PART. 4 TUKANG PERINTAH

1112 Words
Saat malam tiba, setelah selesai sholat isya Darma menidurkan anak-anaknya di kamar mereka. Cinta mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Ia bisa mendengar Darma tengah mendongeng untuk anak kembarnya. Cinta kembali ke dalam kamar tempatnya tidur. Ia membuat pembatas dari guling di tengah kasur. Cinta berbaring dengan mata menerawang ke atas langit-langit kamar. Ia tengah memikirkan tentang Ibu dari sikembar. Apa Ibu mereka bule? Kemana Ibu mereka? Apakah Darma berpisah karena perceraian? Atau karena istrinya meninggal? Pertanyaan-pertanyaan yang segera menuntut jawaban, tapi sayangnya Darma belum juga masuk ke dalam kamar. 'Eeh ... kenapa aku harus memikirkannya? Apa peduliku dengan kehidupannya?' Cinta belum juga bisa tidur, meski matanya terpejam, tapi ia tidak bisa tidur. Dilihatnya jam di dinding. Sudah jam dua, tapi Darma belum juga masuk ke dalam kamar. 'Apa dia tidur di kamar anaknya? Eeh ... tunggu, apa peduliku dia mau tidur di mana, harusnya aku senang kamar ini jadi terasa lengang, tanpa ada tubuhnya yang besar itu.Tunggu ... tunggu, sejak aku memasuki rumah ini, kenapa tak sedikitpun aku memikirkan Radyt lagi. Aduuh ... Mas Radyt, maafkan aku, andai aku bisa menghubungimu, pasti semua akan lebih indah terasa.' Cinta tidak bisa tidur juga. Ia memutuskan ke luar dari kamar, dan ia melihat pintu musholla terbuka, dan lampunya masih menyala. Diintipnya ke dalam, dan Cinta bisa melihat Darma yang memakai pakaian sholatnya dari samping. Ia duduk bersila di atas sajadah, tubuhnya bergoyang seirama dengan tasbih yang berputar karena jentikan jari tangannya. Samar terdengar suaranya, Cinta sendiri tidak pasti apa yang dilapalkannya. 'Hhhhh ... apa dia tidak tidur semalaman, dan hanya duduk saja seperti itu. Apa hebatnya pria seperti itu, kaku tidak punya selera humor, menyebalkan, tukang perintah.' "Umi ngapain?" Cinta terjengkit kaget, mendengar suara Anggi yang sudah berdiri di sampingnya. "Umi kalau mau macuk, ya macuk aja, ngapain ngintipin Abi," kata Anggi lagi. "Aku ... eeh, U ... Umi ... Umi ...." Cinta masih merasa aneh, menyebut dirinya sendiri Umi, wajahnya nyengir tidak jelas, sehingga menimbulkan kesalah pahaman pada Anggi. Anggi mengira Cinta sedang sakit. "Umi kenapa? Abiiii ... Abiii!" tanpa dapat dicegah, Anggi memanggil Abinya. Darma yang mendengar panggilan Anggi langsung berdiri. "Ada apa?" "Umi cakit!" "Kamu sakit Cinta?" "Tidak." "Terus ada apa di sini?" "Tahu nih Umi, dali tadi ngintipin Abi. Umi takut bobo cendili balangkali, Abi. Umi'kan balu datang ke lumah kita" celoteh Anggi. 'Oh God ....' Rasanya Cinta ingin sekali mencubit Anggi, karena ocehannya barusan. "Dedek sendiri kenapa di sini?" Tanya Darma, tanpa menghiraukan ucapan Anggi. "Dedek haus Abi, ingin minum cucu." "Cinta temani Anggi ke dapur, tolong buatkan s**u untuknya, susunya yang kaleng kuning rasa madu." "Eeh aku belum pernah bikin s**u bayi!" "Dedek bukan bayi Umi, tapi balita!" protes Anggi. "Ya, ya sama saja." "Kok cama cih, bayi ya bayi, balita ya balita" protes Anggi. "Anggi sama Umi dulu ya." "Heengh," Anggi mengangguk. 'Hmmm ... kesempatan nih, tanya tentang Ibunya sama Anggi,' batin Cinta. Tiba di dapur Anggi menunjukan s**u yang biasa diminumnya. Cinta membaca takaran pemakaiannya, baru membuatkan s**u itu untuk Anggi. Sambil menunggui Anggi minum s**u, dipergunakan Cinta untuk menginterogasi Anggi soal Ibunya. "Dedek ... Ibunya mana Sayang?" Tanya Cinta sok akrab. "Kan Umi, Ibu na Anggi," telunjuk Anggi mengarah ke d**a Cinta. "Ehmm ... maksud Umi, Ibu yang melahirkan Anggi?" "Ibu? Umi itukan ya Ibu, Ibu itukan ya Umi ...." lagi Anggi menunjuk Cinta. Cinta menggaruk kepalanya, bingung sendiri. "Maksud Umi ...." ucapan Cinta menggantung, karena dipotong Darma. "Jangan tanyakan hal yang tidak diketahuinya Cinta, dia baru tiga tahun, belum mengerti apa-apa, kamu bisa bertanya langsung padaku, kalau mau" Darma sudah berdiri didekat mereka. "Kalau begitu, kenapa tidak kamu jelaskan sejak malam tadi, kalau kamu itu duda dua anak!" sengit Cinta. "Abi kenapa Umi na malah, Umi nggak pelgi lagikan? Umi tetap tinggal cama kitakan?" Mata biru terang milik Anggi mulai berkaca-kaca. Darma meraih Anggi ke dalam gendongannya. "Belajarkah berucap dengan nada lembut di depan anak-anak," ujar Darma, sebelum melangkah pergi meninggalkan Cinta, dengan Anggi dalam gendongannya. Cinta masih diam di tempatnya. 'Tukang perintah! Tukang atur! Tukang siomay! Tukang bakso!' Gerutunya, kesal pada Darma yang sudah menghilang dari hadapannya. Cinta akhirnya ikut naik ke atas juga, dan ingin masuk ke dalam kamar tidur, ketika mendengar percakapan Darma, dan Anggi di dalam kamar tidur Anggi, langkahnya terhenti di depan pintu. "Abi, kapan Daddy, cama Mommy Adek cama Kakak datang lagi?" "Abi tidak tahu Sayang, Daddy sama Mommy kalian masih banyak pekerjaan mungkin. Adek sama Kakak berdoa saja ya, biar Daddy sama Mommy bisa datang lagi." "Iya Abi, tapi kalau Daddy cama Mommy datang, Adek mau tetap di cini cama Abi, enggak mau ikut Daddy cama Mommy, bolehkan Abi?" "Iya, tentu saja boleh." "Abi" "Ya". "Abi cekalangkan cudah puna Umi, nanti Abi puna Dedek bayi nggak?" Cinta yang menguping di balik pintu hampir saja tersedak, mendengar pertanyaan Anggi. "Abi belum tahu Sayang." "Temen na Adek puna Abi, puna Umi, puna Dedek juga, Abi." "Oohh ...." "Kalau Abi puna Dedek, Adek cama Kakak macih dicayang Abi kan?" Darma memeluk Anggi, dikecup puncak kepala Anggi dengan lembut. "Abi akan selalu menyayangi kalian, sekarang Adek tidur ya." "Abi enggak tidul?" "Nanti Abi tidur, kalau Adek sudah tidur." "Enggak apa, Abi ke kamal Abi aja, kacian Umi na, ntal takut tidul cendilian." "Umi kan sudah gede, jadi nggak mungkin takut." "Tapi Umi kan belum biaca di lumah kita Abi." "Ya sudah, sekarang Abi ke kamar, Adek tidur ya, besok hari senin sudah harus masuk sekolah." "Iya Abi, Adek sayang Abi" Anggi mengecup pipi Darma, dan Darma membalas mengecup puncak kepala Anggi. "Abi juga sayang Adek" sahutnya lembut. Cinta yang dari tadi mengintip, cepat masuk ke kamar tidur, dan langsung naik ke atas ranjang, lalu bersembunyi di bawah selimut. Berbagai pertanyaan menyesaki benaknya. Siapa yang disebut Mommy, dan Daddy? Apa sebenarnya hubungan antara Darma dengan Anggi, dan Angga?. Benar Ayahnya atau .... "Aku baru tahu, kalau kamu ternyata punya hobi mengintip, dan menguping, Cinta!" Cinta terjengkit kaget, mendengar suara Darma di dekatnya. Refleks ia membuka selimut yang menutupi tubuhnya, dari kaki sampai kepala. "Siapa yang menguping, siapa yang mengintip?" "Hhhh tidak usah mengelak aku bisa melihatmu berdiri di dekat pintu, menguping pembicaraanku dengan Anggi." "Itu ... itu ..." "Kamu hanya sementara di sini Cinta, tidak perlu terlalu dalam memasuki kehidupan pribadiku. Di antara kita tidak ada hubungan pribadi, tapi kamu boleh dekat dengan Angga, dan Anggi semau yang kamu inginkan, tidurlah kamu perlu istirahat," tanpa menunggu jawaban Cinta, Darma masuk ke dalam kamar mandi. Cinta menggerutu dalam hatinya. 'Dasar tukang ... tukang ... aaakhhh, menyebalkan!' Saat Darma ke luar dari kamar mandi, Cinta sudah masuk lagi ke dalam selimut. Darma berbaring di sisi lain ranjang, satu tangannya ada di atas d**a, satu lagi di atas perut. Mulut Darma berkomat kamit membaca doa sebelum kantuknya datang. Sementara Cinta berkomat kamit, menyumpahi Darma di bawah selimut. **** BERSAMBUNG****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD