matanya berkaca-kaca melihat yang terjadi di hadapannya saat ini. Lima belas menit lalu polisi baru datang diikuti ambulans. Gas air mata langsung disemprotkan, berhasil menghentikan bentrokan itu. Setelah memberi tonjokan sekali pada lawannya, Saka mundur. Banyak dari kedua belah kubu yang terkapar nggak sadarkan diri. Riko bahkan digotong ke ambulans karena kepalanya terluka parah. Untuk mereka yang mengalami luka ringan dan sudah diikat Saka, dibawa ke kantor polisi. Iqbal menghampiri Saka ikut duduk setelah berbincang dengan polisi yang memimpin hari ini. "Gimana keadaan Riko?" tanya Saka tatapannya lurus ke depan. "Fine. Dia masih bisa ketawa tadi dan nyuruh gue bilang ke elo untuk harus selalu khawatir." Saka terkekeh mendengarnya, mengusap air matanya sendiri yang menetes. Saka memang gampang menangis. Sepertinya hanya dia panglima tempur yang mudah sekali menangis. "Orang tuanya gimana?" "Dia nggak mau mereka tahu. Oh iya, lo mau pulang apa nginep di rumah Riko?" Saka menghela napas panjang, nggak menjawab. Gantinya dia merogoh saku celananya, mengambil ponsel untuk menghubungi mamanya dulu. Dia nggak boleh membuat kakak tertua dari Eza itu khawatir kan? Bisa-bisa Eza akan mengeluarkannya dari sekolah nanti. "Pagi mamaaaaa." Sapa Saka riang begitu telepon terhubung. "Kamu dimana? Mama denger ada tawuran di sekolah. Kamu ikutan?" suara dari seberang jelas nampak khawatir. Pasti mamanya tahu dari sosial media. Ah sejak kapan ada yang berani merekam aksi tawuran secara live? "Tawuran? Ah tadi? Aku lagi ujian susulan ma, nggak bisa keluar ini di ruang guru." Bual Saka merengek seperti anak kecil, sambil mengusap darah yang menetes di pipinya. "Yakin? Kamu nggak bohong? Awas ya kalo kamu pimpin tawuran lagi. Inget, kamu baru bebas dari tuduhan. Kalo papa sampai tahu ..." "Iya mama sayang. Kalo papa sampai tahu yang murka Bang Eza kan? Hehehe, apaan sih ma, udah ya ma, sepuluh menit lagi aku harus selesein ini soal." "Ya udah, lagian kamu berani banget udah tahu ujian masih telepon mama." "Nah mama juga ngapain telpon aku sampek 20 kali. Pasti ada masalah kan? Makanya aku telpon balik. Oh iya, aku nginep di rumah Riko ya sampai weekend, mau ajarin Riko Iqbal nih, aku kepengen kita lulus bareng-bareng mama, sambil ngepes juga sih, hehehe." "Kenapa nggak mereka aja yang nginep disini?" selidik mamanya mulai curiga. "Yaelah ma, tau sendiri kan Riko itu berisiknya minta ampun, nanti mama keganggu dong. Aku janji nggak akan macem-macem. Cuma satu macem aja, ma. Ya ya ya boleh ya, hitung-hitung buat perpisahan, kan aku mau kuliah di Jerman." Setelah perdebatan panjang sekitar 30 menit, akhirnya Saka mendapat ijin mamanya untuk menginap di rumah Riko. Iqbal yang mendengarnya cuma bisa menggelengkan kepala. "Bikinin surat ijin ya Bal, gue nyusul Riko duluan." Pinta Saka bangkit lari ke halte begitu bus datang. Nggak lupa dia melambaikan tangannya ke arah Iqbal yang sudah mengenakan topinya, malu dapat lambaian tangan dari cowok, lebai lagi. Buru-buru dia masuk kembali ke sekolah sebelum Saka tambah mempermalukannya. *** Suasana nggak berbeda jauh di rumah sakit. Ali hanya bisa mondar mandir di depan ruang operasi. Sudah satu jam Lintang di dalam sana. Nggak ada siapapun yang akan Ali hubungi. Ali tahu betul sejak meninggalnya paman Lintang, dia nggak punya keluarga lagi. Lintang hidup sendiri selama ini. Jadi kenapa bisa dia punya hubungan dengan kakek Erlangga dan jadi pemilik Gedung Tua? Pertanyaan itu sempat terlintas di benak Ali. "Pak Ali?" suara dokter itu mengagetkan Ali. Operasi sudah selesai ternyata, beberapa perawat sudah keluar. "Gimana dok? Lintang baik-baik saja kan?" Dokter itu tersenyum, menepuk bahu Ali. Ali itu seumuran dengan anak tunggalnya, dokter yang mengenal Ali sejak empat tahun lalu, sudah menganggapnya sebagai anak sendiri, dokter Burhan namanya. "Operasi sukses, Lintang sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Alhamdulillah luka tusuknya tidak terlalu dalam. Tapi, Lintang tetap butuh perawatan beberapa hari ke depan." Ali mengangguk mengiyakan. Segera setelah Lintang dipindahkan ke ruang perawatan. Ali meminta Eza untuk mengirim anak buahnya datang ke rumah sakit. Lintang harus mendapat pengamanan ketat. Karena Ali juga belum tahu siapa dalang sebenarnya. Elang atau Yachio Dragon? Ali mengusap mukanya kasar, duduk di sebelah ranjang Lintang yang masih tertidur. "Kenapa lo bisa terlibat dengan mereka, Lin?" monolog Ali miris melihat kondisi Lintang saat ini. Dia nggak tega kalau harus melihat perempuan terlibat hal berbahaya semacam ini. Ali bertekad untuk membebaskan Lintang dari Gedung Tua. Tapi sebelumnya dia harus mendapat penjelasan dulu dari Lintang kan? "Gue emang pernah benci sama lo," pelan Ali mengusap kening Lintang, "Tapi nggak sepenuhnya juga. Buat apa? Lo cuma disuruh Wahyu saat itu. Bahkan sekarang pun gue sama Wahyu udah baikan." Ali diam sejenak menghela napasnya yang tercekat, "Jadi cukup lo nyalahin diri sendiri. Lo nggak perlu lagi berusaha menyelamatkan gue, ngerti? Jangan bahayain nyawa lo buat gue. Gue nggak mau lo pergi seperti Bunga. Lo harus tetap hidup, Lin." *** "Aduh-aduh pelan dok!" rengek Saka meringis kesakitan saat kepalanya diperban dokter Burhan. Dokter Burhan yang mendengar rengekan Saka malah menekan tangannya saat melilitkan perban itu. Kesal beliau sepertinya dengan tingkah Saka. Sudah tahu terluka parah, malah datang sendiri ke rumah sakit dengan naik bus. Dan bukannya langsung menemuinya, malah sibuk mengawasi Riko yang tengah masuk ruang operasi. "Kamu itu punya nyawa berapa hah? Sudah tahu lukamu juga parah, seharusnya segera temui saya!" omel Dokter Burhan, sudah selesai memperban. "Satu lah dok, emang saya apaan punya nyawa banyak. Kan tadi saya harus memastikan keadaan Riko. Sebagai panglima tempur SMA Gajah Mada yang, aduhhh, duhh. Sakit dok!!!" rengek Saka lagi saat dokter Burhan beralih mengolesi luka-luka di kedua lengan Saka. Mungkin orang-orang yang melihat Saka juga akan berpikiran sama dengan dokter Burhan. Bagaimana bisa orang dengan luka banyak seperti Saka di seluruh tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki, masih bisa berdiri tegap dan berlari sampai naik bus? Beberapa pasti berpikir kalau Saka ini bukan manusia. "Panglima tempur gundulmu! Riko sudah dalam pengawasan dokter. Kamu itu masih sekolah, masih bocah ingusan. Kalau ada apa-apa sama kamu, saya nanti yang dimarahi Tuan Muda Eza." Saka cuma bisa nyengir menggaruk tekuk lehernya, kikuk juga kalau sudah disebutkan nama Eza itu. Sialan banget kan tuh orang, nggak pernah muncul tapi setiap kali namanya disebut, selalu jadi momok menakutkan tersendiri buat Saka. "Maaf dok, jangan bilang Bang Eza ya, ah juga sama mama papa." Dokter Burhan hanya diam tak mengacuhkan ucapan Saka itu. "Kamu sudah bertemu Ali?" "Bang Al? Oh iya, Bang Ali disini ya, gimana keadaannya?" "Dia baik-baik saja. Tapi perempuan yang dibawa Ali mengalami luka parah. Tusukan di bagian belakang, untung dia berhasil melewati masa kritisnya." "Perempuan? Lintang?" *** "Apa maksud Kakek?" tanya Lintang nggak mengerti. Siang itu Kakek Erlangga meminta Lintang untuk segera datang ke Gedung Tua menemuinya, dan tanpa sepengetahuan Elang. "Iya kamu akan aku jadikan pemilik Gedung Tua, Lintang." Ulang Kakek Erlangga hikmat. "Iya kek, maksud saya kenapa? Pemilik Gedung Tua? Kakek jangan bercanda." Kakek Erlangga tersenyum, meneguk secangkir kopi panas yang baru saja pelayan bawakan. "Aku tidak pernah bercanda dengan ucapanku. Kamu akan jadi pemilik Gedung Tua ini, kamu akan menikah dengan Elang kan?" Lintang terdiam menunduk malu. Bukankah Elang baru melamarnya kemarin malam di ruang kerja? Apa Kakek Erlangga sudah tahu? "Tapi yang seharusnya jadi pemilik Gedung Tua itu Elang Kek, bukan saya." "Aku mau Gedung Tua berubah fungsi. Aku mau keluarga besar Erlangga berhenti disebut jadi mavia dengan bisnis ilegalnya." "Jadi?" "Serahkan kembali kepemilikan Gedung Tua itu pada Elang kalau dia sudah berubah. Kalau dia bisa berbisnis secara bersih tanpa melukai siapapun, kamu bisa mengembalikannya. Jadi aku minta, lindungi Gedung Tua." Perlahan mata Lintang terbuka, pandangannya masih kabur. Jadi butuh beberapa detik untuk menyadari keberadaannya di ruangan serba putih ini. Dia baru tahu kalau ini rumah sakit saat Ali masuk ke ruangan dengan dokter dan perawat. Mereka datang untuk memeriksa keadaannya. "Syukurlah, Lintang bangun lebih cepat. Pasti keadaannya akan semakin membaik. Dua jam lagi kita akan melakukan pemeriksaan lanjutan." Ucap dokter itu sebelum meninggalkan ruangan, menyisakan dirinya dengan Ali yang sudah duduk di sampingnya. "Akhirnya sadar juga." Ucap Ali mengelus kepalanya lembut. "Bang Al, baik-baik aja kan?" tanya Lintang. Seingat dia, Ali hampir tertusuk pisau saat akan menuju mobilnya. Orang yang menusuknya nggak berkelahi dengan Ali kan? Lintang masih saja terus mengkhawatirkannya. "Berkat lo gue selamat, Lin. Makasih." "Makasih juga, karena Bang Al selamat." Ali tersenyum, entah kenapa dia jadi sedikit bahagia saat Lintang bilang seperti itu. "Gue boleh tanya Lin?" Lintang mengangguk. "Ada hubungan apa lo sama keluarga Erlangga?" "Maksud Bang Al?" "Tahu kenapa lo juga diserang?" tanya Ali balik. "Karena saya ada di sana kan? Mereka yang tawuran pasti nggak pandang bulu kan?" "Lo targetnya, Lin." Jawab Ali tanpa basa-basi, membuat Lintang terdiam seketika. Ah, bahkan dia nggak menyadari posisinya sendiri itu sangat berbahaya. "Mereka yang menyerbu SMA Gajah Mada adalah murid-murid SMA Erlangga. Dari keluarga Erlangga. Dan lo lah targetnya. Kenapa? Karena lo pemilik Gedung Tua. Bukan cuma Elang yang ingin merebutnya dari lo, tapi juga Yachio Dragon." "Yachio Dragon? Siapa mereka?" DRETTTT Suara pintu geser dibuka kasar, membuat Ali dan Lintang menghentikan percakapan mereka, menoleh ke arah sumber suara. Elang berhasil menerobos masuk setelah menghajar dua pengawal Eza di depan. "Apa-apaan lo?" bentak Ali langsung berdiri, waspada. Tapi Elang nggak menggubrisnya, dia memilih menghampiri Lintang. "Kamu kenapa? Kenapa kamu jadi gini? Seharusnya kamu dengerin aku, berangkat sama aku? Lain kali ...," "Nggak ada lain kali!" potong Lintang dingin. Lintang mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Bang Al, bawa dia pergi. Saya nggak mau lihat mukanya." Pinta Lintang nggak tahan lama-lama berada di dekat Elang. Saat ini di pikirannya adalah semua yang terjadi hari ini karena ulah Elang. Elang dari keluarga Erlangga. Kalau bukan dia, siapa lagi yang menyuruh murid-murid SMA Erlangga menyerbu Gajah Mada? "Lo denger sendiri kan? Lebih baik lo pergi sekarang. Gue nggak mau ada keributan." Ali memperingatkan. "Lintang dengerin aku." "Gue nggak mau ngomong sama lo El, kalo lo kesini berharap bisa rebut Gedung Tua dari gue, itu nggak akan terjadi." Tandas Lintang berhasil menyentakkan Elang. "Gedung Tua? Jadi kamu nuduh aku yang lakuin ini?" Lintang tersenyum kecut, baru mau menatap Elang yang masih berdiri di samping ranjangnya menuntut penjelasan. "Itu yang pernah lo lakuin tiga tahun lalu kan?" tanya balik Lintang. Pukulan telak. Elang nggak bisa berkata apa-apa. Dia menunduk sebentar menghela napas, kembali menatap Lintang. Kali ini Elang tersenyum, mengangguk. Senyuman yang nggak bisa diartikan. Lalu dia menatap Ali yang juga berdiri di seberang sisi ranjang Lintang. "Jadi sekarang waktunya? Lo udah mulai bangun, Al?" "Gue nggak pernah tidur, selama lo masih hidup." "Kali ini gue juga yang akan menang, persis seperti tiga tahun lalu." "Dan kali ini gue nggak akan biarin itu terjadi. Lo bisa keluar sekarang, lo nggak boleh mati hari ini, El." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD