Langkah kaki tergesa menarik perhatianku. Aku menoleh dan menemukan Shawn menatapku dengan napas ngos-ngosan. Hembusan angin menyapa, menerbangkan rambutku dan menusuk ke tulang. "Di sini dingin. Kenapa nggak pakai jaket?" Shawn membuka jasnya lalu menyampirkan ke bahuku. Ia kemudian duduk di sampingku. Kembali angin menyapa kami namun aku tak bisa merasakan dinginnya. Karena sebenarnya hatiku sudah lebih dulu beku. "Inget nggak dulu kenapa Papa bikinin kita ayunan ini?" tanya Shawn. Kemudian aku dengar suara tawanya. "Aku inget kamu hari itu nangis dan sedih banget karena Pupu mati. Papa nawarin buat beli kucing baru tapi kamu nolak karena kamu bilang nggak ada yang bisa gantiin Pupu. Karena kamu sedihnya sampai seminggu, orang rumah jadi pusing dan hampir kehilangan akal. Aku bahkan