Bagian 4

1306 Words
Riuh tepuk tangan menggema di ruang rapat Asmawarman Tower atas keberhasilan Asmawarman Life menjadi perusahaan asuransi nomor satu di Indonesia. Keberhasilan itu menciptakan senyum di wajah Mada dan Mario. Mario berhasil memimpin perusahaan tersebut dengan sangat baik. Mada sendiri tidak menyangka bahwa adiknya yang tidak pernah serius ketika belajar, bisa berubah drastis seperti ini. Dalam hati, Mada berterima kasih pada Seruni yang telah membawa pengaruh baik kepada sang adik. Vanessa menatap layar ponselnya sambil tersenyum bangga. Dalam berita yang sedang dibacanya, ada foto Mada, Mario, dan jajaran direksi lainnya. Kedua kakaknya tampak bahagia. Dia tentu saja ikut berbahagia atas pencapaian sang kakak. Rapat kali ini tidak dihadiri oleh Gunawan Asmawarman selaku pemilik. Sang ayah sedang menikmati masa tua bersama sang istri, Dania Wijaya, di Munster–Jerman. Namun, Vanessa yakin bahwa berita ini telah sampai lebih dulu ke telinga sang ayah. Kebahagiaan di wajah Vanessa harus luntur ketika alarm di ponselnya menyala. Mengingatkan sang empu akan peristiwa penting yang sudah dipastikan dapat menggores lukanya lebih dalam. Perempuan itu tidak ingin kembali larut dalam kesedihan. Maka, dengan kewarasan yang masih mendekati full, Vanessa beranjak dari kursi kebesarannya. Bermaksud untuk pulang lebih awal, karena harus menghadiri acara tersebut. "Saya pulang, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aja, Pak." Vanessa berpesan kepada sekretarisnya. "Maaf, Bu. Sebenarnya, ada yang nunggu Ibu." Dahi Vanessa mengerut. Dia tidak merasa memiliki janji temu dengan siapa pun. "Siapa?" "Mister Park, Bu." "Park Richard?" Sang sekretaris mengangguk. "Oke, saya temuin dulu kalau gitu. Terima kasih, Pak Galuh." *** Di ruang tunggu, Park Richard menunggu sambil mengamati satu per satu hiasan dinding. Hanya berisi kata-kata mutiara yang diberi bingkai. Meski begitu, ada satu ungkapan yang menarik perhatiannya. Amarah atau asmara, kasih atau pedih, segalanya indah jika memang tepat pada waktunya. Dee, Rectoverso Laki-laki dengan tinggi 185 cm itu berdiri tepat di bawah bingkainya. Meresapi ungkapan yang setelah ditelaah, cukup masuk akal. Meski begitu, baginya, quotes tetaplah quotes. Tidak akan memengaruhi hidupnya bahkan secuil pun. Satu-satunya yang dapat berpengaruh adalah dirinya sendiri. Park Richard bergeming ketika pintu dibuka. Dia dapat melihat pantulan orang yang membukanya dari bingkai tersebut. Senyum simpulnya pun terbit. Menyambut kedatangan orang yang sedang ditunggu-tunggu. "Maaf, karena sudah membuat Anda menunggu, Mister Park." Park Richard berbalik. Sambil tersenyum, dia beranjak menuju tempat Vanessa berdiri. Berhenti di hadapan perempuan itu, dengan menjaga jarak aman. "Tidak apa-apa. Sudah risiko saya, karena tidak membuat janji lebih dulu." Vanessa mengulurkan tangan, gesture sopan yang biasa ditunjukkannya kepada klien. Disambut oleh kliennya tersebut dengan senyum lebar, yang dia akui, menghiasi wajah tampannya. "Ngomong-ngomong, ada keperluan apa, ya, Mister? Apakah ada masalah terkait kerja sama kita?" "Tidak ada." Dahi Vanessa kembali mengerut. Dia tidak terbiasa dengan kondisi ini. Setiap klien yang menemuinya pasti membuat janji terlebih dahulu. Tentu saja, dengan berbagai persoalan yang sangat perlu didiskusikan. Tidak pernah ada yang menemuinya tanpa alasan seperti yang dilakukan Park Richard. "Lantas?" Laki-laki itu mengusap leher. Gugup. Kedatangannya ke sini dan menemui Vanessa bukan untuk membahas tentang pekerjaan. Ada maksud lain. Namun, dia sedikit takut. Takut terhadap penolakan yang akan diberikan oleh Tri Vanessa Asmarman. "Saya ... em ... saya bermaksud mengajak Anda makan malam. Apakah ...." Park Richard mengusap tengkuk. "Apakah Anda ada waktu luang?" Jatungnya berdetak lebih cepat. Dia benar-benar merasa gugup. Pengalamannya mengajak seorang perempuan makan malam adalah nol besar. Makan malam di luar pekerjaan. Sungguh. Entah kenapa, sejak bertemu untuk pertama kalinya, bayangan Vanessa tidak pernah menghilang dari benaknya. Keinginan untuk bertemu di luar pekerjaan pun tidak pernah padam, sehingga di sinilah dirinya berdiri seperti orang bodoh yang tidak memiliki tujuan. "Maaf, saya tidak bisa." Semakin tampak bodoh setelah penolakan itu dilontarkan langsung oleh Vanessa tanpa berpikir sedikit pun terlebih dahulu. Dadanya terasa berdenyut. Nyeri sekali. ketakutannya benar-benar terjadi. Hanya makan malam, dan dia ditolak. Bagaimana kalau megajaknya menjalin hubungan romantis? Bisa jadi, dia ditertawakan. Park Richard mengangguk-angguk. Tangannya masih berada pada leher. Sedikit memijat, menahan aliran darahnya agar tidak berkumpul di wajah dan menunjukkan betapa dia kecewa. "Baik," gumamnya. Dia mengangkat wajah, memandang Vanessa sambil menyunggingkan senyum yang tidak sampai ke mata. "Terima kasih atas waktunya. Kalau begitu, saya permisi." Vanessa kebingungan melihat reaksi kliennya itu. Reaksi yang entah bagaimana, membuatnya merasa bersalah. Membuatnya berpikir bahwa seharusnya dia menerima ajakan itu. Akan tetapi, dirinya sendiri bingung. Untuk apa seorang Park Richard mengajaknya makan malam tanpa membicarakan pekerjaan? Mengedikkan bahu, Vanessa lalu beranjak dari tempatnya. Tidak. Bukan untuk menghadiri acara yang sudah di-set alarmnya. Melainkan untuk menemui Mada, karena kakak sulungnya itu sudah mewanti-wanti, agar dirinya datang ke kantor sang kakak. Ada hal teramat penting yang ingin dibicarakan, katanya. *** "Asmawarman Group baru saja mengakuisisi salah satu garment di Sukabumi," kata Mada begitu Vanessa duduk di hadapannya. Dahi Vanessa mengerut. "Sejak kapan kita berurusan sama garment, Bang?" "Kebetulan direktur yang di sini datang ke abang. Minta tolong. Ya, udah, abang tolongin." "Terus?" "Abang pengin kamu yang ngurus di sana." "Hah? Gimana, Bang? Gimana maksudnya? Eca? Eca terbiasa ngurusin hotel. Kok, bisa-bisanya disuruh ngurus garment?" Vanessa sungguh terkejut. Nama kotanya saja hanya Vanessa dengan dari berita. Bagamana dia bisa bertahan hidup di daerah yang sama sekali belum pernah dikenalnya? "Abang yakin, kok, kamu pasti bisa." "Tapi kenapa, Bang? Kenapa Eca?" Pratamada menghela napas berat. Dia tidak ingin mengungkapkan alasan sebenarnya. Namun, dia juga sadar, menyembunyikan alasan dari Vanessa tidak akan berakhir baik. Maka, dengan berat hati, Mada mengatakannya. "Banyak yang komplain soal kamu, Ca. Terutama masalah kamu pecat Raditya." Vanessa mendengkus kesal. Dia yakin, inti permasalahan ini adalah Raditya. "Apa bagusnya, sih, Raditya?" "Sangat bagus, Ca! Klien-klien hotel sangat menyukai cara kerjanya. Kamu pikir, berkat siapa hotel ini bisa sebesar sekarang? Kerja sama kamu dan Raditya selama ini yang membuat Hotel Asmawarman dikenal berbagai kalangan." Tatapan Mada menajam. "Dengan kamu memecat Raditya, kamu sudah menunjukkan ketidakprofesionalan kamu, Ca. Hanya karena alasan Raditya gagal menggaet artis yang lagi terkenal itu untuk dijadikan BA? Yang bener aja, dong!" Jemari Vanessa mengepal di atas lutut. "Kamu juga nggak terkendali, Ca. Kamu memblokir seluruh akses Raditya buat ngedapetin akses fasilitas-fasilitas hotel kita. Kalau boleh abang ingatkan lagi, Ca. Raditya sangat berjasa atas keberlangsungan hotel kita. Raditya dan kamu. Dia berhak mendapatkan pekerjaan begitu juga fasilitasnya, Ca." Mada membicarakan soal dirinya yang memblokir akses Raditya dan Cassandra untuk menyewa gedungnya. Pemblokiran yang menyebabkan pasangan itu memundurkan tanggal pernikahan. Seharusnya, mereka menikah satu minggu lalu. Namun, baru bisa mendapatkan gedung yang sesuai beberapa hari lalu, dan hari ini mereka telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Mengingatnya membuat hati Vanessa kembali tercabik-cabik. Dalam kepalanya, sumpah serapah ditujukan kepada pasangan itu. Mereka telah bahagia, sedangkan dirinya harus menerima ceramah dari sang kakak. Lebih daripada itu, perasaannya dibuat merana. Ditambah lagi, dia harus menerima konsekuensi atas tindakan impulsif yang dilakukannya akhir-akhir ini. "Abang sendiri yang bilang kalau aku harus nunjukin, Bang. Nujukin kalau Raditya berurusan dengan orang yang salah. Eca sedang membuktikan itu, dan Vanessa berhasil membuat mereka kalang kabut, kan?" Mada terhenyak. Tidak. Bukan pembuktian seperti ini yang dimaksud. Dia tidak tahu bahwa Vanessa akan salah mengartikan ucapannya. Dia bermaksud memotivasi sang adik, agar segera bangkit dan menunjukkan pada laki-laki yang telah menyakitinya itu. Bahwa seorang Asmawarman tidak akan terpuruk hanya karena dikhiniati perasaannya. "Abang nggak bermaksud kayak gitu, Ca. Kamu salah tangkap." Vanessa ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca. Setiap ucapan dan perbuatan Mada adalah contoh. Ketika sang kakak mengatakan kalimat itu, di benaknya hanya tercipta pembalasan dendam. Bahwa Raditya dan Cassandra harus membayar untuk apa yang telah mereka lakukan. "Pokoknya, bulan depan kamu ke Sukabumi. Kamu pantau masalah-masalah yang ada di pabrik itu. Cari tahu sampai sedalam mungkin, supaya kita nggak kecolongan." Perempuan itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk menentang sang kakak. Hari ini dirasanya cukup berat. Dua informasi yang menguras energi dan perasaannya datang bersamaan. Satu hal yang dia inginkan saat ini adalah tidur. Tidur yang lama demi mengenyahkan ini semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD