Mario memandangi Vanessa yang terlihat sangat sibuk, sampai-sampai tidak mendengar dirinya membuka pintu. Raut muka sang adik yang begitu serius membuatnya merasa bersalah, karena telah mendukung Pratamada Asmawarman untuk mengirimnya ke Sukabumi.
Menutup tahun saja sudah membuat semua orang sibuk. Apa lagi Vanessa. Adiknya itu harus menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk mengambil alih perusahaan yang baru diakuisisi. Sampai-sampai pulang ke rumah ketika malam sudah sangat larut. Bahkan beberapa kali pada dini hari.
“Tok! Tok!” Mario menirukan bunyi pintu diketuk, padahal dirinya tidak mengetuk sama sekali. Tanggannya hanya bertengger pada handle pintu.
Vanessa tidak menjawab. Perempuan itu masih sibuk pada layar computer di atas meja kerjanya. Kacamata yang sudah merosot bahkan dia biarkan begitu saja.
Mario menghela napas panjang, lalu menghembuskannya kasar-kasar. Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepala. Niatnya ke sini adalah untuk mengundang Vanessa makan malam bersama keluarga Seruni. Dia ingin semua keluarga termasuk Vanessa dan Mada datang ke acara tersebut.
Akan tetapi, melihat kesibukan Vanessa, dia takut undangannya akan menjadi beban bagi sang adik. Selain sibuk, Vanessa juga belum bersedia untuk seutuhnya melupakan masa lalu antara dirinya dan Seruni. Mario mengerti, tetapi tidak pernah berhenti untuk berharap bahwa suatu hari nanti, sang adik akan menerima tunangannya itu dengan tangan terbuka.
Mario mengetuk meja kerja sang adik. Baru dalam posisi sedekat itu, dia tahu bahwa Vanessa memasang headset di telinganya. Laki-laki itu tersenyum simpul. Setidaknya, ada hiburan yang menemani sibuknya seorang Tri Vanessa Asmawarman hari ini.
Vanessa mendongak. Melihat sang kakak nomor dua berdiri di hadapannya dengan senyum lebar, buru-buru dia melepas headset dan menyimpan berkas yang sedang dipelajari. Kini, perhatiannya telah sepenuhnya pada sang kakak yang tampak canggung,berdiri di hadapannya, seolah akan menyampaikan sesuatu.
"Kenapa, Bang?"
"Ngobrol di sana, yuk?"
"Langsung aja," jawab Vanessa. Dia menolak permintaan sang kakak untuk mengobrol di tempat yang lebih nyaman. "Aku lagi banyak banget kerjaan."
Mario mengangguk tanda mengerti. Lalu, laki-laki itu duduk di kursi yang berada di hadapan Vanessa.
"Sabtu malam ini, abang dan keluarga kita mau ke rumah Seruni. Mau bicarain tanggal pernikahan." Laki-laki itu menggosok bibirnya, ragu untuk mengucapkan kalimat ajakan kepada sang adik. Dia tidak tahu apakah kalimat yang akan dia lontarkan dapat menyinggung perasaan Vanessa atau tidak. Namun, dia juga tidak bisa mundur lagi.
"Terus?"
Baru memberi tahu rencananya saja, Vanessa langsung berubah dingin. Tampak seperti orang kesal. Hal itu membuat Mario semakin ragu. Akan tetapi, dia ingin hari-hari pentingnya dihadiri oleh seluruh keluarga. Pratamada sudah setuju. Dirinya hanya tinggal mendapatkan persetujuan dari seorang Tri Vanessa.
Mario menatap Vanessa ragu-ragu. Sepertinya, sang adik benar-benar kesal, sehingga memutuskan untuk bersandar dan menyilangkan kedua tangannya di d**a.
"Abang pengin kamu hadir, Ca." Mario berkata dengan cepat.
Vanessa mendelik. Menghindari tatapan sang kakak yang penuh dengan harapan agar dirinya bersedia menghadiri acara tersebut.
Seruni adalah bagian dari patah hatinya di masa lalu. Seseorang yang telah menggoreskan ingatan buruk tentang waktu silamnya. Pertemuan dan kesan pertama mereka sangat buruk. Seruni sebagai selingkuhan Dirga, dan Vanessa sebagai korban perselingkuhan. Bagaimana pun Mario memohon, dirinya tetap tidak bisa melupakan kejadian itu. Ketika dirinya melihat Seruni dan Dirga bercengkerama dengan sangat mesra.
"Abang mau Eca datang?"
Mario mengangguk. Tatapannya penuh dengan permohonan. Vanessa adalah adik tercintanya. Dia ingin melibatkan orang-orang terkasih dalam momen-momen pentingnya.
"Abang maksa atau Eca boleh milih nggak datang?"
Pertanyaan sederhana yang Mario tahu jawabannya. Bahwa Vanessa akan memilih yang kedua. Betapa pun dirinya ingin sang adik hadir di hari penting itu, tetap tidak bisa dipaksakan. Kenyamanan Vanessa harus menjadi prioritas. Apa lagi, beban sang adik saat ini cukup berat.
Laki-laki itu mengembuskan napas. "Eca boleh milih, kok. Abang enggak maksa."
Senyum tulus yang terlukis di wajah Mario, menular pada Vanessa. Perempuan itu bersyukur, karena sang kakak telah dengan besar hati memberinya pilihan. Hidupnya saat ini sedang tidak karuan. Vanessa tidak ingin melampiaskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Daripada mengacaukan acara penting sang kakak, dia memilih untuk menepi dan menyendiri. Dia berjanji dalam hati, tidak akan melewatkan pernikahan Mario, sebagai ganti ketidakhadirannya dalam acara penentuan tanggal.
"Makasih banyak, Bang." Vanessa berucap dengan senyum lebar masih terukir di wajahnya. Dia benar-benar berterima kasih atas pengertian sang kakak.
"Nggak perlu berterima kasih, Ca. Abang ngerti, kok. Jahat banget kalau abang maksa adik sendiri buat datang, sementara adiknya nggak mau."
"Abang maksa Eca buat datang ke pesta ulang tahunnya, ya! Padahal Eca nggak mau," kelakar Vanessa.
Mario tertawa.
"Iya, maafin abang, ya?"
"Nggak apa-apa, Bang. Eca yang harusnya minta maaf, karena belum bisa melepas masa lalu Eca yang satu itu."
Vanessa menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya melalui mulut. Dia tidak ingin menangis. Berapa pun lamanya kejadian itu berlalu, dadanya selalu terasa sesak jika sudah teringat. Apa lagi, jika membicarakannya.
"Eca nggak bisa lupa, Bang. Susah banget rasanya. Tiap lihat wajah dua orang itu, ingatan Eca selalu kelempar jauh, ke waktu Eca nyaksiin sendiri gimana mesranya mereka, Bang."
Mario menunduk. Dirinya tahu bahwa Dirga melakukan itu demi memutus hubungan romansanya dengan sang adik. Akan tetapi, caranya salah. Dirga berselingkuh. Membuat Vanessa merasa tidak pernah dicintai. Perempuan itu bahkan tidak mau mendengar apa pun tentang seorang Dirgantara keluar dari mulut kedua kakaknya.
Seruni, waktu itu, terlalu dibutakan oleh cinta. Perasaan yang bertepuk sebelah tangan, membuatnya rela melakukan apa pun, termasuk menjadi selingkuhan laki-laki itu.
Mario tidak pernah membela Seruni atas dosa masa lalu. Laki-laki itu hanya melihatnya di masa kini, sebagai tunangan yang baik dan telah menyesal. Dia pun tidak berniat memaksa Vanessa untuk menerima Seruni dengan hati lapang.
Harapan. Mario hanya mempunyai harapan, agar suatu saat, perempuan yang dia cintai sebagai pasangan dapat berteman baik dengan adik kesayangannya.
"Nggak perlu dipaksa, Ca. Abang minta maaf, karena nggak bisa mengabaikan perasaan abang kepada Seruni untuk kamu. Abang cinta banget, Ca, sama Seruni."
Obrolan yang semula ringan, berubah menjadi sangat serius dan melankolis. Mario tidak merencanakan ini. Akan tetapi, dirinya sadar bahwa Seruni dan Dirga adalah topik yang berat dan serius bagi Vanessa.
"Eca nggak pernah berpikiran untuk nyuruh Abang putus sama dia. Eca cuma berharap, Abang nggak bosan untuk ngertiin Eca."
Dia bahkan tidak sudi menyebut nama Seruni secara langsung. Mario membatin. Jalan untuk membuat Vanessa menerima Seruni sepenuhnya sudah terjal sejak awal. Memang benar, tidak ada yang bisa dia lakukan selain berharap.