Evi berjalan perlahan karena pekerjaannya telah selesai. Kini ia mencari Sulis untuk diajak nonton para atlet yang tengah berlatih. Akhirnya ia menemukan Sulis. Tampak gadis Jawa itu tengah sibuk di ruang laundry. Sejak tukang laundry pulang kampung, belum ada penggantinya. Makanya tugas mencuci baju para atlet ia yang lakukan. Sebetulnya tugas mencuci itu adalah tugas masing- masing penghuni, namun mereka yang malas bisa menggunakan jasa tukang cuci dengan membayar mereka tiap bulan dengan bayaran cukup ringan.
"Mbak cuciannya banyak banget" Evi memberikan komentarnya begitu melihat beberapa keranjang cucian di hadapan rekan satu kamarnya itu.
"Iya nih anak-anak minta di laundy in. Lumayan lah buat nambah-nambah penghasilan. Biar akhir pekan bisa nonton ke bioskop." Sulis menjawab dengan senyuman lebar. Memiliki gaji kecil harus pandai mengatur keuangan dan mencari penghasilan tambahan supaya masih bisa makan enak dan jalan-jalan. Salah satunya dengan mencuci dan menyetrika.
"Itu sekeranjang lagi cucian juga?" Evi menatap ke arah kerangjang warna merah marun. Di sana ada setumpuk pakaian yang sepertinya kotor. Ada juga sepasang sepatu di dekatnya.
"Iya, itu punya Mas Faiz! Banyak banget." Sulis masih asyik menuang detrjen ke mesin cuci. Pekerjaannya lumayan banyak hari ini dan sebenarnya ia sudah merasa lelah namun harus segera selesai. Biar besok kering dan tinggal digosok.
Suasana ruang laundry cukup bising. Selain suara mesin cuci berputar, irama lagu dangdut pun berdendang menemani Sulis beraktifitas. Sesekali ia pun bernyanyi dan menggoyangkan pinggulnya. Ia tak perlu malu karena ruangan itu tertutup dan jauh dari keramaian karena berada di bagian belakang gedung.
"Mas Faiz?!" Mata Evi seketika berbinar. Entah mengapa setiap kali nama itu disebut perasaan hatinya selalu berbunga-bunga. Semangatnya jadi membara. Wajah sang pujaan hati seketika memenuhi isi kepalanya. Senyumannya, suaranya bisa ia rasakan dan menjadi aumber energi tersendiri. Ada harapan yang besar untuk bisa mendapatkannya meskipun banyak rintangan yang menghadang. Apalagi harus bersaing dengan Dian Larasati.
"Iya." Sulis mengangguk.
"Kalau gitu biar saya saja atuh yang nyuci." Evi terlihat antusias. Ia tak masalah jika tak dibayar pun. Asalkan bisa menyentuh barang-barang milik Faiz. Tak bisa menyentuh orangnya, benda miliknya pun tak mengapa.
Sulis pun tersenyum penuh arti. Sejak awal ia tahu Evi naksir berat sama pemain tunggal putra yang terkenal seksi dengan perut six pac nya.
"Dengan senang hati." Sulis bersyukur ada yang membantu dirinya meringankan beban pekerjaaannya.
"Wah...makasih." Evi senang sekali karena dengan demikian ia bisa menyentuh barang-barang Faiz.
"Harusnya aku loh Vi yang terima kasih sama kamu karena kamu sudah mau membantu pekerjaanku." Sulis merasa heran dengan tingkah Evi yang agresif.
Evi tentu saja bahagia karena ia akan menyentuh barang-barang milik Faiz dan mencium aromanya sepuas-puasnya, meskipun itu hanya aroma keringat yang menyengat.
"Nanti uang bayarannya aku kasih ke kamu." Sulis tentu akan membayar upah Evi selayaknya. Ia tak akan memanfaatkannya.
Evi mengangguk. Sebetulnya tidak dibayar pun tak masalah. Ia tulus dan ikhlas membantu Faiz mencuci bajunya.
Sambil bersiul dan mengikuti lirik lagu dangdut, Evi pun memulai pekerjaannya. Sementara sulis terlihat sudah menyelesaikan pekerjaannya dan akan menjemur hasil cuciannya.
"Aku duluan ya!" Wanita berjilbab hitam itu pamit meninggalkan Evi sendirian.
"Oke, Mbak." Evi mengangguk. Sejak tadi senyumnya tak berhenti.
"Ya Allah Aa Faiz meni wangi begini bajunya."
Evi bicara sendiri. Meskipun baju-baju Faiz bekas berlatih dan mengandung keringat namun aroma parfumnya pun melekat erat dan menguar segar membuat Evi semangat. Ini baru aroma baju bekasnya apalagi, aroma tubuh Faiz yang baru mandi.
Bukannya segera memasukkan cucian ke dalam mesin cucu, ia malah menghirup baju-baju kotor itu yang sudah bagaikan candu.
"Masya Allah, makin cinta saya sama Aa Faiz Faisal yang kasep tak ada tandingannya."
Gadis itu sudah seperti orang gila bicara sendirian.
Akhirnya ia tersadar untuk segera menyelesaikan tugasnya.
"Astaghfirullah aladzim, kenapa ya saya malah meluk dan nyiumin baju-baju bekas ini bukannya buru-buru nyuci." Evi bicara sendiri.
Ia pun segera memasukkan cucian ke dalam mesin cuci dan mengisi air dan juga deterjen. Semoga saja tak ada yamg melihat aksi konyolnya. Faiz sudah membuatnya gila.
Satu jam kemudian tugasnya selesai dan Evi langsung menjemurnya.
"Alhamdulillah, selesai sudah!" Evi nampak kelelahan. Jumlah cucian Faiz cukup banyak. Bukan hanya bajunya saja yang ia cuci, pakaian dalam, kaos kaki dan sepatu pun ia cuci. Ngomong-ngomong tentang pakaian dalam, rasanya cukup menggelikan juga.
Kini ia merasa haus dan butuh minuman dingin untuk menyegarkan badannya yang terasa remuk. Baru kali ini ia menyelesaikan banyak pekerjaan dalam satu hari.
"Di sini senang di sana senang dimana-mana hatiku senang." Dengan langkah panjangnya, ia menuju ke arah dapur untuk mengambil minuman. Meski pun lelah namun ia bahagia.
"Hai Evi, riang sekali kamu." Terdengar suara wanita paruh baya menyapanya.
"Sore Mbok Sumi,"Evi cengengesan. Suara cemprengnya seolah mekakan telinga Mbok Sumirah atau yang biasa dipangil Mbok Sumi.
Kini Evi ada di dapur. Ia langsung menuju kulkas menuang air dingin.
"Saya bantuin ya Mbok!" Evi membantu wanita tua itu mengangkat sayur.
"Kamu ini rajin sekali. Tugas kamu itu bukan di dapur tapi bersih-bersih. Nyapu, ngepel sama itu lap kaca jendela dan buang sampah." Mbok Sumi mengingatkan. Ia tak ingin jika Evi kelelahan atau abai terhadap kewajibannya dan malah mengurus sesuatu yang bukan tugasnyam
"Saya teh sudah santai Mbok. Semua urusan sudah beres." Evi terlihat santai. Hal terakhir yang akan dilakukannya adalah mandi.
"Kamu anak yang rajin. Simbok doakan semoga kamu segera mendapatkan jodoh." Wanita beursia enam puluh satu tahun itu serius dengan ucapannya. Ia memang menyukai Evi anak yang rajin.
"Aamiin." Evi yang baru lulus SMA mengaminkan. Ia tak keberatan jika harus menikah muda, apalagi jika orang itu adalah Faiz Faisal. Ia yakin seratus persen jika dirinya akan bahagia lahir batin.
"Ini buat makan malam ya, Mbok?" tanyanya basa basi.
"Iya." Mbok Sumi mengangguk.
"Kenapa? Kamu sudah lapar? Kalau lapar makan saja duluan." Mbok Sumi memberikan tawaran. Ia merupakan koki yang baik hati.
"Nanti saja, Mbok. Bareng-bareng. Ga enak lah kalau ngeduluin." Evi tertawa kecil. Evi tahu diri ia harus menghormati orang lain. Apalagi posisinya hanya seorang cleaning service.
Koki asal Tegal itu dibantu oleh seorang asisten mengangkut hidangan ke ruang makan. Evi pun membantunya dengan suka rela.
Diam-diam ia menunggu Faiz datang ke ruang makan. Evi senang mengamati gerak geriknya dimana pun berada.
***
Bersambung