06 : Memangnya Mantan Boleh Cemburu?

1709 Words
Sebelum jam kerja dimulai, Radhi menikmati kopi kalengan dengan Benjamin di sampingnya. Pria itu datang tanpa pemberitahuan, mengajaknya pergi ke club nanti malam pukul 09.00 PM. Karena tidak punya alasan menolak, Radhi pun menyetujuinya. Beberapa hari ini dia uring-uringan, butuh sekali refreshing. Rencananya Radhi akan mengajak Jeremy. Jeremy penyuka ingar-bingar dan alkohol, tanpa pikir panjang dia pasti langsung menerimanya. “Memang bajingann si Zachary. Gue baru mulai tebar pesona, dia udah maju berlangkah-langkah.” “Apa bedanya sama lo? Lo juga bajingann,” dengkus Radhi. “Gue nggak suka unit gue didatangi orang yang nggak berkepentingan, apalagi tujuannya cuma buat flirting.” “Takut kesaing? Santai aja, Dhi. Biar kata Zachary banyak fansnya, lo juga nggak kalah menawan dari dia.” “Najis! Yang gue maksud itu elo!” Benjamin terbahak-bahak. Setelah minumannya tandas, kaleng kopi langsung diremas kemudian dilempar ke tempat sampah yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Suasana UGD mulai ramai, tanda-tanda segala aktivitas akan segera dimulai. Para perawat terlihat berlalu-lalang, tak hanya satu atau dua orang yang kedapatan curi-curi pandang ke arah Radhi dan Benjamin. Bagaimana tidak, dua visual sedang bersatu, tentu saja pemandangan itu tidak boleh mereka dilewatkan. Merupakan sebuah berkah bekerja dengan atasan yang memiliki ketampanan di atas rata-rata. Setidaknya kalau tidak bisa memiliki, minimal bisa mengagumi. Begitulah isi hati kaum hawa di rumah sakit ini. “Dhi, gue lagi nggak ada temen kencan. Boleh nggak pinjem satu cewek di unit lo? Syukur-syukur dapat Nakia,” kata Benjamin, dia sedang dadah-dadah, tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata pada perawat yang barusan lewat. “Nggak bakalan ada drama, gue janji. Sebelum kencan, gue bakal kasih tau mereka kayak apa cara mainnya.” “Nggak boleh! Lo mau cari teman tidur bukan di sini tempatnya.” “Ayolah. Gue udah nggak selera sama yang di unit gue. Kelewat agresif sampai-sampai nggak ada tantangannya lagi.” “Gimana kasus Julia kemarin?” Sebelah alis Radhi terangkat, dia menatap cemooh pada Benjamin. “Dia pakai hati. Harusnya sekali liat lo udah tau, tatapan mereka menyimpan banyak harapan, Ben. Nggak ada yang namanya main-main.” “Khamini, Ery ... mereka agresif. Lo rayu mereka, mereka nyambut itu dengan tangan terbuka. Kalo gue juga pake metode yang sama, mereka pasti nggak bakal nolak.” “Mereka nggak akan bisa nolak. Buaya macam lo punya seribu satu cara buat memikat mereka.” “Itu salah satu pesona gue, makanya sekarang gue minta baik-baik. Istilahnya ada pemberitahuan dulu sebelum bertindak. Kalo gue mau nggak sopan, nggak ngomong ke elo langsung embat-embat aja udah.” “Nggak! Gue nggak mau kerjaan gue terhambat. Lebih baik cari target lain selain di unit gue.” Benjamin berdecak kesal. “Susah kalo lawannya cowok lurus. Sayang waktu bertahun-tahun yang gue pake buat temenan sama manusia yang nggak ada support-supportnya kayak lo. Memang sialan si Radhi ini!” Tanggapan Radhi hanya berupa dengkusan. Dia tahu, sekalipun kata-kata Benjamin terdengar serius, kenyataannya justru bertolak belakang. Pertemanan mereka sudah berada di level memaklumi segala jenis kata-kata kasar. Namanya juga laki-laki, tidak ada istilah tersinggung dalam kamus mereka. “Gila! Tepos-tepos gitu Nakia cantiknya parah banget!” seru Benjamin tiba-tiba. Moodnya langsung membaik setelah melihat yang bening-bening di depan mata. “Coy! Yang coba modusin dia ternyata banyak. Ni cewek baru gabung, tapi udah populer.” Radhi menggeplak kepala Benjamin, lalu melihat ke arah yang sama. Nakia mendengarkan Wahyu bicara, lalu mereka tertawa. Ah, dia benar-benar tidak suka. Pertama, kesalahan Benjamin adalah mengatai Nakia tepos. Kedua, Radhi dibuat geram dengan tatapan mesumm pria itu. Ketiga, dia mulai muak disuguhi pemandangan keakraban Nakia dengan berbagai jenis pria di rumah sakit ini. “Lebih baik lo balik ke unit lo sekarang juga!” usirnya. “Ha?” Benjamin menoleh dengan ekspresi tidak terima. “Nanggung banget, Dhi. Minimal sampai gue disamperinlah—hai, Nakia!” Radhi nyaris mengumpat saat Benjamin melambaikan tangan ke arah perempuan itu. Senyuman khas buaya memikat mangsa terpasang sempurna di bibirnya. Kalau saja tidak sedang menahan diri, Radhi pasti menonjok wajah cabull pria itu. “Hai! Dokter ... Ben, kan?” tebak Nakia saat mendekat, keningnya berkerut tanda sedang berpikir. “Right. Benjamin Jordan Wangsaputra.” Saat keduanya bersalaman, Benjamin mengecup punggung tangan Nakia. Melihat hal itu, Radhi langsung menelan ludahnya. Ada yang panas tapi bukan api. Radhi ingin marah, tetapi dia siapa? Apa haknya? Memangnya mantan masih boleh cemburu? Ah, si-a-lan! “Akhirnya bisa nyapa juga. Ngomong-ngomong lo nggak ada bedanya sama gula.” “Gula? Saya manis ya, Dok?” “Itu poin kedua, poin pertamanya suka dikerumuni semut-semut.” Meskipun belum mengerti, Nakia tetap tersenyum menanggapi. Dia tahu sedang dirayu dan dengan senang hati menerima rayuan tersebut. “Malam ini ada acara apa? Mau jalan bareng, nggak? Nakia ‘kan lama di luar negeri, pasti belum update soal tempat-tempat baru. Gue dengan senang hati mau jadi tour guide lo.” Radhi jengah mendengarnya. Setenang mungkin dia menyela, “Udah waktunya kerja. Bicaranya dilanjut nanti saja.” Setelah menatap tajam ke arah Benjamin, Radhi lalu beralih pada Nakia. “Bersiap dari sekarang. Kita akan sibuk seperti biasa.” “Lo nggak asik, Dhi!” “Baik, Dok,” ujar Nakia dengan patuh. “Selamat bekerja buat Dokter Ben. Semangat!” Benjamin langsung mesem-mesem dibuatnya. Menatap Radhi dengan sebelah alis terangkat, dia menjawab, “Makasih, Cantik. Semangat juga buat Nakia.” Samurai mana samurai? Radhi ingin menebas leher Benjamin detik ini juga! *** “Apakah sakit kalau saya menekan daerah ini?” tanya Nakia pada wanita di depannya. “Ya,” jawabnya mengernyit. “Apa Bu Lina minum pil?” “Ya. Kenapa? Apa hubungannya dengan batuk dan bengkak di kaki saya, Sus?” “Mungkin tidak ada,” ujar Nakia. “Tapi saya akan meminta dokter untuk memeriksa Ibu. Saya punya satu pertanyaan lagi, apa Ibu pernah batuk darah?” “Sedikit.” Raut wajah Lina mulai terlihat cemas. “Saya hanya mengira itu karena batuk terlalu keras atau gigi yang berdarah.” “Mungkin memang benar, tapi mohon Ibu tetap di sini dulu. Saya akan kembali sebentar lagi.” Nakia kemudian keluar, berjalan cepat menuju unit kerjanya untuk mencari Radhi. Ternyata pria itu tengah memeriksa serangkaian hasil rontgen untuk salah satu dokter junior. “Kau bisa melihat retakannya kalau kau memeriksanya.” Radhi mendorong sehelai foto lagi ke alat rontgen. “Kau melihatnya dengan cara yang salah.” “Dokter Radhi!” panggil Nakia dengan nada suara mendesak dan Radhi memiringkan kepala ke arah Nakia, matanya masih terpaku pada foto rontgen itu. “Ada apa?” “Bu Lina, wanita yang saya minta menunggu tadi ...” “Kenapa dengannya?” “Saya rasa beliau mungkin mengalami emboli paru.” Setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, Nakia menggigit bibir bawah karena gugup. Demi Tuhan, dia bukan dokter. Seharusnya Nakia tidak sembarangan membuat diagnosis. Selama beberapa detik diliputi keheningan, Nakia memilih pasrah kalau dirinya ditertawakan atau bahkan dimarahi Radhi. Namun, ternyata pria itu tidak melakukannya. Justru dia mulai mengalihkan fokus dari foto rontgen, memberi perhatian penuh padanya. “Apa gejala-gejalanya?” Nakia bersyukur karena Radhi menanggapinya dengan serius. “Napas terengah, dadaa sakit, dan batuk darah. Beliau mengalami pitting oedema—akumulasi cairan—di kaki kanan dan pergelangan kaki, lalu beberapa tempat di betis kanannya sakit.” “Bagaimana kau bisa tahu itu?” Wajah Nakia langsung merona. “Beliau bilang sesak napas saat sedang berlari, dan saya menyadari salah satu kakinya bengkak. Seandainya Bu Lina nggak mengenakan rok selutut, saya rasa nggak saya akan tau. Mungkin itu bukan apa-apa ...” “Kedengarannya bukan hal sepele bagiku. Biar kuselesaikan ini dulu, dan akan ke sana sebentar lagi.” Radhi menarik foto rontgen lalu menyerahkannya pada dokter juniorr yang sedari tadi masih belum beranjak dari sana. “Pindahkan pasien ini ke klinik patah tulang untuk digips di bawah lutut dan beri dia rujukan ke bagian ortopedi untuk pemeriksaan lanjutan.” Lalu dia berbalik ke arah Nakia. “Ayo kita periksa pasienmu.” Nakia segera mengimbangi langkah Radhi yang berderap menuju ruang resus. “Usia Bu Lina di pertengahan 30 tahun, beliau perokok dan meminum pil.” “Apa ada hal lain yang tidak kau ketahui tentang wanita itu?” “Saya hanya mengajukan beberapa pertanyaan,” jawabnya sambil tersenyum. “Pertanyaan-pertanyaan yang tepat ternyata ...” Mata cokelatnya tiba-tiba bersinar tajam. “Ayo kita lihat apakah kecurigaanmu terbukti.” *** Hari yang panjang, Nakia tutup dengan maskeran selama lima belas menit sebelum tidur. Duduk bersila di atas ranjang dengan bantal di pangkuan, dia memainkan ponsel sambil sesekali berbalas chat dengan Zachary. Pria itu menyapa Nakia untuk pertama kalinya, setelah meminta kontak Nakia di lift waktu itu. Nakia: [Besok hari terakhir dapat shift pagi. Mau makan nasi uduk bareng nggak, Dok?] Setelah menekan tombol send, Nakia menunggu balasan sambil scroll-scroll IG. Dia melihat story teman-temannya di Aussie, tidak lupa memberi love pada setiap postingan mereka. Ugh! Terlalu banyak yang Nakia kangeni sampai-sampai dia tidak tahu harus mulai menyebutnya dari mana. Dalam waktu dekat ini dia tidak punya rencana untuk bepergian. Mungkin beberapa bulan lagi akan kembali Nakia pikirkan. Zachary: [Berangkat setengah jam lebih awal, ya. Nanti saya jemput di unitmu.] Senyum Nakia merekah setelah membaca. Langsung dia membalas dengan kata ‘oke’, lalu meletakkan ponsel di atas bantal karena harus segera melepas masker. Lima belas menit sudah berlalu, Nakia sempat bercermin dan tersenyum puas melihat kulitnya yang lembab. Ponsel Nakia kembali berbunyi saat dia berbaring. Chat yang masuk ternyata bukan dari Zachary, melainkan Jeremy. Jeremy Leonard Hugo, anak Om Diaz, sahabat papanya. Kak Jemy: [Mantan lo, Ki. Mabok nggak mau, disuruh godain cewek mau tapi nolak diajak ciuman. Alim banget dia. Kata orang islam, istiqomah di jalan kebenaran.] Nakia sontak tertawa melihat video yang barusan diunduhnya. Nakia: [Bangga sama abang ...] Nakia: [Lagi pada di mana? Itu yang kaos hitam Dokter Benjamin, ya? Ganas bener sama ceweknya.] Kak Jemy: [Bukan ceweknya, tadi nemu random di sini. Udah tidur sana. Kapan-kapan ketemuan, ya? Kangen banget sama Kia kecil.] Nakia: [Siyappp. Kakak jangan mabok, nanti Tante Aura marah ...] Selesai mengirim, Nakia langsung mematikan ponsel dan meletakkannya di atas nakas. Terbiasa tidur dengan penutup mata, Nakia langsung mengambil benda itu dan mengenakannya. Setelah semua persiapan beres, dia mencari posisi yang nyaman lalu perlahan-lahan memejamkan mata untuk memasuki dunia mimpi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD