Bagian 10

1244 Words
Vanessa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pertemuan dengan Dirga beberapa saat lalu membuat tenaganya terasa dikuras habis. Berhadapan dengan masa lalu yang dia benci sangat tidak mudah. Emosinya seperti dipermainkan, dibuat naik-turun. Tidak stabil. Memberinya rasa lelah yang tak terperi. Penjelasan Dirga pun tidak membantu mengurangi rasa sakitnya sama sekali. Justru membuatnya semakin merasa tidak pernah dicintai oleh laki-laki itu. Bagaimana mungkin Dirga berkhianat dengan alasan demi kebaikan Vanessa? Dirinya tidak pernah berpikiran sekali pun untuk menyakiti orang yang dia sayangi. Kenapa orang lain bisa seperti itu terhadapnya? Berhubungan dengan Raditya pada awalnya untuk melenyapkan rasa sakit yang diberikan Dirga. Mengenyahkan bayang-bayang laki-laki itu. Seiring berjalan waktu, Raditya membuatnya nyaman dengan banyak kesamaan yang mereka miliki. Afeksi yang dia dapat darinya membuat cinta itu terus tumbuh dan menguat setiap saat. Sialnya, takdir tampak senang sekali mempermainkan hatinya. Membuat dirinya merana karena orang tersayang. Semesta sepertinya suka melihat dirinya menangis tersedu, karena pengkhianatan yang dilakukan pasangannya. Luka atas pengkhianatan Raditya masih basah. Hatinya penuh darah. Ditimpa lagi dengan penjelasan Dirga yang semakin membuat hatinya bertambah pedih. Bersama dengan helaan napas yang berat, Vanessa berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Tatapannya kemudian tertuju pada jendela kamar yang gordennya belum ditutup. Pemandangan lampu kota seharusnya mampu membuat dia tenang. Seperti biasanya. Akan tetapi, malam ini sungguh berbeda. Rasa sedih dan marah masih merajai dirinya. Sedih karena dua laki-laki yang pernah dia cintai, mengkhianatinya. Dirga dengan Seruni, perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istri Mario. Raditya dengan perempuan yang selama ini merupakan sahabatnya, sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Cassandra. Kurang lengkap apa semesta menyiksanya? Dia bahkan masih harus berhadapan dengan Seruni. Berhadapan sebagai kakak iparnya. Air mata pun menetes secara perlahan. Mengurai rasa sakit yang memenuhi hati dan tubuhnya. Menunjukkan bahwa semesta selalu berhasil membuatnya tersedu-sedu. Perempuan itu meremas baju di bagian d**a, seolah ingin melepaskan jeratan yang terasa sangat menyesakkan. Tangisnya pun bertambah kencang. Terisak hingga suaranya memenuhi kamar luas miliknya. *** "Don't take it lightly, you moron! Your mother and I are seriously arranged this meeting for you. She is a sweet girl. Behave, okay?" Park Richard memutar bola mata. Titah sang ayah memang tidak pernah dia anggap serius. Ini bukan kali pertama kedua orang tuanya mengatur pertemuan dengan seorang perempuan. Perempuan yang hanya dikenal mereka. Dia biasanya hanya mengiyakan tanpa pernah sekali pun datang. Meski harus berakhir dengan ocehan panjang sang ibu, terkadang ayahnya ikut berkongsi, dirinya sama sekali tidak menyesal. Baginya, melaksanakan perintah mereka untuk berkencan hanya membuang-buang waktu. "Park Richard, kamu dengar saya?" "Ya," jawabnya singkat. "Jangan hanya bilang ya saja. Your mother is gonna be so angry kalau kamu nggak datang. Kamu mau?" Park Richard menghela napas, lalu mengembuskannya dengan kesal. Jika perempuan yang dipilih oleh orang tuanya itu adalah Vanessa Asmawarman, dia tidak akan menolak. Dengan senang hati dirinya memenuhi titah kedua orang tuanya. Sayang sekali. Vanessa tidak mungkin tertarik untuk bertemu seorang laki-laki melalui pengaturan orang tua seperti ini. "Aku mengerti, Pa. Jangan khawatir." "Jangan hanya bicara! Lakukan!" Nada bicara sang papa yang tinggi membuat Park Richard semakin kesal. Kesal, karena kali ini tidak bida mengelak sama sekali. Menghindari pertemuan yang telah dirancang ini pasti akan menimbulkan kemarahan besar seperti yang dikatakan Park Heo Joon. "Ya." Telepon pun berakhir. Park Richard kemudian melempar ponsel ke atas tempat tidur. Siapa pun perempuan yang sudah diatur untuk bertemu dengannya, tidak cerewet dan sama-sama tak menginginkan pengaturan ini. *** Vanessa menatap jalanan yang terlihat dari kafe rooftop tempatnya makan saat ini. Tatapannya kosong. Tangan kiri memegang gelas jus jeruk, sedangkan tangan kanannya mengaduk-aduk minuman tersebut. Selaras dengan tatapan yang tampak kosong, pikirannya pun tidak memikirkan apa-apa. Hanya mengahadapkan tubuh ke jalanan, lalu menatapnya tanpa bermaksud menikmati pemandangan kota. "Miss Vanessa?" Suara berat seorang laki-laki menginterupsi lamunannya. Dirinya tidak merasa ingin menangis sama sekali, tetapi begitu mengerjap, air mata menetes dari pelupuk matanya. Vanessa sendiri merasa terkejut. Tanpa membuang waktu lagi, dia menghapus tetesan air mata di pipinya, lalu berbalik ke arah orang yang memanggilnya. Perempuan itu terkejut melihat Park Richard berdiri dengan senyum tampannya. Alih-alih segera merespons sapaaan laki-laki itu, Vanessa justru memperhatikan penampilan ‘mewah’ sang klien. Rambut hitam andalannya dibentuk ke atas, menunjukkan kening mulusnya. Kaus V-neck hitam dibalut jas berwarna maroon membuat wajahnya yang berseri semakin bercahaya. Celana hitam dipadukan dengan sepatu pantofel dengan warna senada. “Miss Vanessa?” Vanessa Asmawarman kembali pada realita ketika Park Richard melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajahnya. Perempuan itu mengerjap. Merasa malu seketika, begitu sadar bahwa wajah sang klien berada sangat dekat dengannya. Pipi Vanessa memerah. Tampak sekali dirinya merasa malu, seolah tertangkap basah sedang menilai penampilan seorang klien penting. Park Richard berusaha menyembunyikan senyum. Dia melihat dengan jelas ketika Vanessa menjelajahi penampilannya dengan mata indah itu. Dia berpikir, setidaknya Vanessa melirik dirinya. Melalui penampilan terlebih dahulu. Siapa tahu, perempuan itu mulai mempertimbangkannya dari sisi yang lain. “Y-ya?” Vanessa tergeragap. “Saya boleh duduk di sini?” Vanessa mengangguk tanpa berpikir panjang. Sebenarnya, dia tidak bisa memikirkan apa pun selain mencari cara untuk mengurangi rasa malunya terhadap sang klien, dan berharap supaya Park Richard tidak melihat dirinya melakukan perbuatan tidak sopan tadi. Park Richard tersenyum. “Terima kasih,” ujarnya sembari menarik kursi agar dirinya bisa duduk di hadapan seorang Tri Vanessa Asmawarman—perempuan yang telah menarik perhatiannya. Vanessa tersenyum simpul, terkesan agak terpaksa karena masih menahan malu. Sungguh. Dia benar-benar malu. Dirinya sama sekali tidak suka jika ada orang lain, baik laki-laki mau pun perempuan, menilai penampilannya. Bagi putri bungsu Asmawarman itu, hal tersebut sangat tidak sopan. Namun, dirinya malah melakukan apa yang menurutnya tidak baik. Sangat memalukan. “Sendiri saja?” tanya Park Richard. “Ya, kebetulan sedang ingin makan sendirian.” Dalam hati, Vanessa meneruskan ucapannya. Bahwa dirinya selalu sendirian sejak dikhianati Raditya dan Cassandra. Sebelum dirinya mengetahui kebusukan dua orang itu, Cassandra selalu mempunyai waktu untuk menemaninya makan atau sekadar bertemu untuk bercengkerama sebagai sahabat. Meski beberapa waktu ke belakang Vanessa dan Raditya jarang sekali bertemu, dia tidak merasa kesepian. Kehadiran Cassandra melengkapi kekosongan itu. Mengingat betapa dekat dirinya dengan Cassandra dulu, Vanessa merasa sangat bodoh dan naif. Bodoh karena menganggap Cassandra berteman dengan tulus. Park Richard mengangguk-angguk, merespons jawaban Vanessa. Laki-laki itu tidak tahu harus memulai percakapan tentang apa. Bisnis, tentu saja tidak profesional jika dibicarakan ketika mereka bertemu tanpa sengaja seperti ini. Apalagi, dia sedang berusaha melakukan pendekatan, mengingat semesta tampak merestuinya dengan beberapa kali mempertemukan mereka. “Mister sendiri?” Pertanyaan Vanessa membuat Park Richard merasa mendapatkan angin segar. Dia tidak perlu mencari bahan untuk mengobrol lebih lama dengan sang klien. “Oh,” Park Richard menegakan posisi duduk, “saya kebetulan ada pertemuan.” “Bisnis?” Vanessa bukan penasaran terhadap urusan Park Richard di sini. Sebenarnya, dia hanya bermaksud mencairkan suasana. Mencoba menghilangkan rasa malu yang masih bercokol atas kejadian memalukan tadi. Park Richard tampak ragu-ragu. “Em ... bisa dibilang seperti itu.” Meski mengangguk dan tersenyum dalam merespons jawaban sang klien, Vanessa berdecih dalam hati. Jika menjawab dengan ragu, berarti urusannya tidak berhubungan dengan pekerjaan. Pasti ada hal lain. Belum selesai kepala Vanessa memikirkan urusan Park richard di sini, sehingga membuat mereka tidak sengaja bertemu, suara seorang perempuan menginterupsinya. Sangat lembut dan anggun. Seanggun penampilannya. Perempuan itu menyapa Park Richard. Bertanya apakah laki-laki itu yang akan bertemu dengannya hari ini. Dari pertanyaan perempuan anggun itu, Vanessa tahu bahwa bisnis yang dilakukan Park Richard di restoran ini adalah kencan buta. Vanessa ingin tertawa, tetapi menahan diri. Dia dapat melihat dengan jelas wajah sang klien memerah setelah perempuan itu melontarkan pertanyaan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD