Bab 6

1127 Words
POV NITA Mendengar pengakuan Vira, bohong kalau aku tidak terluka. Aku tidak pernah menyangka akan kehilangan suamiku. Aku bingung antara bertahan atau melepaskan. Jika aku bertahan, aku hidup di dalam kebisuan. Jika aku melepaskan, maka Vira akan menang. Dan aku kalah. Ya Allah, bagaimana ini? Aku bingung. Jika aku bilang tidak terluka, maka aku telah berdusta. Sejatinya, aku wanita biasa, yang pasti memiliki rasa sakit. Bohong kalau aku tidak mencintai Mas Duta. Bohong kalau aku tidak terluka oleh perlakuannya. Namun, cinta ini sudah berubah menjadi kebencian dan rasa sakit yang luar biasa. Aku tidak ingin terlihat lemah. Aku harus kuat. Aku tidak ingin ditertawakan oleh maduku. ??? "Aku ke kamar dulu Vir," ucapku. "Iya, Mbak," jawabnya. Aku berjalan santai ke kamar, membuka pintu membaringkan tubuh di ranjang, tak lupa pintu kamar kututup kembali, aku menertawakan diriku sendiri. Tak menyangka, aku betul-betul memiliki madu. Nikmat sekali rasanya. "Hahaha." Aku tertawa dalam hati. Menertawakan nasibku yang di madu. Untung saja pembawaanku tenang. Tidak terlihat rasa cemburu sedikit pun. Cemburu? Sepertinya tidak, bukan cemburu, mungkin perasaan tidak suka. Namun, aku tidak bisa menyimpulkan kalau itu cemburu. Entahlah, yang pasti aku benci, sakit, dan ingin menangis. Aku yang lelah, mencoba untuk memejamkan mata. Pekerjaan di kantor sangat banyak. Namun, aku sangat menikmatinya. Terlebih lagi rekan di sana sangat asik. Jiwa mudaku seperti tumbuh. Banyak teman lelaki mencuri pandang. Jika teman wanita gemas dengan lesung Pipitku, maka teman lelaki, mereka bilang gemas dengan semuanya. Ada satu pria yang dapat memikat hatiku, hanya saja aku mengaguminya secara diam. Begitulah aku, selalu menghargai pasangan. Namum entah untuk sekarang. Setelah mengingat teman kantor, rasanya senyumku kembali mengembang dan lelahku sedikit berkurang. Nita … ! Buka pintu! Nita ...!" Mas Duta terus berteriak, membuat gendang telingaku terasa pekak. Aku tidak menjawab. Malas rasanya. Mas Duta masih terus menggedor dan aku masih mengabaikannya. Untuk melangkahkan kaki pun rasanya sangat malas. "Papa!" Aku mendengar anakku berteriak memanggil Papanya. Namun, diabaikan oleh Mas Duta. Masih kudiamkan. "Pa …." Sebelum Adnan melanjutkan ucapannya, kuputuskan membuka pintu. Adnan menghampiri dan memelukku, "Don't sad Mama." Membelai lembut wajahku. "Mama enggak sedih, Sayang," ucapku mencium lembut keningnya. Mas Duta hanya terdiam. "Nita aku ingin berbicara denganmu!" ucap Mas Duta. "Nanti, setelah anakku beristirahat." Aku menggandeng tangan putrakku. Bergagas keluar mengajaknya bermain. Terlihat pancaran keceriaan dari wajahnya. "Kita berjalan-jalan Ma...," ucapnya, kubalas dengan anggukan kepala. ??? "Nita! seseorang memanggil. Aku menoleh, "Brata ... kau di sini?" ucapku sedikit terkejut. "Hay jagoan, " sapa Brata dengan lembut. "Hay, Om," jawab Adnan semangat. "Iya ni, aku lagi muter-muter sekitar komplek, lari sore, eh liat kamu." jawabannya sedikit malu. "Iya, aku lagi bawa Adnan jalan sore, suntuk di rumah," ungkapku sambil senyum. "Jangan senyum, Nita, aku gak kuat melihatnya," cetusnya membuatku kaget. "Kamu ngomong apa?" tanyaku penasaran. "Oh ... aku bilang bareng aja kalau gitu," iya 'kan anak tampan?" jawabnya mengalihkan pembicaraan dengan Adnan. Brata adalah teman SMK-ku dulu. Dia yang membantuku untuk masuk kerja di perusahaannya. Orangnya tampan, putih, tinggi, dengan hidung mancung mirip artis Korea. Umurnya, sekitar 32 tahun. Tetapi, belum menikah, katanya masih mau sendiri. Menunggu seseorang. Aku tidak pernah mencari tau tentang dirinya. Lagi pula aku sudah bersuami. Kami jalan bertiga, Brata dan Adnan asik bergurau. Au merasa aneh, ketika dengan Papanya dia tidak seagresif ini, dengan Brata comelnya bikin kepalaku hampir pecah. Aku tersenyum menyaksikannya. Rasa kesalku terhadap Mas Duta sedikit terlupakan. Aku bukan tipe wanita yang suka curhat tentang hubungan rumah tangga kepada temanku. Pahit manis kutelan sendiri, mengapa? karena bagiku, menikah itu pilihan. Kita harus siap konsekuensinya, baik, buruk pasangan, itu resiko kita. "Om duduk yu, aku cape Om, lihat ni wajah tampan aku memerah." Brata tertawa mendengar kelucuan Adnan. "Ayo, tampannya,Om," jawab Brata. Mereka pun duduk di kursi taman. Aku lihat keduanya sangat haus, keringat bercucuran dari kening mereka. Aku melangkah berniat membeli air minum. "Mama mau kemana?" tanya anakku. "Mama beli minum dulu sayang, diam di situ dengan Om ya!" "Oke Ma." Aku berjalan ke warung sebrang taman. Tak lama berjalan, aku sampai di warung Bu Wati. "Bu ... beli air mineral dua ya." "Iya Mba Nita ambil saja!" Aku mengambil dua air mineral dingin, menyerahkan pecahan uang sepuluh ribu rupiah. "Ini uangnya Bu." "Iya Mba Nita, trima kasih, ini kembaliannya." Bu Wati memberi uang pecahan dua ribu, aku menolaknya. Memang aku lupa membawa dompet, hanya ada uang sepuluh ribu dikantongku. "Ambil aja kembaliannya, Bu," aku tertawa sedikit malu. "Makasih ya Mba. Oh iya, itu wanita baru yang masih muda seperti Mba Nita, pembantu baru? kok dekat sekali dengan Pak Duta ya Mba? penampilannya juga tidak seperti pembantu," celetuk Bu Wati membuatku sedikit deg-degan. "Oh itu, istri kedua suamiku Bu, cantik ya," jawabku santai seperti tidak ada masalah. "Masih cantik Mba Nita, aku saja yang perempuan, begitu mengagumi, bagaimana dengan laki-laki Mba, Masya Allah, Mba Nita ini mahluk Tuhan yang indah," pujinya. Aku merasa biasa saja dengan pujiannya, Mungkin ratusan orang bilang aku cantik, meski aku sendiri justru merasa biasa saja. Kalau aku cantik, tidak mungkin suamiku mendua. "Sudah dulu ya Bu ... aku sudah di tunggu," ucapku meninggalkan Bu Wati. ??? "Kamu tampan, seperti Mama kamu yang sangat cantik," ucap Brata yang tak sadar akan kehadiranku. "Iya aku memang tampan, Om. Di sekolah aku jadi favorit guru-guru. Mereka bilang, Adnan tampan," jawab anakku dengan PD-nya. "Ehem ...," dehemanku mengagetkan Brata. "Mama lama! aku haus, Ma," ucap Adnan. Brata mengusap lembut rambut putraku. Hatiku merasa terenyuh. "Ini, sayang minumnya." Aku membuka satu untuk Adnan dan satu untuk Brata. Mereka minum seperti galon bocor. Aku hanya tertawa, lucu sekali melihatnya. Ampun, aku sungguh terhibur. Kami berbincang penuh canda dan tawa. Brata meminta nomor ponselku, dan kuberikan saja. Masa bodo dengan hati Duta. Toh aku menganggapnya hanya untuk berteman. Lagi pula, aku memang butuh seorang teman. ??? "Udah sore ni, mau maghrib. Ayo pulang," ajak Brata. Sebenarnya aku malas pulang, tapi anakku, tidak mungkin berada di luaran terus. "Ayo," jawabku dengan malas. Kami bertiga bangun dari tempat duduk dan beranjak pulang. Brata mengantar kami sampai di depan rumah. "Dadah, Om! lain kali kita jalan bersama lagi ya, Om," pinta anakku dan disetujui oleh Brata. "Kami masuk dulu, bye.' Aku melambaikan tangan. "Masuk ke rumah neraka lagi," gumamku. Terlihat, Brata sudah menjauh dari pandangan. ??? Adnan membuka pintu, terlihat Mas Duta dan Vira sedang menonton televisi di ruang tengah. Mas Duta menatapku tajam, tapi aku mengabaikannya. "Sayang, kamu lapar gak?" tanyaku pada Adnan. "Lapar, Ma, makan di luar yuk, Ma," rajuknya manja. Anak cerdas ... aku tersenyum lega. "Ya udah kamu mandi, jangan lupa shalat maghrib dulu. Mama juga mau mandi, kalau Adnan sudah siap, ketuk pintu kamar Mama." "Oke, Ma." Adnan meninggalkanku ke kamarnya, dan aku ke kamarku, seperti biasa, melewati kedua manusia tanpa dosa. Mas Duta melirikku. Aku bersikap masa bodoh. Pintu kamar segera kututup. Muak sekali melihat mereka
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD