“Halo! Saya Meishya Nakia Dewangga, perawat baru di unit gawat darurat ini. Mohon bimbingan dan kerja samanya,” ucap Nakia memperkenalkan diri, yang kemudian disambut sorakan dan tepuk tangan dari beberapa orang, termasuk Anita.
Ternyata senyum ceria yang dipasang Nakia membawa dampak positif, buktinya dalam waktu singkat dia langsung dikerumuni. Ada yang balik memperkenalkan diri, ada pula yang sok cool saat berjabat tangan—berharap di-notice Nakia, karena sedang berusaha membuat kesan bagus di pertemuan pertama ini.
Saat yang lain berusaha welcome pada anggota baru, Radhi justru tak bergeming di tempatnya berdiri. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi, bertolak belakang dengan tatapannya yang tajam bak predator buas mengintai mangsa. Dari atas kepala sampai ujung kaki tidak luput dari perhatian Radhi, dalam hati dia sibuk membandingkan sosok Nakia tujuh tahun silam dengan yang sekarang.
Selama berkuliah di luar negeri, Nakia tidak pernah pulang ke Indonesia. Keluarganya-lah yang mengunjungi jika musim libur tiba. Makanya Radhi hanya mengingat Nakia yang masih belasan tahun. Yang masih ranum dan menggemaskan.
Sebelum hari ini, dia selalu penasaran seperti apa wujud gadisnya setelah beranjak dewasa? Masihkah seimut dan selugu dulu? Atau justru terlihat dewasa karena dia bertumbuh selayaknya wanita dewasa? Nyatanya waktu berlalu membawa begitu banyak perubahan, dan perubahan yang terjadi pada Nakia adalah sebuah anugerah.
Cantik, ... seksi, dan memesona, sampai membuat Radhi terkesima. Di balik responsnya yang tenang, sejujurnya Radhi berusaha keras mengendalikan diri. Dia seorang pria, tentunya memiliki ego dan harga diri yang tinggi. Jangan sampai orang-orang bahkan Nakia sendiri tahu, bahwa dia belum move on dari masa lalu. Itu akan sangat memalukan.
“Lagi terpesona, Dok? Saya akui dia memang cantik, cantik sekali malah.”
Radhi memiringkan kepala, kemudian mendengkuskan tawa. “Kau pandai membaca pikiranku.”
Maryani—atau yang akrab disapa Bu Yani adalah ketua tim perawat UGD. Beliau mengepalai tujuh orang staf, yang sekarang bertambah satu dan genap menjadi delapan. Bu Yani memutuskan pindah ke samping Radhi setelah menyapa Nakia sekadarnya. Sebenarnya beliau agak kaget melihat keantusiasan staf lain, khususnya dari perawat laki-laki. Mungkin bagi mereka Nakia adalah oase baru di tengah UGD yang suram ini.
“Nggak mau ikutan? Kalau tertarik harusnya ‘kan ada tindakan. Jangan cuma diam sambil memandang.”
“Tidak perlu, kami saling mengenal.”
“Oh? Itu fakta mengejutkan!” Bu Yani menyipitkan mata saat menatap Radhi. “Jangan bilang dia—”
“Orang tuanya mengenal orang tuaku. Sejujurnya ini juga kejutan untukku. Sudah lama kami tidak bertemu, lalu secara tiba-tiba dia muncul di rumah sakit ini.”
“Bukankah itu takdir, Dok?”
“Ya, kuharap takdir bagus,” kekeh Radhi.
Bu Yani ikut tersenyum. Sedetik kemudian beliau bertepuk tangan untuk mengambil alih perhatian. “Anak-anak, beri waktu Dokter Radhi untuk reuni!”
Sontak mereka menoleh dan kebingungan. “Maksudnya, Bu?” tanya Anita.
“Perawat baru kita ternyata kenalan Dokter Radhi.”
