6.

1053 Words
Beny Irawan alias Beben terlihat gelisah, pagi ini ia kurang semangat untuk latihan, meskipun kemarin dalam sesi latihan ia menang melawan Faiz Faisal namun tetap saja ia tak masuk dalam skuad tim yang akan dibawa ke Belanda. Peringkatnya tak cukup untuk meloloskan dirinya ikut ajang bergengsi dua tahunan tersebut. Apalagi Beben sering bermain angin-angin. Kemenangan yang ia kantongi itu ia raih secara kebetulan saja, selebihnya ia sering menelan kekalahan. "Ben ayo latihan, kok lo diam saja sih?" Faiz mengamati teman sekamarnya dengan pandangan heran karena ia masih terlihat sangat santai, padahal biasanya ia selalu menjadi orang pertama yang berada di lapangan. Alasannya tentu saja karena ingin bertemu Evi, namun saat ini kondisinya lain. Ia dilanda rasa kesal dan marah kepada jajaran pengurus pelatnas. "Emangnya yang gak ke Belanda harus ikut juga ya?" Beben nampak malas. Perasaan hatinya benar-benar tak nyaman. Keberadaannya di pelatnas semakin tidak aman. Ia terancam degradasi. Apalagi satu bulan lagi akan diadakan seleksi nasional, otomatis para pemain pelatnas akan bersiap untuk menunjukkan penampilan terbaik mereka agar bisa bertahan dan para atlet klub pun pasti berlomba-lomba untuk memenangkan pertandingan demi tiket masuk pelatnas. "Ya, iya lah." Faiz kadang kesal dengan Beben yang sepertinya telah kehilangan semangatnya dalam berlatih. Seharusnya ia terus berlatih keras agar tetap menjadi penghuni pelatnas, bukannya bersikap seperti ini. Sebagai rekan satu kamar, tentu saja ia peduli. Beben sebenarnya merupakan atlet pekerja keras dan saat tinggal di klub ia banyak menorehkan prestasi yang cukup gemilang, namun sayangnya skillnya masih tetap ada di bawah Faiz sehingga pelatih lebih memilih Faiz dan pemain tunggal putra lainnya yang memiliki ranking lebih baik. Berada di peringkat enam puluh lima dunia, membuat dirinya jarang diturunkan di turnamen besar. *** Evi sedang sibuk menyapu asrama ketika ia bertemu dengan Beny Irawan yang duduk termenung di depan kamarnya. "Mas Beben kenapa? Kok murung sih?" Evi mendekat ke arah Beben. Tak biasanya pemuda itu bertingkah demikian. "Evi." Beben memberikan jawaban dengan perasaan tak menentu. Kehadiran Evi sedikit membuatnya ceria dan agak tenang. Baginya Evi sangat istimewa dan menjadi sumber penyemangat dalam menjalani hari-harinya di pelatnas. "Mas Beben kenapa?" Evi menatapnya dengan penuh rasa heran. Wajahnya terlihat murung dan pucat seolah ia tengah sakit. Mendengar perhatian yang diberikan oleh Evi, pemuda berkulit gelap itu merasa tersanjung. Ternyata masih ada yang peduli kepadanya. "Ga kenapa-napa kok, Vi. Aku baik-baik saja." Beben tak mau jika gadis pujaan hatinya itu sampai mengetahui kabar buruk tentang dirinya. "Tapi, Mas Beben kok ga ikut latihan?" Evi merasa heran, padahal ia selalu menjadi atlet yang paling awal masuk ke lapangan dan selalu mengajaknya bercanda, walau terkesan garing. Beben satu-satunya atlet bulutangkis si pelatnas yang selalu menunjukkan sikap ramah dan bersahabatnya, meski terkadang berlebihan. "Mas Beben lagi sakit ya?" Evi memperhatikan raut wajah Beny Irawan yang tak seceria biasanya. Padahal setiap kali bertemu dengannya, ia selalu terlihat gembira dan tebar pesona. Beben malah tersenyum. Bersama Evi mood nya sedikit membaik. Ia semakin kegeeran. "Enggak, saya baik-baik saja Vi." Fisik Beben memang sehat, hanya saja hatinya yang terluka dan sulit untuk diaembuhkan. Ia benar-benar patah hati akibat gagal dikirim ke Beland. "Alhamdulillah kalau begitu, saya senang mendengarnya." Evi kembali tersenyum. Ia menunjukkan raut gembira karena dugaannya meleset. Ia bersyukur karena melihat Beben tak seperti tadi pagi. "Tapi saya yakin, Mas Beben pasti lagi kurang enak badan." Evi seolah tengah mendesak dirinya supaya mengatakan jika ia dalam kondisi tidak baik-baik saja. "Cuma lagi ada sedikit masalah."Beben menghela nafas panjang. Mungkin Evi bisa dijadikan sebagai teman curhatnya, makanya ia memutuskan untuk mengatakannya. "Memangnya masalah apaan sih Mas?" Evi bertanya penuh rasa ingin tahu. "Saya sedih karena tidak bisa ikut ke Belanda." Beben akhirnya mengungkapkan penyebab dirinya sampai murung dan wajahnya terlihat bermuram durja. "Santai saja, Mas Beben kan masih muda, dua tahun lagi Insya Allah bisa berangkat dan menjadi andalan. Saya yakin kalau Mas Beben itu bisa hanya saja masih perlu waktu." Untuk kali pertama Evi bersikap manis dan bersedia untuk berbincang sedikit lama dengannya. "Terima kasih banyak ya Evi. Kamu memang gadis yang baik!" Beben memberikan pujiannya, namun Evi hanya menunjukkan reaksi biasa-biasa saja, karena hatinya sudah terisi oleh sosok Faiz Faisal, kakak kelasnya dulu waktu SMP. "Mas Beben bisa aja." Evi tersenyum. Ia selalu berusaha menjadi orang yang baik. Sayangnya, sejauh ini Faiz masih bersikap biasa saja, bahkan berani melukai perasaannya dengan menolak bantuannya. Faiz seolah tak memiliki hati karena ia sering tak mengganggap keberadaan Evi. Evi tak bisa berlama-lama di sana karena ia harus menyelesaikan semua tanggung jawanya. Ia pun meninggalkan Beben yang kesepian. "Maaf ya, Mas saya harus melanjutkan kerja, jadi saya pamit dulu. Jangan lupa makan dan minum yang teratur ya, jangan banyak pikiran dan terus berpikiran positif!" Evi memberikan pesan khususnya untuk pemuda berkulit gelap itu. Jika beberapa waktu lalu ia merasa sebal.kepada Beben kini ia mulai lunak. "Iya, Vi. " Beben mengagguk pertanda paham. Betapa bahagianya ia mendapatkan perhatian khusus dari gadis yang sangat dicintainya itu, meski sampai detik ini ia belum berani mengungkapkan perasaannya. Beben takut jika Evi menolaknya dan hubungan mereka malah menjauh. Hubungan pertemanan seperti ini saja sudah membuat dirinya cukup bahagia. *** Evi tak bisa kalau tak bertemu dengan Faiz walaupun hanya sebentar saja. Ia selalu penasaran dan ingin melihatnya. Seburuk apapun perlakuan pemuda itu kepadanya, ia selalu memaafkannya dan melupkan semuanya dan senantiasa memberikan dukungan terbaiknya. Sebagai penggemar sejati ia tak akan menyerah. Seperti siang ini, setelah urusan pekerjaannya beres, ia pun segera mengintip Faiz, memastikan aktifitasnya. Sayangnya, ia tak bisa menonton terlalu lama karena tak ingin kena teguran Paijo lagi. Ia pun memilih untuk melakukan aktifitas lain yang lebih bermanfaat yang berhubungan dengan pekerjaannya. Ia bahagia setiap hari bisa bertemu dengannya, beberapa tahun tak bertemu secara langsung tentu membuat dirinya selalu merindukannya. Ia sadar bagaimana posisi keduanya. "Evi!" Terdengar kembali suara Paijo. Evi emndadak deg degan. Ia khawatir jika atasannya itu akan mengomel lagi karena barusan ia menonton pertandingan sebentar. "Iya, Mas." Evi menyahut dengan perasaan takut. "Ini ada makanan, ambil saja buat kamu." Paijo menyerahkan kotak kardus putih. "Terima kasih banyak Mas." Mendapat makanan gratis merupakan hal yang paling disukai oleh Evi. Ia tak perlu jajan lagi. Sebetulnya di dapur juga disediakan makanan, namun dijatah dan Evi meskipun berbadan kecil namun makannya selalu banyak. Setelah menyerahkan kotak itu, Paijo langusng pergi. Ia memang sosok tegas dan terkesan kejam, meski demikian ia baik hati dan perhatian kepada bawahannya. Paijo juga terkenal dermawan. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD