SH - 08

1880 Words
Cahaya di living room tak terlalu terang karena lampu yang menyala hanya lampu led di sudut ruangan saja. Aldebaran tengah bergelung di sofa bed dibalut selimut. Aku duduk di  pinggir sofa, baru selesai mengompres dahi Al karena dia demam beberapa jam yang lalu. Aku sudah mencoba meminta Al pindah ke kamar tapi dia menolak.  Sudah dua jam aku di sini. Aku memeriksa suhu tubuh Al, menempelkan punggung tangan di dahi dan pipinya. Demam Al sepertinya sudah turun. Al memang keras kepala. Tak ada yang bisa mengalahkan keras kepalanya seorang Aldebaran. Kalau saja aku tak mengenal Al dari kecil, aku sudah meninggalkannya sejak tadi. Tapi Al tak punya banyak orang yang bisa dia andalkan. Sejak dulu dia selalu bersamaku dan mengandalkan aku di banyak kesempatan. Jadi sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika aku mengurusi dia yang sedang sakit sekarang. Hanya saja situasinya aku sedang marah pada Al.  "Al, pindah ke kamar ya," aku mencoba membujuknya lagi. Mana tau saja kali ini berhasil.  "Ngg.. di sini aja."  Hmm lihatlah manusia raksasa satu ini. Aku hanya bisa menghela napas. Sepertinya aku tak bisa istirahat hari ini. Aku turun dari sofa, duduk di karpet kemudian berkutat dengan ponselku. Aku kirim pesan pada Bunda kalau aku tidak pulang hari ini. Alasannya? Aku jujur mengatakan pada Bunda kalau Al demam. Apa gunanya bohong pada Bunda?  "Yas.."  "Hmm. Kenapa?"  "Gue pikir lo udah pergi.." Al sama sekali tak membuka matanya. Aku menatapnya datar.  "Kenapa tadi nggak suruh Nata nungguin lo di sini?"  "Kan nggak tau kalau gue bakalan demam." Sepertinya Al benar-benar sudah bangun dari tidurnya.  "Yaudah tinggal telfon."  "Ini udah jam berapa, Yas?"  "Lo ngerepotin gue nggak pernah mikir jam kayaknya."  Al membuka matanya. "Lo sama Nata nggak bisa disamain." pandangan kami bertemu. Kadang ada saat di mana aku tak bisa mengerti apa arti tatapan Al. Entahlah. Sepertinya aku memang tak pernah mengerti apa arti tatapannya. Bedanya biasanya aku memang tak peduli pada arti tatapannya. Tapi beberapa hari ini aku jadi memikirkan arti dari sorot mata Al. Aku jadi penasaran apa yang sedang Al pikirkan.  Astaga Yasmine. Sadarlah.  "Harusnya dia yang di sini, bukan gue." Aku kembali memainkan ponselku.  "Dia belum jadi istri gue, ngapain gue ngerepotin dia?"  "Terus maksudnya gue boleh lo repotin gitu?"  Al tak menjawab.  "Serius deh Al gue tanya sama lo. Apa sih yang lo pikirin sebenarnya?"  "Apa?"  Aku berusaha agar tetap sabar. Menghadapi Al memang harus banyak sabar. "Nata tau lo kayak gini? Nata tau lo masih sering minum?"  Al mengangguk.  "Dan dia nggak ngomong apa-apa?"  "Emang dia mau ngomong apa?"  "Al serius.."  "Ya itu gue serius. Emang Nata bakal ngomong apa?"  "Ya dia emang nggak ngelarang lo?"  "Nggak." aku melotot mendengar jawaban Al. "Nggak peduli juga gue kalau dia ngelarang."  "Al, isi kepala lo sebenarnya apa sih? Kenapa sih Nata mau pacaran sama cowok kayak lo?" aku bersungut kesal.  "Gue ganteng."  Aku memutar bola mata. "Banyak cowok lebih ganteng dari lo. Nggak usah kepedean lo yang paling ganteng."  "Faktanya gitu," jawab anak Mama Nadin ini pede.  "Gue serius, jangan bercanda."  "Lo kenapa sih sensian banget kayaknya sama gue akhir-akhir ini? Lo marah karena gue mabuk kemaren? Yaudah gue minta maaf tapi beneran Yas, kemaren itu nggak ada niat. Gue nggak sengaja. Nggak bisa ngehindar juga karena ada klien juga di sana."  "Alasan."  "Astaga, Yas. Kapan gue pernah nyari-nyari alasan ngomong sama lo? Gue benar-benar nggak bisa ngehindar kemaren."  Aku tetap diam.  "Yaudah gue akui gue salah. Gue emang salah. Harusnya gue nggak ke sana. Harusnya gue cari alasan biar nggak ke sana atau harusnya gue ganti tempat pertemuannya. Tapi kalau lo marah sama gue, jangan diemin gue, Yas. Lo tau gue nggak suka didiemin gitu."  Aku masih diam. Sebenarnya terkejut karena Al membahas hal itu.  "Apa gue ada salah lain sama lo? Gue ngerasa lo akhir-akhir ini sering banget mengabaikan telfon gue. Gue ada salah?"  Aku berdehem. "Nggak ada."  "Yas, jujur. Gue tau lo bohong."  Aku malas sekali ribut.  "Yaudah gue maafin lo. Tapi jangan diulangin lagi. Gue khawatir Al kalau lo tiba-tiba drop. Waktu istirahat lo aja udah ancur-ancuran jamnya. Ditambah lagi makan lo nggak teratur. Lo malah nambah penyakit dengan konsumsi alkohol banyak kayak gitu. Kalau lo kenapa-kenapa gue ngerasa bersalah sama Mama Nadin.."  Al tak langsung menanggapi omelanku. "Lo gue ajakin nikah nggak mau."  "s**t Al, nggak lucu!" aku refleks mengumpat. Ini benar-benar kata kasar pertama yang meluncur dari mulutku.  "Yas, mulutnya. Sejak kapan bisa ngomong kasar gitu?"  "Ya lo ngomongnya nggak jelas."  "Tetap nggak boleh ngomong kasar." Aldebaran bangkit dari posisinya. Aku meletakkan kain kompres ke dalam baskom di samping sofa. Al memijit keningnya.  "Udah tidur aja kalau masih pusing."  Al menggeleng. "Laper banget perut gue."  Rasanya tadi aku sudah menawarinya makanan tapi Al bilang perutnya tak lapar. Dasar Aldebaran menyebalkan. Alih-alih memarahinya, aku memilih untuk bangkit dan memanaskan makanan. Aku kembali dengan makanan panas dan segelas air putih. Kadang menghadapi Al ini lebih baik dengan tindakan dari ucapan. Lebih hemat tenaga.  Al hanya tersenyum menerima nampan berisi piring makanan. Lihatlah, dia bahkan tak mengucapkan terima kasih. Sabar Yasmine.  Aku merebahkan diri di sofa, mengistirahatkan punggungku yang terasa keram. Al sudah sibuk dengan makanannya. Sepertinya dia memang lapar. Aku memejamkan mata sesaat. Lelah sekali hari ini entah karena apa.  "Yas.. kemaren waktu lo datang ke lokasi syuting, kenapa lo langsung cabut gitu dan kayaknya kesel banget?"  "Hmmm, nggak kenapa-kenapa." Malas sekali mengungkit yang sudah lalu.  "Yas.."  "Udah Al makan aja. Gue capek."  "Ada staf yang bikin lo kesel?"  "Nggak ada."  "Gue interogasi nih mereka satu-satu. Kalau sampai--"  "Duh Al," aku membuka mata, menatap Al dengan kesal. "Udah diem. Makan aja. Ntar keselek baru tau rasa lo."  Al meletakkan piringnya di atas meja. Entah dia sudah selesai makan atau belum.  "Gue nggak suka ya kalau ada yang jahatin lo. Nggak bakal gue maafin orangnya. Mending lo kasih tau gue atau gue cari tau sendiri.."  Al menghela napas. "Al--"  "Gue serius. Yaudah gue cari tau--"  "Dia nggak bikin kesel. Gue tau hari itu gue yang salah waktu," aku menahan tangan Al yang hendak meraih ponselnya. Memang si Al ini. Aduh. "Dia cuma menjalankan tugasnya."  "Tugas apa? Gue aja nggak pernah ngasarin lo. Siapa dia berani ketus sama lo?" suara Al terdengar serius dan sepertinya dia memang serius. Perasaanku jadi tak enak. "Yang mana orangnya?"  "Al, udah. Gue nggak apa-apa."  "Tapi lo sampai mengabaikan telfon gue. Tuh orang harus dikasih pelajaran."  Aghh Al!!  "Al.." aku masih berusaha menahan tangan Al untuk tak meraih ponselnya. "Gue beneran baik-baik aja. Gue udah maafin dia, oke. Jangan diperpanjang."  Al menatapku serius. Lalu kulihat dia akhirnya menghembuskan napas pelan. Ekspresinya sedikit melunak.  "Ini pertama dan terakhir. Kalau ada yang gituin lo lagi, kasih tau gue. Nggak ada satu orangpun yang boleh perlakuin lo kayak gitu."  Aku mengangguk saja biar cepat selesai. "Habisin makan lo."  "Gue udah kenyang." Al menyandarkan punggungnya ke punggung sofa.  "Al, ini kenapa?" aku tak sengaja melihat ada bekas goresan di dekat leher Al.  "Hah?"  Aku refleks menyentuh bekas goresan itu. Tapi hanya dua detik setelah jariku sampai di kulit leher Al, tanganku tiba-tiba dicengkramnya. Aku meringis karena kaget dan sedikit kesakitan.  "Karena jatuh kemaren." Rahang Al tampak mengeras. "Yas, jangan asal pegang," ucap Al kemudian.  Aku mengerutkan kening. Maksudnya apa? Tapi ya sudahlah. Aku menarik tanganku dan Al melepaskan. Aku memeriksa jam.  "Sana tidur, Al. Udah jam 12."  "Lo aja tidur di kamar. Gue tidur di sini."  "Ntar sakit lo makin parah. Lo aja sana tidur di kamar. Gue di sini."  "Lo mau gue digorok sama Pa Jav biarin anaknya tidur di sofa?"  "Kan Papa nggak tau."  "Lo mau jalan sendiri apa gue gendong?"  Aku melotot. "Lo turunan siapa sih, Al? Papa Denis perasaan baik, nggak kayak lo."  "Turunan Zeus gue. Udah sana ke kamar."  "Nggak mau."  "Yas jangan mancing-mancing kesabaran gue."  Aku kendikkan bahu cuek. Aku lupa kalau Al ini memang tidak suka dibantah kalau dia sedang serius.  "Eh Al..." aku langsung bergerak mundur dan menahan d**a Al dengan kedua tangan saat Al dalam gerak cepat bergerak ke arahku. Aku memalingkan wajah karena Al sudah hampir berada di atasku dengan wajahnya berada sangat dekat dengan wajahku. Hembusan napasnya menerpa wajahku. Ya Tuhan panas.  "Ya udah tidur berdua aja di sini." Al bergerak ke samping, memaksaku untuk merapat ke punggung sofa. Al memelukku dan kami bergelung di sofa yang sempit.  "Al, lo nggak waras ya? Sempit."  Al tak menggubris. Dia malah memejamkan matanya.  "Al.."  "Tadi lo yang mau tidur di sini kan?"  "Ya nggak gini. Awas, gue mau ke kamar."  "Telat, Yas. Udah tidur, gue ngantuk." Al bergerak sedikit, sepertinya mencari posisi nyaman. Aku terdiam beku dalam kondisi menahan napas.  Ada apa dengan Al? Aku tahu dia menyebalkan dan manja. Tapi Al tak pernah seberlebihan ini. Ini agak berlebihan kan?  Panas sekali. Aku tak akan bisa tidur jika begini.  Samar-samar aku mendengar suara dengkuran halus. Astaga, Al benar-benar tidur.  ...  "Makasih Mbak." aku menerima cup minumanku dan meninggalkan kafe tempat aku biasa membeli minuman. Hari ini aku ada jadwal pertemuan dengan tim untuk acara fashion show tiga bulan lagi. Hari ini para model akan diseleksi.  Aku memperhatikan dengan seksama satu persatu model yang sedang di tes.  "Ini gimana, Yasmine?" tanya Mbak Oca yang ada di sebelahku. Mbak Oca salah satu orang penting yang mengurus acara fashion show ini.  "Bagus, Mbak. Postur tubuhnya pas dan dia tau basicnya. Cuma emang butuh diasah kalau menurut aku."  "Hmm Mbak pikir juga gitu. Oke. Kalau yang ini?"  "Ini juga oke. Dia yang waktu itu dipake di Surabaya kan?"  "Iya."  "Kayaknya sesuai sih sama tema yang sekarang."  Mbak Oca manggut-manggut. Kegiatan seleksi ini berlangsung cukup lama. Kami habiskan beberapa jam menyeleksi para peserta. Mereka punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tugas kami adalah memilih model yang sesuai dengan tema yang akan dibawakan pada acara fashion show kali ini.  "Oh iya, Yasmine, Mbak mau kenalin kamu sama investor baru acara kita. Itu orangnya.."  Aku ikuti arah pandang Mbak Oca. Hah?  "Pak Yasa.."  Ini pasti bercanda. Yasa lagi?  Yasa menghampiri kami.  "Selamat siang Nona Roza dan Yasmine.."  Mbak Oca terlihat terkejut saat Yasa menyebut namaku. "Kalian udah kenal?"  "Iya," Yasa yang menjawab.  "Wah baguslah kalau begitu. Jadi Pak Yasa ini salah satu investor baru kita Yasmine. Beliau punya andil besar mendukung suksesnya acara kita. Pak Yasa, Yasmine ini adalah satu anggota inti tim kita dalam pelaksanaan fashion show ini."  Yasa mengangguk-anggukan kepalanya.  "Buk."  "Iya.. Hmm Yasmine, boleh Pak Yasanya diajak ngobrol sebentar. Mbak pergi sebentar." Mbak Oca kemudian pamit, meninggalkan aku dan Yasa berdua. Tidak benar-benar berdua sebenarnya karena masih ada tim yang lain sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.  "Jadi kamu ikut terlibat dalam acara besar ini?"  Aku mengangguk.  "Wah keren juga ya kamu."  Apa maksudnya bicara begitu?  "Anda lebih keren karena menjadi investor di acara sebesar ini."  Yasa tak merespon berlebihan. Aku tak mengerti apa maksud ekspresi pada wajahnya itu.  "Apa kamu keberatan kalau saya ajak makan siang, Nona Yasmine? Sepertinya kita akan sering bertemu ke depannya. Jadi saya merasa kita perlu berbincang agar bisa menjadi lebih dekat."  Hah?  "Saya tidak suka bekerja dengan orang kalau saya tidak nyaman. Jadi demi kelancaran acara ini, tidak ada salahnya kita berteman, kan?"  Aku hembuskan napas pelan kemudian berikan senyum simpul pada Yasa. "Sure. Kenapa tidak?"  Yasa ikut tersenyum. "Ayo. Apa restoran yang enak di sekitar sini? Apa Nona Yasmine bisa memberikan rekomendasi?"  "Ya, ada sebuah restoran tak jauh dari sini.." aku dan Yasa meninggalkan lokasi seleksi.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD