3. Bloody Marrige Contract (1): "Aku bukan wanita sewaan!"

1936 Words
Little Thief's POV  [Masa sekarang] Alih-alih mengampuni dosa-dosaku, Tuhan mengirimkan iblis dalam wujud manusia tampan bernama Azrael Levianth Pereira sebagai hukuman karena telah mencuri. Ini tidak adil. Sialan, ini sama sekali tidak adil. Aku memang telah membayangkan sel penjara yang dingin ketika memutuskan untuk mencuri dari seorang politisi. Sel penjara yang dikelola oleh pemerintah, yang akan memberikan narapidana makan 3 kali sehari, kesempatan untuk menikmati udara satu jam sehari bersama narapidana lain, dan mungkin sebuah buku motivasi sebagai wadah untuk menghabiskan waktu saat sedang sendiri di sel. Bukan ini! Bukan pernikahan konyol dengan iblis yang berkamuflase menjadi anggota pemerintah. “Cepat jalan!” Bentak pria botak yang mencengkeram lenganku begitu kuat. Satu tangannya ia gunakan untuk menodong pistol ke pelipisku, sembari menyeret tubuhku menaiki anak tangga. “Aku sungguh tidak mengerti kenapa kau repot-repot mengancamku dengan senjata api.” Aku mendengar diriku berbicara, “Ukuran tubuhmu dua kali lebih besar dariku. Dengan tangan kosongmu yang gemuk pun sudah cukup untuk membuatku hilang kesadaran.” Apa yang si bodoh ini pikir akan kulakukan? Bahwa aku akan meninju wajah jeleknya dengan tanganku yang tidak pernah menyentuh alat berat? Pria botak itu tidak terlihat senang dengan komentarku, “Jangan banyak bicara, atau kau tidak akan keluar dari Azrael’s Mansion hidup-hidup.” Masalahnya adalah aku sudah pasrah dan yakin aku tidak akan keluar hidup-hidup dari sini, dari tempat yang disebut sebagai Azrael’s Mansion ini. Jadi untuk apa mati dengan menyedihkan jika bisa mati dengan perlawanan? Tapi ketika pria botak itu menusuk pelipisku dengan ujung senjata api, mendadak aku teringat kengerian yang kusaksikan beberapa saat lalu. Ketika Azrael dengan begitu dinginnya meledakkan kepala pria malang di sel sebelahku. Tenggorokanku mendadak terasa kering. Aku tidak mengatakan apa-apa lagi. Pintu di ujung tangga terbuka. Memperlihatkan tempat yang sangat kontras dari kengerian di ujung lain tangga. Aku mengernyit, menyesuaikan pencahayaan dari koridor berdinding putih yang dihiasi berbagai ornamen berkilau. Tempat ini hanya punya dua warna, putih dan emas. Meneriaki kekayaan dari setiap sudut. Aku bertaruh, harga karpet berbulu di bawah kakiku pasti lebih mahal dari harga sewa satu bulan apartemen kecilku—atau satu tahun? Nafasku perlahan hilang ketika pria botak membawaku memasuki sebuah ruangan sepetak tanpa jendela. Ada kasur single tanpa ranjang di lantai sudut ruangan, lemari kecil di sudut lainnya, meja rias mini di salah satu dinding, dan meja bundar kecil yang hanya memiliki dua kursi di tengah-tengah ruangan. Jangan bilang ini adalah penjara lainnya? Bernafas, Kiera. Bernafas. "Kau boleh pergi, Tom." Tegas suara berat di belakangku. "Terima kasih atas kerja kerasnya." Senjata api menjauhi pelipisku. Kurungan pada lenganku terlepas. Pria botak yang memiliki nama Tom meninggalkan ruangan setelah membungkuk. Aku berbalik, menghadap pemilik suara berat di belakangku. Azrael Leviathan Pereira, mengenakan setelan mewah yang membungkus tubuhnya dengan tidak adil, bersandar pada kusen pintu. Bernafas, Kiera. Bernafas. Iblis itu masih memiliki efek yang sama terhadap tubuhku seperti pertama kali aku bertemu dengannya—bahkan setelah dia melakukan hal keji di depan mataku. Dia menakutkan dan mengintimidasi. Tapi juga bisa mengubah setiap ruangan yang ia masuki menjadi neraka. Namun, neraka itu membeku ketika Azrael mengeluarkan satu kata, "Duduk." Aku menurut, menempati salah satu kursi di tengah ruangan. Bukan karena takut akan perintahnya. Tapi karena kakiku terlalu loyo untuk berdiri. Baru saat itu aku sadar, ada piring bersekat yang berisi makanan: mashed potato, daging potong, telur rebus, brokoli, dan segelas s**u putih. Yuck! Jadi ini memang penjara. "Makan." Perintahnya lagi. "Oh, baik sekali dirimu." Aku memandangnya berpura-pura terharu sembari menyentuh dadaku, "Azrael Leviathan Pereira memberi makan korbannya sebelum ditembak mati." Ekspresiku berubah tajam, "Tidak, terima kasih. Aku tidak punya nafsu makan. So, go ahead. Kill me now." "Jangan banyak drama." Cibir Azrael memutar mata, "Aku sudah bilang aku tidak punya niat membunuhmu.” “Maksudmu belum?” Kataku mengulang perkataannya saat di penjara bawah tanah. Tampaknya ucapanku mengandung humor karena Azrael tersenyum—benar-benar tersenyum hingga memunculkan lubang kecil di sisi kanan pipinya, “Gadis pintar.” Iblis sialan ini punya lesung pipi? Sungguh, Tuhan? Apa Engkau sedang bercanda denganku?! "A–apa… apa yang kau inginkan dariku?" Suaraku terdengar aneh. Ruangan tanpa jendela ini membuatku sesak nafas. Tapi ketika Azrael melangkah masuk dan duduk di kursi seberangku, aku lupa bagaimana cara bernafas. Dia bersandar dengan kakinya terlipat di lutut. Mata hitamnya mengawasiku seolah aku badut yang menghibur. "Makan, Little Thief. Aku tidak ingin orang-orang berpikir aku membuatmu kelaparan karena kau terlihat seperti orang kekurangan gizi." Pertama, iblis ini menculikku. Kedua, dia menyekapku di penjara bawah tanah yang bau busuk. Dan sekarang dia menghina bentuk tubuhku?! "Apa pedulimu dengan giziku? Kau hanya setan yang memakai jas untuk menipu pemerinta—” Azrael mencondongkan tubuhnya dan aku lupa kelanjutan ucapanku. "Untuk yang terakhir kalinya—” Azrael berdesis dari sela-sela gigi, “Makan. Atau aku yang akan mencekoki makanan itu ke tenggorokanmu. Dan kau akan mati lebih cepat karena tersedak dan tidak bisa bernafas." Lalu iblis itu kembali bersandar, "Dan jangan menghayal, Little Thief. Aku sedikit pun tidak peduli dengan kesehatanmu." Untuk beberapa saat aku hanya diam, seperti itu. Hilang dalam kengerian mata hitamnya. Lalu, aku terlonjak. Tubuhku gemetar karena cegukan, tidak sadar menahan nafas. Cepat-cepat, aku menunduk. Menyembunyikan pipiku yang terasa membakar, tau pasti jika iblis itu pasti tersenyum saat ini. Menuruti perintah sang iblis di hadapanku, aku menyendoki mashed potato memenuhi mulut sambil menahan cegukan. Oh, makanan busuk ini lebih menyiksa ketika dimakan sambil cegukan. "Minum." Azrael berkata lagi, lebih lembut dari kali ini. Aku mengabaikan perintahnya, hanya untuk membuatnya kesal. Siapa iblis ini pikir dirinya? Mendikte perintah dengan begitu— Aku terlonjak lagi, kali ini karena sebuah tangan berlabuh di rahangku, mencengkram kasar, memaksaku untuk bertemu dengan mata hitam yang mematikan. "Minum, sialan.” Dia berdesis di depan bibirku, “Kau akan mati tersedak jika makan sambil cegukan." Aku tidak seharusnya gugup, tapi jantungku bergemuruh tanpa izin. Meskipun kesulitan, aku berhasil menjawab, "Itu… yang… aku.. mau." Azrael menyeringai, mencondongkan wajahnya—sangat dekat hingga hidungnya nyaris menyentuhku. "Kau hanya bisa berharap kematian bertemu denganmu lebih cepat, Little Thief.” Azrael berbisik kecil di depan bibirku, “Tapi kau punya hutang yang harus kau lunasi. Kau tidak akan mati sebelum semua itu terbayar—kau tidak akan mati tanpa seizin aku. Am I understood?" Dua detik—atau lima, aku tidak begitu yakin—aku hanya diam sebelum tubuhku kembali terlonjak karena cegukan. Azrael merenggangkan jemarinya sedikit untukku berbicara, tapi tidak pernah melepaskanku. "A—ku... aku tidak suka s**u putih." Sudut bibirnya berkedut, seolah iblis itu mencoba untuk tidak tersenyum. Pada akhirnya, dia melepaskanku dan kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Mau minum apa?" Dia bertanya. Azrael terdengar hampir tulus, mengejutkanku. Tapi tentu saja aku salah tidak. Tidak mungkin iblis seperti dirinya punya hati untuk bersikap tulus. "Kukira kau tidak akan pernah bertanya." Sindirku, memaksakan senyum. "Apa kau punya s**u strawberry?" "Tidak." Azrael menjawab sangat cepat. "Kau punya istana semegah ini, tapi tidak punya s**u strawberry?" "Cepat." "Bagaimana dengan jus strawberry? Itu minuman yang mudah. Hanya perlu strawberry dan blender—" Tubuhku terlonjak karena cegukan, "Harusnya kau punya." Azrael menghela nafas, "Apa saja selain strawberry, Little Thief." "Tapi strawberry adalah makanan kesukaanku di seluruh dunia. Kenapa kau sangat menentang strawberry? Senyum terukir di sudut bibirnya, memunculkan lesung pipi sialan itu, "Apa aku terlihat peduli dengan makanan kesukaanmu, Little Thief?" Tidak. Azrael terlihat seperti iblis itu tidak peduli apa pun. Pada akhirnya aku menajawab, "Air putih saja." "Kalau itu aku punya." Sambarnya, terdengar frustasi. "Jack!" Azrael memanggil ke arah pintu, tempat seorang pria berpakaian jas rapi muncul. Pria itu sangat tinggi sekali. Rambut pirang dengan potongan Buzz-cut. Mata sebiru lautan, terlihat lembut dan tegas dalam waktu bersamaan. "Bawakan air mineral untuk tahanan kita." "Baik, Tuan." Sahut Pria bernama Jack, sebelum berlalu keluar. Tak beberapa lama kemudian, Jack kembali dengan segelas air mineral. Ia meletakkannya di hadapanku. Sebelum menunduk ke arah Azrael, "Ada lagi, Tuan?" "Itu saja, Jack." Azrael tersenyum—sangat tipis, "Terima kasih atas kerja kerasnya." “My pleasure, sir.” Jack balas tersenyum lebar sebelum meninggalkan ruangan. "Ternyata kau tahu cara berterima kasih." Celetukku, menyambar air dan meneguknya sampai habis dalam satu tegukan besar—salah satu cara ampuh untuk menghilangkan cegukan. Ketika aku selesai, Azrael memandangku dengan sebelah alis terangkat. Jadi aku melanjutkan, "Kemarin saat di Hommes kukira kau adalah politisi yang tidak tahu sopan santun. Tapi siapa sangka, kau ternyata punya sopan santun—koreksi, kau pembunuh yang punya sopan santun." Beberapa saat berlalu, Azrael hanya mengawasiku sebelum menyambar, "Kau sama sekali tidak takut padaku, huh?" "Aku takut." Ujarku mengakui. Hingga saat ini, bertatapan dengan mata hitamnya masih membuatku gemetar, "Tapi jika kau ingin membunuhku, kau pasti sudah melakukannya dari tadi. Jadi, kenapa aku belum mati, Azrael?" "Mati adalah hal terakhir yang perlu kau takuti, Little Thief." Azrael melipat kakinya ke lutut, "Karena menikah denganku jauh lebih buruk daripada kematian." Oh, Tuhan. Iblis ini tidak main-main dengan pernikahan?! "No!" Aku mendengar diriku berteriak, "Aku akan bunuh diri sebelum menikah denganmu." Azrael terlihat hampir sakit hati. Tapi ketika dia mengedip, mata hitamnya kembali kosong. Lalu perlahan, berbinar mengerikan, "Mati saja. Pun, tidak lama setelah itu, adikmu akan menyusul. Kalian bisa reuni dan berpesta di surga." Jantungku mencelos mendengarnya. Berdebar begitu kencang hingga memekakkan telinga, "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" Jangan nangis, Kiera. Jangan nangis. "Sederhana. Untukmu menjadi istri bonekaku." Azrael kembali mencondongkan tubuhnya, menatapku dalam-dalam dengan mata hitamnya yang berbisa, "Dengarkan aku baik-baik, Kiera Grace Harlow. Kau berhutang 150.000$ padaku dan kau harus membayar semua itu." "Dengan menjadi istri boneka?" "Secara kontrak. Untuk 3 bulan ke depan. Aku sedang mencalonkan diri sebagai Gubernur dan aku butuh seorang istri hiasan untuk tersenyum di sebelahku—” “Kenapa harus aku?!” “Jangan potong aku saat aku sedang bicara, Little Thief.” Azrael tersenyum, meskipun rahangnya mengeras, “Kau akan tahu alasanku pada waktunya. Tapi saat ini, yang perlu kau ketahui adalah kau akan mengikuti setiap perintah yang kuberikan—menghadiri event, interview, kampanye—semua sesuai dengan aturan yang kuberikan. Ada harga di setiap hal yang kuperintahkan kepadamu—yang akan langsung dikurangkan dari nominal yang kau curi dariku." "Apa maksudmu harga?" "Katakanlah, aku membutuhkanmu untuk tersenyum di sebelahku di sebuah acara dan kau sukses melakukannya hingga acara selesai tanpa membuat kekacauan. Jadi, kau akan mendapatkan imbalan $10.000 untuk jasamu. Atau lebih, tergantung bagaimana sikapmu." Penjelasannya membuatku mual, "Aku bukan wanita sewaan!" "Tentu saja bukan—kau pencuri kecil." Azrael meraih rahangku, untuk memastikan aku mendengarkan dengan baik setiap hinaan yang akan ia lemparkan, "Pencuri kecil miskin yang saking frustasinya, rela mencuri untuk membayar tagihan rumah sakit." Azrael menyeringai, menatapku atas dan bawah penuh cemooh, "Tapi kau benar, Little Thief—kau bukan wanita sewaan. Aku tidak akan menggunakan tubuhmu untuk kebutuhanku. That's for sure." Aku tidak bangga dengan postur tubuhku—kurus, kecil, tanpa lekukan. Tapi aku tidak pernah sesakit hati ini terhadap semua hinaan yang pernah dilontarkan padaku oleh orang-orang, melebihi apa yang kurasakan ketika hinaan itu keluar dari mulutnya. "Bagaimana jika aku tidak mau? Bagaimana jika aku bekerja untuk diriku sendiri untuk membayar hutangku." "Little thief, aku tahu kau gadis yang pintar. Apa yang menurutmu akan terjadi jika kau membantah perintahku?" Azrael tidak perlu mengucapkannya. Aku langsung tahu dari cara mata hitamnya berkilat penuh kekejian. "Please, don't kill my sister." Pintaku kecil. "Then, don't disobey me." Azrael melepaskan rahangku, tapi mata hitamnya tidak pernah meninggalkan mataku, "Ini bukan cerita dongeng—ini pernikahan yang berdarah. Jika kau melanggar peraturanku, aku akan membawamu bertemu dengan Tuhan-mu. Did I make myself clear, Little Thief?" Pada akhirnya aku mengangguk, "Yes." Hanya karena aku akan menjadi benalu yang akan menyabotase semua kampanye yang iblis ini lakukan. Dan memastikan jika Azrael Leviathan Pereira tidak akan pernah memimpin San Myshuno.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD