Seharian di kantor sungguh membuat otakku semakin runyam. Aku terus memikirkan Nita. Mengapa sikapnya seakan berubah seratus delapan puluh derajat? Aku ada rapat penting hari ini. Namun, pikiran tentang Nita begitu mengganggu. Sungguh dia mampu membuyarkan isi kepalaku. Jika yang lalu sibuk memikirkan Vira, kenapa sekarang justru sebaliknya? Aku sedang duduk di ruanganku, memijat-mijat kepala yang sedikit pusing. Tiba-tiba, Damar mengagetkanku dengan gertakannya.
"Woy! Ngelamun aja lo, Ta! Kenapa lo? Ada masalah?" Bentaknya benar-benar membuatku tersentak.
"Iya … ni, sama Nita," ucapku sedikit lemas.
"Kenapa istri cantik Lo? buat gue ajh. Hahahahha." Sialan … kalau saja dia bukan teman, sudah kulayangkan tonjokan untuknya.
"Semenjak gue nikah lagi, hari itu juga dia berubah drastic, Gue sendiri lebih banyak ngehabisin waktu sama istri kedua gue."
"Lah, lo nikah lagi? baru tau gue!"
Damar tampak kaget. Aku memang tidak pernah bercerita kepadanya, jika memiliki dua orang istri. Tidak akan ada yang menyangka. Mereka hanya tau, aku memiliki istri sempurna, selain ramah, dia juga baik pada semua orang, cantik dan pandai mengurus suami.
Terkadang banyak teman kantor yang iri terhadapku.
"Iya... udah hampir jalan empat bulan," Ucapku.
"Ya wajar Nita begitu, pasti dia ngerasa sakit, Duta! Lagian elo gak bersyukur banget, punya istri cantik, montok, putih kaya model gitu masih elo duain! Engga punya otak itu namanya!" Jawaban Damar seketika membuatku ingin merontokkan giginya.
' Sialan!' Umpatku dalam hati.
"Bukan gue gak bersyukur, Mar. Cuma, enggak tau kenapa rasanya gue pingin aja nikah lagi. Kayanya kalau kita punya istri dua itu rasanya indah," kilahku.
"Susah ngomong sama elo! Laki kaga peka, gue yakin ni, lo di ijinin nikah lagi sama istri lo, pasti gara-gara lo ngomong mau kawin lagi terus-terusan," cetus Damar.
'Kok Damar bisa tau?' Betul juga, mungkin sebenarnya Nita tidak mengijinkan. Namun, aku terus merengek, membuatnya pusing dan terpaksa menyetujuinya."
'Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku juga tidak mungkin meninggalkan Vira. Aku sudah terlanjur mencintainya, tapi aku juga tidak ingin kehilangan Nita.' batinku.
"Woy …! Malah bengong!" bentak Damar
membuatku sadar dari lamunan.
"Iya … terus sekarang gue harus gimana, Mar? gue bingung."
"Coba elo ngomong ajh langsung sama Nita, kali ajh dia mau jujur sama elo!" ujar Damar.
"Iya nanti gue coba, Mar,"
jawabku meninggalkan Damar yang masih berada di ruanganku.
'Boro-boro mau ngomong Ama gue, Mar, gue mau masuk kamarnya aja dikunciin!' umpatku dalam hati.
Hari ini otakku sedang tidak mampu berfikir. Lebih baik rapat diundur, daripada kehilangan konsentrasi, dan akhirnya kalah tender. Kuraih ponsel lalu menghubungi Dita sekretarisku.
"Halo … Dita batalkan rapat hari ini! Saya akan pulang cepat, ada urusan mendadak."
Sebelum Dita menjawab, ponsel kumatikan. Aku kembali ke ruangan, mengambil tas kantor, dan bergagas pulang.
???
Sampai di rumah aku di sambut oleh Vira.
Tapi hari ini aku sedang tidak mood untuk bicara, kuacuhkan dia dan langsung menuju kamar.
Aku ingin beristirahat di kamar Nita, tetapi kamarnya terkunci.
Sial!
Kubuka pintu kamar Vira dan membantingnya sekeras mungkin. Jika kali ini Vira akan bingung dengan sikapku, bodo amat. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menenangkan otakku sebentar.
"Mas Duta ini kenapa sih? Aneh banget!" triak Vira. Aku mengabaikannya.
"Tante Vira, kenapa?" tanya Adnan, kudengar dari dalam kamar.
"Kok Adnan panggil Mama Vira Tante?" Kan Mama Nita udah ajarin Adnan panggil Mama Vira," ucap Vira mensehati.
"Maafkan Adnan, Tante … Adnan gak bisa gantiin posisi mama di hati Adnan. Sayang Adnan ke Mama, terlalu besar. Maaf Tante, Adnan gak bisa panggil Tante … Mama." Jawaban Adnan pada Vira, seketika membuat hati ini terasa sesak.
"Bi, Mama belum pulang?" Terdengar Adnan bertanya, sepertinya pada Bu Elli.
"Belum, Sayang … biasanya kalau Mama sudah pulang kan langsung menghampiri Adnan."
"Iya … Bi, Adnan kangen Mama, kangen bidadariku. Semoga mama sehat selalu."
"Aammiinn," ucap keduanya.