"Ok. Berarti udah nggak ada masalah ya." pekerjaan hari ini ditutup dengan rapat. Lega rasanya karena aku bisa menyelesaikan kegiatan yang berjibun. Tiba-tiba aku jadi teringat pada Alinka. Rasanya ingin mengajak Alinka jalan-jalan. Aku mencoba menghubungi sahabat baikku itu sembari kembali ke ruanganku. Panggilan pertama tak dijawab Alin. Dia baru menjawab saat aku menelfon yang kedua kali.
"Lo di mana Ay?" itu adalah panggilan kesayangan kami kalau sedang dalam mode manja.
"Di rumah. Habis nganter Kala barusan ke depan. Kenapa?"
"Kala dari rumah lo?"
"Hm Mami katanya kangen sama Kala, jadi nyuruh Kala ke rumah."
"Oh. Hm gue baru selesai kerja nih. Jalan yuk, bosen."
"Boleh. Mau ke mana?"
"Singapur."
"Sekarang?"
"Iya."
"Yaudah gue siap-siap dulu kalau gitu. Gembel banget gue."
"Okey. Ketemu di bandara aja ya. Gue pesen tiket."
Pembicaraan kami ditutup dengan tawaku karena Alinka yang menjerit sebab hampir tersandung. Nyaris saja tunangan Askala itu tersungkur ria.
Aku menyimpan barang-barang dan meninggalkan store. Aku langsung menuju bandara diantar supir. Terlalu malas untuk mengganti baju jadi aku tetap memakai pakaian yang sama. Hanya ke Singapura jadi tidak masalah. Kalau mood ku bagus aku akan beli pakaian di sana saja nanti. Aku menelfon Bunda, memberitahu bidadari satu itu kalau aku akan ke Singapura bersama Alinka. Bunda sudah mengerti jadi tak banyak bertanya. Bunda hanya punya satu pesan saja. Kami harus pulang persis seperti saat kami pergi. Tak boleh ada yang kurang. Hahaha. Kalian mengerti maksudnya kan?
Ah, Singapura. See you super soon..
...
Rencana tinggal rencana.
Aku sudah hampir sampai di bandara saat mendapat telfon. Berkat telfon itu aku langsung memutar haluan--menjauh dari bandara. Untung saja Alin bukan tipe orang yang ribet. Aku langsung menghubungi Alinka dan mengatakan kalau rencana kami terpaksa batal karena suatu hal.
Senja beranjak malam. Aku sampai di lokasi yang aku tuju saat jam hampir menunjuk di angka 10. Macet yang membuat gila. Benar-benar menguji kesabaran.
Aku turun dari mobil, hendak masuk ke gedung super modern itu. Tapi langkahku terhenti di pintu masuk karena orang yang aku cari sudah lebih dulu menampakkan dirinya.
"Sorry Mbak Yasmine, saya nelfon Mbak Yasmine," ujar pria yang sudah aku kenal itu. Dia terlihat sungkan. Aku berikan dia gelengan.
"Nggak apa-apa. Santai aja. Ini Al sejak kapan di sini?"
Aldebaran, si biang kerok ini sudah setengah sadar atau bahkan sudah tak sadarkan diri sebenarnya. Rencana jalan-jalanku dengan Alinka batal karena Aldebaran. Aku mendapat telfon dari asistennya kalau Aldebaran tengah mabuk berat di salah satu club malam di pusat Ibu Kota. Kenapa aku yang ditelfon?
"Mas Al nyebutnya nama Mbak Yasmine terus. Nggak mau dibawa pulang kalau bukan Mbak Yasmine yang jemput."
Ya, begitulah. Sabar Yas.
"Kenapa bisa mabuk berat gini?" Ya Tuhan si Al ini. Bagaimana lagi cara aku memberitahunya? Padahal dia sudah berkali-kali mendapat peringatan dari dokter. Apa dia mau ususnya hancur? Rasanya ingin aku ceramahi dia. Ah, percuma saja. Menceramahi Aldebaran sama saja dengan membuang waktu.
"Tadi awalnya celebration party aja Mbak Yasmine sama beberapa kru. Niatnya cuma buat have fun aja. Tapi nggak tau, Mas Al-nya tiba-tiba malah minum banyak banget. Mbak tau sendiri nggak ada yang berani larang apalagi saya.."
Ya, aku tahu. Aku akhirnya hanya bisa menghela napas.
"Yaudah, Al saya bawa ya." aku dibantu asisten Al membawa pria itu ke mobilku. Tak ada perlawanan berarti dari Al. Dia pasti benar-benar sudah teler. Gila memang anak Mama Nadin ini. Ya Allah Yasmine, sabar. Aku segera masuk ke dalam mobil kemudian meminta supir segera meninggalkan tempat ini. Aku mual berlama-lama di sana.
...
"Iih Al.." aku bersama supirku berusaha membawa Al ke kamarnya. Perasaanku Al ini kurus. Tapi kenapa badannya terasa sangat berat begini? Apa dia tiba-tiba jadi gemuk?
"Makasih ya, Pak."
"Mau langsung pulang, Non?"
Aku pandangi Aldebaran yang telentang di kasur. Dia terlihat cukup kacau. Al tak sepenuhnya hilang kesadaran karena dia masih menggeliat sesekali sambil meracau tak jelas.
"Bapak keliling-keliling dulu deh. Saya mau urus Al bentar. Ntar kalau udah selesai saya telfon Bapak buat jemput.."
"Baik, Non."
Aku mengarahkan kembali pandangan pada si pembuat onar. Untung saja Alinka tak merajuk karena aku tiba-tiba membatalkan rencana kami.
"Duh kalau ini sih wajib Min. Ngurus suami itu kewajiban utama. Dah sana pergi. Acara kita mah bisa kapan aja." Kampret memang si Alinka. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu. Bisa digorok aku oleh Nata. Lagipula siapa juga yang ingin menikah dengan pria menyebalkan satu ini?
Aku hembuskan napas pelan kemudian mulai membantu Al membereskan dirinya. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku hanya akan melepaskan sepatunya dan memastikan dia tidur dalam posisi nyaman. Mengganti baju? Aku memang sudah sangat biasa melihat Al shirtless. Tapi bukan berarti aku mau menggantikan pakaiannya.
"Yas.."
Aku sudah selesai melepaskan sepatu dan kaus kaki Al.
"Lo manggil gue?"
"Lo masih marah sama gue ya?"
Aku mengerutkan kening. Apa dia meracau?
Aku akhirnya memilih untuk mengabaikan kata-kata Al dan berusaha keras untuk menarik badannya ke atas agar dia bisa tidur dengan posisi lurus. Apa yang akan Mama Nadin pikirkan jika melihat putranya ini begini? Apa Nata tahu kebiasaan Al? Apa Nata tahu sisi Al yang satu ini? Kenapa aku jadi memikirkan soal Nata? Terserahlah Nata tahu atau tidak. Toh itu juga bukan urusanku.
"Al.. jangan gerak. Berat banget sih lo.."
"Yas.. gue mimpi ya? Gue nelfon perasaan nggak lo angkat.." Al meracau lagi. Bicara apa dia? Kapan aku tak mengangkat panggilannya? Oh iya, minggu lalu.
"Iya lo mim--Al! Astaga! Al lepas!" tanpa sempat berikan perlawanan, aku sudah lebih dulu ditarik Al dan berakhir di dalam dekapannya. Al memelukku dengan cukup kuat.
"Al..."
Aku tidak tahu apa Al sudah sadar atau bagaimana. Tapi kini dia sudah membuka matanya dan pandangan kami bertemu. Jujur saja. Bertemu Aldebaran dalam keadaan mabuk bukan hal baru bagiku. Itu sudah sering bahkan terlalu sering--dulu. Ya, Al sempat berubah. Sebenarnya tak bisa dikatakan berubah juga. Maksudku Al sudah mengurangi frekuensi mabuknya selama beberapa waktu terakhir. Tapi kenapa sekarang dia mabuk lagi? Apa ini yang dinamakan efek yoyo? Orang bilang susah untuk lepas dari kebiasaan semacam ini. Apa benar?
"Al lepasin gue. Sesak napas ini.."
"Kok lo harum sih?"
"Badan lo yang bau. Lepasin gue. Udah sadar kan lo?"
"Gue pikir Nata yang datang.."
Sialan. Aku yang ditelfonnya. Bagaimana bisa Nata yang datang?!
Al menutup matanya lagi.
"Al, jangan tidur. Awas, lepasin gue dulu.."
Al kembali membuka matanya. Pandangan kami kembali bertemu. Apa aku sudah pernah mengatakan kalau Al punya tatapan mata yang sangat tajam? Ya, sangat tajam. Mungkin ini yang membuat Al terlihat dingin padahal sebenarnya tidak sedingin yang orang-orang pikirkan juga. Hmm, atau hanya perasaanku saja. Mungkinkah Al memang sedingin itu?
"Nata--" Al menjeda. Dia mau bicara apa?
"Gue Yasmine bukan Nata."
"Pusing banget kepala gue."
Aku mengabaikan kata-kata Al. Aku berusaha melepaskan diri. Untungnya aku berhasil. Aku akhirnya terbebas dari dekapan Al. Tapi saat aku hendak bangkit, Al tiba-tiba menarik tanganku. Kali ini bukan mendekap atau memelukku, tapi Al mengurungku dengan kedua lengannya.
"Al! Sakit!" aku refleks menjerit saat Al menarik kedua tanganku ke atas kepala. "Al becandanya nggak lucu!" sebenarnya ada alasan kenapa aku tak pernah takut menghadapi Aldebaran yang mabuk. Selama ini Al tak pernah melakukan sesuatu yang diluar batas wajar selama dia mabuk. Intinya aku aman. Tapi kali ini sikap Al sedikit tak biasa.
"Wangi banget lo, Yas.."
"Al ja--" kalimat itu tak sampai karena bibir Al sudah lebih dulu mendarat di atas bibirku. GILA!
"Hmmpp... Al--hmptt.. AL LEP--ASTT!!" Aku memberontak dengan seluruh tenaga, berusaha lepas dari kurungan Al. Tapi gagal. Alih-alih melepaskan, Al malah menahan daguku dengan satu tangannya.
"Al--hmmp.." Al kembali mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Ciuman itu berubah menjadi lumatan. Dadaku terasa sesak dan wajahku terasa panas. Aku marah. Tapi perutku terasa geli dan rasanya sangat tak nyaman.
"BRENG--" lagi-lagi kalimat itu tak sampai. Aku sudah bersiap memaki Al saat dia akhirnya melepaskan tautan bibir kami. Tapi Al sudah lebih dulu jatuh tertidur sebelum kalimat makianku sampai padanya. Al tidur dengan wajah menyuruk di cerukku. Badan beratnya menghimpit badanku. Cengkramannya di tanganku juga sudah terlepas. Lalu perlahan aku mendengar suara dengkuran halus.
SIALAN!
Astaga. Sabar Yasmine. SABAR.
Aku mendorong tubuh Al dan berhasil tanpa usaha yang berarti. Al telentang di kasur. kemejanya sudah berantakan. Rambutnya juga acak-acakan.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Aku melakukannya beberapa kali sampai detak jantungku terasa kembali normal. Aku menatap Al yang terlihat tenang dalam tidurnya. Dia terlihat nyenyak. Enak sekali dia tidur" setelah melakukan hal tadi?!
Aku memutar badan, meninggalkan Al.
...
Aku memasuki kafe. Tidak begitu ramai. Aku ada janji makan siang dengan seorang customer. Ini salah satu customer kece yang aku punya. Dia customer VVIP sebenarnya. Tapi dia tak pernah mau bertemu di tempat-tempat yang mewah dan highclass. Mungkin dia sudah bosan. Kami selalu bertemu di kafe atau di coffee shop. Kali ini kami akan makan siang di sebuah kafe yang baru selesai direnovasi. Kafe ini cukup terkenal karena pelayanannya yang bagus dan juga makanannya yang enak.
Aku menemukan customerku itu dengan mudah. Dia memang sudah datang lebih dulu. Tidak sulit untuk menemukannya. Dia selalu memakai baju atau dress dengan motif bunga. Dimulai dari warna paling cerah sampai warna paling gelap. Dari warna paling kuat sampai warna paling pudar. Hari ini dia mengenakkan dress model sabrina warna putih dengan motif bunga berwarna biru muda. Cantik. Simple dan manis.
"Sudah lama?"
"Hai Yasmine. Nggak juga. Tadi emang sengaja datang cepet karena mau ngobrol sama temen aku. Kebetulan dia yang punya kafe ini."
"Ohh.." aku manggut-manggut.
"Hm kita ngobrol sambil makan aja ya. Mau pesan apa?"
Aku memeriksa menu, memilih apa yang ingin aku makan. Karena memang lapar akhirnya aku memesan makanan berat. Satu kesamaanku dengan customerku ini. Kami sama-sama suka makan dan tidak pilih-pilih makanan. Jadi kalau soal selera makan kami bisa dikatakan cocok.
Seperti biasa, sembari menunggu makanan datang, kami lanjutkan urusan kami. Aku mengeluarkan katalog berisi produk-produk terbaru milik kami. Beberapa diantara produk ini belum sampai ke Indonesia. Jadi masih dalam sistem pre-order alias PO. Dia tak suka melihat sendiri produk-produk ini. Jadi aku yang akan menjelaskan dan dia mendengarkan.
"Ini gemesin ya.."
"Warna broken whitenya limited. Cuma 5 aja."
"Oke. Ini satu. Tapi yang orange ini lucu juga."
Aku menunggu dengan sabar.
"Yaudah aku ambil 2 deh. Broken white 1 sama yang orange ini 1."
Aku mengangguk. Pertemuan kami berjalan lancar seperti biasanya. Mungkin dia adalah customer paling menyenangkan yang aku miliki. Makan siang kami juga berjalan dengan lancar. Makanannya memang enak sesuai seperti yang dibicarakan orang-orang.
"Tante Ruby.."
Aku menoleh ke sumber suara. Aku terkejut saat melihat siapa yang menyapa customerku ini.
"Yasa.." Ruby sepertinya mengenal Yasa. Tapi tunggu. Yasa memanggil Ruby dengan panggilan Tante, kan?
"Nona Yasmine.." Yasa sepertinya mengingatku. Kini Ruby beralih memandangiku.
"Kalian kenal ya?" hmmm, harusnya aku yang bertanya. "Yasa ini keponakan aku," ujar Ruby lagi dan itu benar-benar sebuah fakta yang mengejutkan buatku. Aku sudah mengenal Ruby cukup lama. Aku juga mengenal keluarga Mister Lan cukup lama. Bagaimana aku bisa tidak tahu kalau Ruby punya hubungan dengan keluarga Mister Lan? Pantas saja.
"Keponakan?" aku memandangi Yasa dan Ruby bergantian. Ruby ini hampir seumuran denganku. Kalau Yasa aku tak tahu berapa umurnya. Tapi kalau aku tidak salah dia lebih tua dariku.
Ruby tersenyum dengan sangat anggun. "Iya. Emang kalau dari segi umur Yasa lebih tua. Tapi Mama Yasa ini kakak aku. Aku lahirnya telat emang."
Aku akhirnya tersenyum mendengar penuturan Ruby yang disertai tawa pelan.
"Aku nggak pernah ketemu kamu di pesta soalnya.." aku berikan alasan kenapa aku begitu terkejut saat tahu kalau Ruby ini adalah adiknya istri Mister Lan.
"Nggak suka pesta soalnya. Jadi emang nggak datang."
"Ehem.."
Kami sama-sama menoleh saat Yasa dengan sengaja berdehem seolah memberi kode pada kami kalau dia ada di sana. Aku dan Ruby sama-sama tertawa pelan. Ibu dan anak itu berbincang sebentar sebelum Yasa berlalu. Katanya dia ada janji dengan seseorang di kafe ini. Kalau aku lihat Ruby sepertinya tak tertarik dengan urusan keponakannya itu. Dia kembali duduk dan aku mengikuti. Obrolan kami berlanjut--membahas pemesanan barang. Ruby akhirnya menambah 2 tas lagi dari model yang lain. Katanya salah satu dari tas itu ingin ia berikan sebagai hadiah pada seseorang.
Perbincangan kami berjalan dengan menyenangkan dan baik-baik saja sampai pandanganku menangkap dua sosok manusia yang baru memasuki kafe. Moodku hancur seketika. Tatapanku terkunci dengan manik mata Aldebaran. Lalu kulihat dalam gerak lambat Nata memeluk lengan Al dan Al langsung memutus pandangan dengan mengalihkan wajah ke arah lain. Dia berlalu bersama Nata menuju ke kursi kosong di salah satu sisi kafe.
***