Setelah hening selama beberapa saat, Nakia berinisiatif mengambil alih pembicaraan. “Itu benar. Awalnya saya sempat ragu kalau dia mmm ... Dokter Radhi, mengingat kami cukup lama nggak bertemu. Tapi sekarang saya sudah yakin, karena dia juga mengenal saya.” Setelah menyelipkan rambut di belakang telinga, Nakia memasang senyum cerianya lagi saat menyapa Radhi. “Apa kabar? Ak—saya nggak tau kalau Ab—Dokter Radhi tugas di sini.”
“Seperti yang kamu lihat. Mungkin sudah waktunya untuk kita bertemu. Bagaimana suasana Australia?”
“Hm ... bagus. Itu sekeren pemberitaannya. Banyak destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Kalau Dokter Radhi dalam waktu dekat ada rencana ke Aussie, saya dengan senang hati merekomendasikan tempat-tempat populer di sana. Dijamin nggak akan mengecewakan.”
“Tidak akan. Justru negara itu berada dalam daftar utama yang saya coret dari list tempat bepergian,” jawabnya, lalu berbalik dan keluar dari ruangan tanpa berkata apa-apa lagi.
Semua orang, terkecuali Nakia, memandangi Radhi. Jelas-jelas mereka terkejut. “Ada apa dengannya?” ujar Anita kebingungan.
Nakia buru-buru menggeleng sebelum diberi tatapan menuntut oleh yang lain.
“Sepertinya dokter idola kita lagi bad mood,” celetuk Khamini—salah seorang perawat pelaksana UGD.
“Nanti juga kembali seperti biasa.” Bu Yani mengibaskan tangan, lalu beliau mulai membubarkan kerumunan. “Cukup untuk perkenalannya, sekarang ayo lanjut kerja!”
***
Nakia menarik kursi, kemudian bergabung bersama ibu, bapak, dan kedua adik kembarnya untuk makan bersama. Ah, sungguh dia merindukan momen kebersamaan ini. Sekarang sampai ke depannya nanti, Nakia akan terus makan bersama mereka. Dia tidak punya rencana pergi lagi, setelah memutuskan pindah ke Jakarta.
“Gimana hari pertama kerjanya, Mbak?” tanya Danu selaku kepala keluarga. “Bapak harap kamu bisa beradaptasi dengan baik di sana.”
“Sangat-sangat sibuk, tapi aku menikmatinya, Pak. Teman kerja dan pengalaman baru, it’s really good!”
“Oh, Ibu lupa ngasih tau kalau—”
“Abang kerja di sana?” potong Nakia sambil merotasikan mata. “Telat banget, Bu. Pantes Ibu semangat rekomendasi in rumah sakit itu.”
Ibunya tertawa. “Biar nggak asing-asing banget. Ada kenalan ‘kan enak buat tanya-tanya. Abang pasti mau bantu kalo itu kamu.”
“Ibu jangan minta tolong macam-macam, ya. Soal itu biar jadi urusan Kia. Cukup tempat kerja aja yang ada campur tangan Ibu-nya.”
“Iya, serahkan semuanya ke Kia. Dia sudah besar, bisa urus semuanya sendiri. Tahu mana yang baik untuk dirinya sendiri. Satu lagi, masa lalu tetap jadi masa lalu, jangan sampai dibawa-bawa di masa sekarang lagi. Ngerti, Bu?”
“Bapak ini apa-apaan, sih? Orang nggak ada niatan ke arah sana, kok,” protes Azkia. Dia sampai melotot kesal pada suaminya karena main tuduh saja.
“Bukan menuduh, maksud Ibu itu terbaca jelas sama Bapak.”
Al dan El kompak geleng-geleng kepala. Kadang orang tuanya berdebat tidak tahu tempat, yang diperdebatkan pun hal sepele. Tapi kalau sudah lengket, anak sendiri pun seolah tidak terlihat. Berasa dunia hanya milik berdua, sisanya pemeran figuran saja.
“Canggung nggak ketemu Bang Radhi lagi?” tanya El sambil mengunyah paha ayam goreng. “Menurutku Bang Radhi keren. Dia udah jadi idolaku sejak kelas satu SMP.”
“Aku dukung Mbak balikan sama Bang Radhi,” kata Al ikut-ikutan.
“Ni bocah bedua. Makan aja sana!”
“Bang Radhi itu keren. Aku mau jadi dokter kayak dia.”
“Role modelku tetap bapak. Tenang aja, Al, biar aku yang jadi penerus bapak. Kamu kejar minatmu. Aku dukung seratus persen.”
Nakia mendengkus pelan, meskipun begitu dia bangga pada si twins yang memiliki sisi dewasa. Mereka memang dilahirkan untuk mengerti dan mendukung satu sama lain, faktanya mereka jarang bertengkar. Justru Nakia-lah yang sering mereka musuhi. Al dan El mirip ibu mereka, sementara Nakia lebih ke bapaknya.
Satu lagi, kisah cinta Nakia begitu melegenda di lingkup keluarga. Dulu dia dan Radhi berpacaran secara terang-terangan, meskipun sempat tidak diizinkan bapaknya. Namun, karena Radhi selalu menunjukkan sikap sopan dan menjadikan rumah mereka sebagai tempat kencan, pada akhirnya Danu memberi restu juga.
Berakhirnya hubungan mereka pun membuat para orang tua kaget, akan tetapi sebagai pihak luar, baik orang tua Nakia maupun orang tua Radhi menerima dan mendukung apa pun keputusan mereka. Selagi itu yang terbaik menurut keduanya, kenapa tidak?
“Jangan cuma bicara, belajar yang benar. Jadi Radhi atau Bapak, dua-duanya sama mengandalkan nilai. Kalau hanya kemauan yang besar, tapi usaha belum maksimal, siap-siap saja kehilangan cita-citamu.”
Al dan El menoleh bersamaan ke arah Danu. Rupanya sudah berhenti berdebat dengan ibu, makanya bapak ikut nimbrung dalam obrolan mereka.
“Kalau keberuntungan yang besar gimana, Pak?”
“Tetap saja harus diimbangi belajar. Hidup ‘kan tidak hanya mengandalkan keberuntungan saja.”
“Tapi faktor keberuntungan itu lebih penting dari apa pun!” kekeh Al. “Yang pintar akan kalah dari yang beruntung.”
“Betul!” dukung El.
“Udah-udah, selesaikan makannya. Abis itu bersihkan meja, cuci piring, dan belajar,” tegur Azkia.
Laki-laki di rumah ini ada tiga, tetapi tiga-tiganya tidak bisa mengelak dari titah ibu ratu. Terkadang Nakia hanya bisa tertawa melihatnya. Apalagi bapaknya, di luar sangar seperti singa, di rumah seperti anak kucing saja.
“Mbak Kia tugasnya apa, Bu? Masa nggak ada.” Al sedang protes.
“Untuk malam ini istirahat saja. Kasian hari pertama kerja, pasti capek karena baru penyesuaian di tempat baru.”
Detik itu juga Nakia menjulurkan lidah, puas sekali rasanya karena berhasil mengejek kedua adik kembarnya.
***
Setelah lulus ujian masuk rumah sakit, Nakia sudah bekerja bagian UGD selama dua tahun. Dia sempat mengambil cuti satu bulan, sebelum kemudian memutuskan kembali ke Jakarta setelah lama meninggalkan Indonesia.
Jujur saja tidak ada yang Nakia rindukan di sini selain keluarganya. Dulu awal-awal putus dengan Radhi memang sedikit sulit. Mereka cukup lama berpacaran, siapa yang tidak merasa kehilangan? Namun, karena itu sudah jadi keputusan bulat Nakia, dia tidak pernah menyesalinya. Justru berkat itu dia bisa berkuliah di universitas impiannya dan berada di posisi sekarang berkat langkah besar yang dia ambil.
Tidak ada kesan apa pun yang dirasakan Nakia saat keduanya dipertemukan kembali. Baginya mereka sudah berada di versi terbaik masing-masing. Satu-satunya hal yang Nakia syukuri adalah, Radhi menjadi sosok yang keren setelah dia putusi.
Sebuah pencapaian yang luar biasa, bukan? Melepas seseorang agar bisa berkembang. Meski caranya tidak baik, tetapi Nakia senang Radhi dan dirinya bisa melewati fase itu. Sakit hati yang mereka lalui itu tidak sia-sia, karena sama-sama berhasil mengejar mimpi.
Senin datang dengan cepat, Nakia tiba di rumah sakit lebih awal dari sebelumnya. Saat berada di loby, dia tidak sengaja menabrak seseorang—lebih tepatnya ditabrak, karena orang tersebut terkesan buru-buru.
“Maaf. Kamu tidak apa-apa?” tanyanya saat bantu memungut paper bag Nakia yang terjatuh. Di dalamnya ada fortune cookies buatan ibunya. Beliau minta dibagikan kepada rekan kerja Nakia.
Fun fact, fortune cookies ibarat kue yang wajib ada di keluarganya. Bapak Nakia sangat-sangat menyukainya. Beliau bilang yang berada di balik kesuksesan malam pertama mereka adalah kue itu.
Nakia kurang paham maksudnya, tetapi dia tidak terlalu memikirkan. Toh fortune cookies enak. Dia dan kedua adiknya juga menyukainya.
“Oh, nggak pa-pa.”
Setelah pria itu menyerahkan paper bag pada Nakia, terjadilah adegan klise dalam sinetron. Pria itu lebih dulu mengulurkan tangan. “Orang baru, ya? Di unit mana?”
“UGD,” kata Nakia sembari menyambutnya.
“Antonio Zachary,” ucap pria itu. “Dari departemen pediatri.”
“Saya Nakia Dewangga.”
Zachary tersenyum tipis. “Dewangga ... saya tahu pemilik nama itu. Ngomong-ngomong senang mengenalmu. Nanti kita lanjut bicara lagi, saya sedang dikejar sesuatu.” Sebelum beranjak pergi, Zachary sempat berucap, “Sekali lagi maafkan saya, Nakia. Lain kali saat bertemu, saya akan mentraktirmu kopi.”
Nakia ingin menolak dengan halus karena menurutnya itu tidak perlu, tetapi Zachary sudah terlalu jauh dari hadapannya. Alhasil dia mengurungkan niat, kemudian lanjut menyusuri koridor rumah sakit.
Sebelum mengisi daftar hadir, Nakia memutuskan untuk pergi ke ruang istirahat lebih dulu. Namun, dia nyaris berteriak saat berbalik dan mendapati Radhi berjalan tepat di belakangnya. Tanpa suara, tanpa menyapa.
“Aba—Dokter!”
“Pagi,” sapa Radhi setelah berdehem. “Ada insiden apa tadi?” tanyanya sok basa-basi, padahal benar-benar penasaran karena sempat menyaksikan Nakia mengobrol dengan Zachary dan pria itu tersenyum lebar.
“Nggak ada apa-apa. Dokter kenapa nggak ngasih tau kalau ada di belakang saya?”
“Bingung memulainya bagaimana. Santai saja bicaranya, Ki. Kita ‘kan bukan baru kenal satu atau dua hari.”
“Samain kayak yang lain aja. Beda sendiri kesannya jadi aneh.” Nakia lalu mengambil satu fortune cookies dalam paper bag, dan memberinya pada Radhi. “Buatan ibu. Semoga suka.”
“Apa ini spesial buatku?”
“Nggak, kok. Buat yang lain juga ada. Dibagi-bagi katanya.”
Ekspresi Radhi langsung berubah. “Bilang sama tante, makasih.”
“Sama-sama. Oh iya, saya ke ruang istirahat dulu. Mau taruh tas.”
Nakia segera berlalu, sementara itu Radhi belum bergeming di tempatnya berdiri. Lagi-lagi pria itu memperhatikan Nakia, dengan mulut sedikit membuka. Ha, apa hanya dia yang satu-satunya merasa canggung di sini? Sementara Nakia terlihat biasa-biasa saja.
***